Mandala terbang lagi
A
A
A
Sindonews.com - Mandala Airlines kembali mengudara hari ini bila tak ada halangan. Setelah “istirahat” setahun lebih maskapai swasta tersebut akan melayani penerbangan pada empat kota besar domestik dan satu kota di luar negeri dengan mengusung pesawat Airbus 320.
Proses menghidupkan kembali Mandala adalah sebuah cerita tersendiri yang menarik. Bukan sekadar cerita seru bagaimana lika-liku mendapatkan investor baru, melainkan juga diwarnai proses perizinan yang panjang untuk meraih kembali izin terbang atau Air Operator Certificate (AOC) yang sempat dibekukan.
Kehadiran kembali maskapai penerbangan yang cukup akrab pada pengguna jasa penerbangan di Tanah Air itu bakal menambah seru “pertempuran” di maskapai yang menyasar segmen tarif murah atau lebih dikenal dengan istilah low cost carrier (LCC).
Manajemen Mandala sudah memasang kuda-kuda dengan konsep LCC yang diadopsi dari bisnis maskapai Singapura yakni Tiger Airways yang juga tercatat sebagai pemilik baru Mandala. Sekadar menyegarkan ingatan, Mandala hilang dari peredaran sejak 13 Januari 2011.
Maskapai tersebut terpaksa tiarap karena tak bisa menambal biaya operasional yang terus membengkak, utang pun makin menumpuk yang mencapai Rp2,45 triliun. Sebelum ambruk, manajemen membungkus persoalan utang dengan memunculkan sejumlah rencana ambisius.
Karena itu, sungguh mengejutkan ketika maskapai ini terjun bebas sehingga pengembalian biaya tiket yang sudah telanjur dibeli masyarakat juga tidak bisa diselesaikan. Mandala memilih konsep bisnis LCC bukan sekadar latah karena melihat sukses maskapai penerbangan nasional Lion Air dapat merajai pasar penerbangan domestik berkat tarif murah, atau Garuda Indonesia dengan Citilink yang baru saja dipisahkan dari induknya untuk memfokuskan pada konsep LCC,yang mulai mendapat apresiasi dari penumpang domestik.
Bagi manajemen Mandala, konsep bisnis tersebut sangat tepat untuk menyasar masyarakat kelas menengah Indonesia yang terus bertumbuh pesat belakangan ini. Manajemen Mandala telah memetakan bahwa ke depan pertumbuhan masyarakat kelas menengah semakin subur seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang makin stabil.
Dalam tujuh tahun terakhir,sebagaimana diungkapkan Sandiaga Uno, seorang investor di balik kebangkitan Mandala, pertambahan orang kaya baru mencapai sebanyak tujuh juta orang per tahun.“Kelas menengah baru itu membutuhkan better health care, better education, dan mulai melirik traveling dan entertainment.
Nah,itu pasar kita,”ungkap Sandiaga. Bagai pemakai jasa penerbangan tentu saja akan menguntungkan bila semakin banyak operator penerbangan yang menawarkan tarif murah. Kita berharap para operator terutama yang baru bermain di konsep bisnis LCC bukan sekadar mengedepankan tarif murah, melainkan tetap harus diimbangi dengan pelayanan yang memadai terutama dalam keselamatan dan hak-hak penumpang.
Ini bukan sekadar cerita, melainkan fakta lapangan beberapa operator penerbangan dengan konsep bisnis tarif murah cenderung “melecehkan” penumpang dalam ketepatan waktu hingga keamanan bagasi penumpang yang tidak terjamin.
Bila penumpang “terlecehkan”, manajemen maskapai yang bersangkutan cenderung lepas tangan. Seringkali respons balik para staf maskapai menanggapi keluhan penumpang dengan tidak sopan lewat omongan seperti ini, “Ya, itu risiko memilih pesawat tarif murah.”
Pemerintah memang tidak tinggal diam, berbagai kebijakan sudah ditelurkan yang sangat berpihak kepada masyarakat pengguna jasa penerbangan misalnya kebijakan denda terhadap operator bila menelantarkan penumpang lebih dari tiga jam. Namun, kebijakan itu belum bisa menaklukkan para operator penerbangan yang melanggar.(azh)
Proses menghidupkan kembali Mandala adalah sebuah cerita tersendiri yang menarik. Bukan sekadar cerita seru bagaimana lika-liku mendapatkan investor baru, melainkan juga diwarnai proses perizinan yang panjang untuk meraih kembali izin terbang atau Air Operator Certificate (AOC) yang sempat dibekukan.
Kehadiran kembali maskapai penerbangan yang cukup akrab pada pengguna jasa penerbangan di Tanah Air itu bakal menambah seru “pertempuran” di maskapai yang menyasar segmen tarif murah atau lebih dikenal dengan istilah low cost carrier (LCC).
Manajemen Mandala sudah memasang kuda-kuda dengan konsep LCC yang diadopsi dari bisnis maskapai Singapura yakni Tiger Airways yang juga tercatat sebagai pemilik baru Mandala. Sekadar menyegarkan ingatan, Mandala hilang dari peredaran sejak 13 Januari 2011.
Maskapai tersebut terpaksa tiarap karena tak bisa menambal biaya operasional yang terus membengkak, utang pun makin menumpuk yang mencapai Rp2,45 triliun. Sebelum ambruk, manajemen membungkus persoalan utang dengan memunculkan sejumlah rencana ambisius.
Karena itu, sungguh mengejutkan ketika maskapai ini terjun bebas sehingga pengembalian biaya tiket yang sudah telanjur dibeli masyarakat juga tidak bisa diselesaikan. Mandala memilih konsep bisnis LCC bukan sekadar latah karena melihat sukses maskapai penerbangan nasional Lion Air dapat merajai pasar penerbangan domestik berkat tarif murah, atau Garuda Indonesia dengan Citilink yang baru saja dipisahkan dari induknya untuk memfokuskan pada konsep LCC,yang mulai mendapat apresiasi dari penumpang domestik.
Bagi manajemen Mandala, konsep bisnis tersebut sangat tepat untuk menyasar masyarakat kelas menengah Indonesia yang terus bertumbuh pesat belakangan ini. Manajemen Mandala telah memetakan bahwa ke depan pertumbuhan masyarakat kelas menengah semakin subur seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang makin stabil.
Dalam tujuh tahun terakhir,sebagaimana diungkapkan Sandiaga Uno, seorang investor di balik kebangkitan Mandala, pertambahan orang kaya baru mencapai sebanyak tujuh juta orang per tahun.“Kelas menengah baru itu membutuhkan better health care, better education, dan mulai melirik traveling dan entertainment.
Nah,itu pasar kita,”ungkap Sandiaga. Bagai pemakai jasa penerbangan tentu saja akan menguntungkan bila semakin banyak operator penerbangan yang menawarkan tarif murah. Kita berharap para operator terutama yang baru bermain di konsep bisnis LCC bukan sekadar mengedepankan tarif murah, melainkan tetap harus diimbangi dengan pelayanan yang memadai terutama dalam keselamatan dan hak-hak penumpang.
Ini bukan sekadar cerita, melainkan fakta lapangan beberapa operator penerbangan dengan konsep bisnis tarif murah cenderung “melecehkan” penumpang dalam ketepatan waktu hingga keamanan bagasi penumpang yang tidak terjamin.
Bila penumpang “terlecehkan”, manajemen maskapai yang bersangkutan cenderung lepas tangan. Seringkali respons balik para staf maskapai menanggapi keluhan penumpang dengan tidak sopan lewat omongan seperti ini, “Ya, itu risiko memilih pesawat tarif murah.”
Pemerintah memang tidak tinggal diam, berbagai kebijakan sudah ditelurkan yang sangat berpihak kepada masyarakat pengguna jasa penerbangan misalnya kebijakan denda terhadap operator bila menelantarkan penumpang lebih dari tiga jam. Namun, kebijakan itu belum bisa menaklukkan para operator penerbangan yang melanggar.(azh)
()