BUMN membanggakan sekaligus memilukan
A
A
A
Perkembangan kinerja perusahaan negara atau yang lebih akrab di telinga dengan sebutan badan usaha milik negara (BUMN) selain membanggakan sekaligus memilukan.
Sungguh membanggakan karena kinerja enam perusahaan pelat merah berhasil menembus daftar 2.000 perusahaan paling untung di dunia berdasarkan versi Forbes.
Majalah ekonomi yang berasal dari Amerika Serikat itu rutin menerbitkan peringkat kinerja perusahaan di seluruh dunia. Hal itu membuktikan bahwa tidak benar BUMN adalah warga kelas dua dalam urusan kinerja dibanding perusahaan swasta yang ada di Indonesia.
Sebagaimana dirilis Forbes pekan lalu, enam perusahaan negara yang mencatatkan prestasi gemilang sebagai pencetak untung terbesar adalah Bank BRI di peringkat ke-479 dengan omzet sebesar USD5,9 miliar, keuntungan USD1,7 miliar, dan kepemilikan aset USD51,5 miliar.
Menyusul Bank Mandiri pada level ke-488 yang memiliki omzet sebesar USD6 miliar, keuntungan USD1,3 miliar, dan nilai aset mencapai USD60,4 miliar. Selanjutnya Telkom pada urutan ke-726 meraih omzet USD7,6 miliar, keuntungan USD1,3 miliar, dan total aset USD11,1 miliar.
Diikuti Bank BNI yang bertengger di peringkat ke-969 dengan omzet USD3,1 miliar, keuntungan USD600 juta, dan didukung aset USD32,9 miliar.
Lalu, Perusahaan Gas Negara (PGN) berada di urutan ke-1.351 yang mengantongi omzet USD2,2 miliar, keuntungan USD700 juta, dan memiliki aset sebesar USD3,5 miliar. Terakhir, PT Semen Gresik di peringkat ke-1.674 yang mencatat omzet USD1,6 miliar, keuntungan USD400 juta, dan menyimpan aset USD1,7 miliar.
Namun, di balik pengakuan internasional atas kinerja BUMN tersebut suasana memilukan tak dapat disembunyikan. Dari 141 BUMN masih terdapat sebanyak 23 perusahaan yang mencatatkan rugi untuk 2011.
Meminjam istilah Menteri BUMN Dahlan Iskan, perusahaan negara yang berkinerja di bawah standar itu masuk golongan perusahaan dhuafa. Penyebab BUMN tak bisa menampilkan kinerja terbaik memang dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari persaingan bisnis yang digeluti begitu ketat, iklim bisnis yang digarap memang sedang turun, hingga perusahaan dalam posisi salah urus.
Nah, siapa saja perusahaan yang belum beruntung mencatatkan laba? Berdasarkan data yang dipublikasi Kementerian BUMN, tiga perusahaan yang paling dhuafa adalah PT PAL Indonesia di urutan terdepan dengan total kerugian mencapai Rp1,32 triliun.
Disusul PT Merpati Nusantara Airlines dengan kerugian sebesar Rp778,64 miliar. Dan PT Dirgantara Indonesia yang membukukan kerugian Rp356,52 miliar. Bagaimana mengatasi BUMN dhuafa itu?
Tentu saja harus ada tindakan ekstrem misalnya PT PAL Indonesia menjadi langganan BUMN pencatat rugi sehingga singkatan PAL dipelesetkan menjadi Perusahaan Anti Laba (PAL) harusnya segera direstrukturisasi bahkan kalau perlu dilikuidasi.
Kita harus kembali kepada falsafah dasar pendirian BUMN bahwa kehadiran perusahaan negara antara lain bertugas memberi kontribusi terhadap APBN dan memberi pelayanan kepada publik serta keperintisan.
Kalau tugas itu sudah tak bisa dipenuhi,atas alasan apa harus dipertahankan? Persoalannya, merestrukturisasi perusahaan dhuafa bukanlah kewenangan sepenuhnya di tangan Kementerian BUMN.
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2003 terdapat empat kewenangan yang tidak dilimpahkan sepenuhnya kepada Kementerian BUMN yakni akuisisi, merger, likuidasi, dan privatisasi.
Urusan empat kewenangan tersebut bergantung persetujuan Kementerian Keuangan, padahal urusan terbesar yang harus dilakukan Kementerian BUMN adalah bagaimana merestrukturisasi perusahaan agar memenuhi tugas yang diharapkan.(*)
Sungguh membanggakan karena kinerja enam perusahaan pelat merah berhasil menembus daftar 2.000 perusahaan paling untung di dunia berdasarkan versi Forbes.
Majalah ekonomi yang berasal dari Amerika Serikat itu rutin menerbitkan peringkat kinerja perusahaan di seluruh dunia. Hal itu membuktikan bahwa tidak benar BUMN adalah warga kelas dua dalam urusan kinerja dibanding perusahaan swasta yang ada di Indonesia.
Sebagaimana dirilis Forbes pekan lalu, enam perusahaan negara yang mencatatkan prestasi gemilang sebagai pencetak untung terbesar adalah Bank BRI di peringkat ke-479 dengan omzet sebesar USD5,9 miliar, keuntungan USD1,7 miliar, dan kepemilikan aset USD51,5 miliar.
Menyusul Bank Mandiri pada level ke-488 yang memiliki omzet sebesar USD6 miliar, keuntungan USD1,3 miliar, dan nilai aset mencapai USD60,4 miliar. Selanjutnya Telkom pada urutan ke-726 meraih omzet USD7,6 miliar, keuntungan USD1,3 miliar, dan total aset USD11,1 miliar.
Diikuti Bank BNI yang bertengger di peringkat ke-969 dengan omzet USD3,1 miliar, keuntungan USD600 juta, dan didukung aset USD32,9 miliar.
Lalu, Perusahaan Gas Negara (PGN) berada di urutan ke-1.351 yang mengantongi omzet USD2,2 miliar, keuntungan USD700 juta, dan memiliki aset sebesar USD3,5 miliar. Terakhir, PT Semen Gresik di peringkat ke-1.674 yang mencatat omzet USD1,6 miliar, keuntungan USD400 juta, dan menyimpan aset USD1,7 miliar.
Namun, di balik pengakuan internasional atas kinerja BUMN tersebut suasana memilukan tak dapat disembunyikan. Dari 141 BUMN masih terdapat sebanyak 23 perusahaan yang mencatatkan rugi untuk 2011.
Meminjam istilah Menteri BUMN Dahlan Iskan, perusahaan negara yang berkinerja di bawah standar itu masuk golongan perusahaan dhuafa. Penyebab BUMN tak bisa menampilkan kinerja terbaik memang dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari persaingan bisnis yang digeluti begitu ketat, iklim bisnis yang digarap memang sedang turun, hingga perusahaan dalam posisi salah urus.
Nah, siapa saja perusahaan yang belum beruntung mencatatkan laba? Berdasarkan data yang dipublikasi Kementerian BUMN, tiga perusahaan yang paling dhuafa adalah PT PAL Indonesia di urutan terdepan dengan total kerugian mencapai Rp1,32 triliun.
Disusul PT Merpati Nusantara Airlines dengan kerugian sebesar Rp778,64 miliar. Dan PT Dirgantara Indonesia yang membukukan kerugian Rp356,52 miliar. Bagaimana mengatasi BUMN dhuafa itu?
Tentu saja harus ada tindakan ekstrem misalnya PT PAL Indonesia menjadi langganan BUMN pencatat rugi sehingga singkatan PAL dipelesetkan menjadi Perusahaan Anti Laba (PAL) harusnya segera direstrukturisasi bahkan kalau perlu dilikuidasi.
Kita harus kembali kepada falsafah dasar pendirian BUMN bahwa kehadiran perusahaan negara antara lain bertugas memberi kontribusi terhadap APBN dan memberi pelayanan kepada publik serta keperintisan.
Kalau tugas itu sudah tak bisa dipenuhi,atas alasan apa harus dipertahankan? Persoalannya, merestrukturisasi perusahaan dhuafa bukanlah kewenangan sepenuhnya di tangan Kementerian BUMN.
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2003 terdapat empat kewenangan yang tidak dilimpahkan sepenuhnya kepada Kementerian BUMN yakni akuisisi, merger, likuidasi, dan privatisasi.
Urusan empat kewenangan tersebut bergantung persetujuan Kementerian Keuangan, padahal urusan terbesar yang harus dilakukan Kementerian BUMN adalah bagaimana merestrukturisasi perusahaan agar memenuhi tugas yang diharapkan.(*)
()