SBY-PKS dinilai saling sandera
A
A
A
Sindonews.com – Ketidakpastian soal kelanjutan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam koalisi dinilai justru memperjelas adanya politik saling sandera antara parpol pimpinan Luthfi Hasan Ishaaq itu dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Dede Mariana, PKS sangat menyadari bahwa dalam dinamika terkait sikap mereka yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ini, posisi SBY cukup dilematis.
Di satu sisi, SBY memang sangat kecewa dengan sikap PKS. SBY terdesak untuk mengakomodasi aspirasi dari Partai Demokrat serta partai lain dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) agar segera mendepak PKS dari koalisi.
Di sisi lain, jasa-jasa PKS dalam upaya pemenangan SBY tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Hal ini pula yang membuat posisi tawar PKS kuat di koalisi. Terlebih SBY pun terikat dengan komitmen yang berkali-kali ditekankannya setiap menanggapi isu reshuffle kabinet yaitu pengangkatan dan pemberhentian menteri diukur dari kinerja masing-masing menteri dan kementerian.
“Kalau SBY mencopot menteri- menteri dari PKS sebagai simbol bahwa PKS sudah tak dianggap lagi di koalisi, artinya dia pun termakan omongannya sendiri soal kabinet yang dibangun secara profesional, bukan kepentingan politik semata,” papar Dede kepada SINDO kemarin.
Sikap diam SBY, lanjut Dede, akan selalu dibalas dengan sikap diam pula oleh PKS. Tidak diundangnya PKS dalam beberapa rapat terakhir Setgab Koalisi pun ternyata tidak membuat PKS terpancing untuk bertindak reaktif.
“Akhirnya kondisi saat ini antara SBY dan PKS adalah saling sandera dan saling tunggu. Sama-sama tidak nyaman. Jadi, kita lihat siapa yang duluan tidak tahan dengan kondisi ini,” ungkap guru besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Unpad ini.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Lampung (Unila) Ariska Warganegara berpendapat, politik saling sandera antara SBY, PKS, dan Golkar di belakang layar hanya bisa selesai bila SBY segera memutuskan nasib tiga menteri dari PKS.
Dia khawatir kinerja pemerintahan terganggu lantaran ketidakpastian membuat legitimasi menteri dari PKS di kementeriannya menurun. Parpol- parpol anggota koalisi pun akan lebih berani lagi bermain atau terang-terangan berbeda pendapat dengan pemerintah karena tidak ada ketegasan apakah sikap berseberangan itu dilarang atau memang diperbolehkan.
“Solusinya, sampaikan meski itu pahit. SBY harus memberi kepastian apakah PKS tetap di koalisi atau tidak. Itu saja. Pemimpin kan memang harus mengambil keputusan. Jauh lebih baik dibanding membiarkan mengambang,” kata Ariska.
Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan, pencopotan menteri baik dari latar belakang parpol maupun profesional sepenuhnya hak prerogatif presiden.
Pertimbangan politik tidak mungkin dikesampingkan. Yang jelas, koalisi pasti dan harus mendukung siapa pun yang akan diberhentikan dan diangkat oleh presiden. “Yang perlu dicatat adalah PKS sudah tidak dianggap lagi sebagai anggota koalisi. Tapi kalau soal menteri,itu domain presiden. Jangan terus diarah-kan untuk ke arah sana terus.Apa pun keputusannya, kami akan mengamankan dan men-dukungnya,” kata Ruhut.
Politikus PKS Jazuli Juwaini menekankan, pihaknya tidak menunggu dikeluarkan dari koalisi. PKS tidak peduli akan dikeluarkan atau tetap dalam koalisi. Karena itu, PKS tidak akan reaktif menanggapi desakan dari parpol lain di koalisi agar PKS dikeluarkan.
“Kalau ada yang berhak mengeluarkan kami, yahanya SBY. Kalau benar kami dikeluarkan,baru PKS mengambil sikap,” kata anggota Komisi VIII DPR itu.(lin)
Menurut pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Dede Mariana, PKS sangat menyadari bahwa dalam dinamika terkait sikap mereka yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ini, posisi SBY cukup dilematis.
Di satu sisi, SBY memang sangat kecewa dengan sikap PKS. SBY terdesak untuk mengakomodasi aspirasi dari Partai Demokrat serta partai lain dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) agar segera mendepak PKS dari koalisi.
Di sisi lain, jasa-jasa PKS dalam upaya pemenangan SBY tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Hal ini pula yang membuat posisi tawar PKS kuat di koalisi. Terlebih SBY pun terikat dengan komitmen yang berkali-kali ditekankannya setiap menanggapi isu reshuffle kabinet yaitu pengangkatan dan pemberhentian menteri diukur dari kinerja masing-masing menteri dan kementerian.
“Kalau SBY mencopot menteri- menteri dari PKS sebagai simbol bahwa PKS sudah tak dianggap lagi di koalisi, artinya dia pun termakan omongannya sendiri soal kabinet yang dibangun secara profesional, bukan kepentingan politik semata,” papar Dede kepada SINDO kemarin.
Sikap diam SBY, lanjut Dede, akan selalu dibalas dengan sikap diam pula oleh PKS. Tidak diundangnya PKS dalam beberapa rapat terakhir Setgab Koalisi pun ternyata tidak membuat PKS terpancing untuk bertindak reaktif.
“Akhirnya kondisi saat ini antara SBY dan PKS adalah saling sandera dan saling tunggu. Sama-sama tidak nyaman. Jadi, kita lihat siapa yang duluan tidak tahan dengan kondisi ini,” ungkap guru besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Unpad ini.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Lampung (Unila) Ariska Warganegara berpendapat, politik saling sandera antara SBY, PKS, dan Golkar di belakang layar hanya bisa selesai bila SBY segera memutuskan nasib tiga menteri dari PKS.
Dia khawatir kinerja pemerintahan terganggu lantaran ketidakpastian membuat legitimasi menteri dari PKS di kementeriannya menurun. Parpol- parpol anggota koalisi pun akan lebih berani lagi bermain atau terang-terangan berbeda pendapat dengan pemerintah karena tidak ada ketegasan apakah sikap berseberangan itu dilarang atau memang diperbolehkan.
“Solusinya, sampaikan meski itu pahit. SBY harus memberi kepastian apakah PKS tetap di koalisi atau tidak. Itu saja. Pemimpin kan memang harus mengambil keputusan. Jauh lebih baik dibanding membiarkan mengambang,” kata Ariska.
Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan, pencopotan menteri baik dari latar belakang parpol maupun profesional sepenuhnya hak prerogatif presiden.
Pertimbangan politik tidak mungkin dikesampingkan. Yang jelas, koalisi pasti dan harus mendukung siapa pun yang akan diberhentikan dan diangkat oleh presiden. “Yang perlu dicatat adalah PKS sudah tidak dianggap lagi sebagai anggota koalisi. Tapi kalau soal menteri,itu domain presiden. Jangan terus diarah-kan untuk ke arah sana terus.Apa pun keputusannya, kami akan mengamankan dan men-dukungnya,” kata Ruhut.
Politikus PKS Jazuli Juwaini menekankan, pihaknya tidak menunggu dikeluarkan dari koalisi. PKS tidak peduli akan dikeluarkan atau tetap dalam koalisi. Karena itu, PKS tidak akan reaktif menanggapi desakan dari parpol lain di koalisi agar PKS dikeluarkan.
“Kalau ada yang berhak mengeluarkan kami, yahanya SBY. Kalau benar kami dikeluarkan,baru PKS mengambil sikap,” kata anggota Komisi VIII DPR itu.(lin)
()