RUU Pilkada atur Gubernur dipilih DPRD
A
A
A
Sindonews.com - Rancangan Undang- Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang akan dibahas DPR mengusulkan pemilihan gubernur dilakukan DPRD provinsi.
Anggota Tim Perumus RUU Pilkada Siti Zuhro mengatakan, usulan tersebut sebagai evaluasi dan solusi terhadap sistem pemerintahan provinsi. Sementara untuk kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota madya, teknis pemilihannya tetap langsung oleh rakyat. "Usulan ini munculnya sudah lama, namun baru dimasukkan dalam draf RUU Pilkada," katanya di Jakarta kemarin.
Sebagaimana diketahui, saat ini terkait pemerintah daerah diatur dalam UU No 32 Tahun 2004. Dalam revisi yang akan dibahas ini, UU tersebut dibagi lagi ke dalam RUU Pilkada dan RUU Desa.
Pengamat politik LIPI ini mengungkapkan, usulan tersebut dinilai sangat baik, terutama dari segi efisiensi pemerintahan daerah yang selama ini sudah banyak dikritik publik. "Bisa saja Pilkada DKI Jakarta menjadi yang terakhir dipilih langsung oleh rakyat," lanjutnya.
Menurut dia, kedudukan pemerintah provinsi adalah perwakilan dari pemerintah nasional, sehingga fungsinya sebagai koordinator dan pengawas yang bertanggung jawab penuh terhadap pemerintah di bawahnya yakni kabupaten dan kota madya, otonomi gubernur juga tidak penuh sebagaimana pemerintah kabupaten dan kota madya.
"Jadi, revisinya (UU 32/2004) ini harus diikuti PP No 19/2011 tentang penguatan peran fungsi gubernur. Kalau gubernur tidak dimaksimalkan perannya, tidak ada tanggung jawab penuh di provinsi terhadap kabupaten/ kotanya. Padahal, provinsi harus melakukan koordinasi dan pengawasan karena provinsi sebagai wakil pemerintah nasional," jelasnya.
Dia menambahkan, pemilihan gubernur melalui DPRD sebagaimana rezim Orde Baru, tidak menyalahi Undang- Undang Dasar (UUD). Dalam UUD pasal 18 disebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. "Pemilihan melalui DPRD juga demokratis. Yang tidak boleh adalah penunjukan," tandasnya.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa usulan pemerintah, wakil kepala daerah (wakil gubernur, wakil bupati/ wali kota) tidak dipilih berpasangan atau satu paket dengan kepala daerah.
Pemilihan kepala daerah berlangsung tunggal saja, yaitu hanya kepala daerah. Alasannya, tingginya pecah kongsi antara kepala daerah dan wakilnya setelah menjabat. "Kemesraan cuma tiga bulan, kemudian gontok-gontokan. Ini membingungkan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat terganggu akibat keduanya bersaing. Kami berkewajiban untuk mengatasi ini," kata Djohan.
Menurutnya, otonomi luas itu berada di kabupaten/kota. Semua urusan pendidikan, kesehatan, perumahan, air minum, dan sebagainya ada di kabupaten atau kota. Jadi, bukan hanya bupati atau wali kota yang dipilih DPRD. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Reydonnyzar Moenek menegaskan, terdapat isu mendasar dalam draf RUU Pilkada.
Salah satunya tentang kedudukan kepala daerah.Dalam draf itu, jelasnya, yang terpilih dalam pilkada hanyalah kepala daerah, bukan wakil kepala daerah. Setelah enam bulan melalui DPRD, kepala daerah terpilih baru bisa mengusulkan wakil dari pejabat birokrasi yang memiliki kekuasaan tertinggi yang dicalonkan. (san)
Anggota Tim Perumus RUU Pilkada Siti Zuhro mengatakan, usulan tersebut sebagai evaluasi dan solusi terhadap sistem pemerintahan provinsi. Sementara untuk kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota madya, teknis pemilihannya tetap langsung oleh rakyat. "Usulan ini munculnya sudah lama, namun baru dimasukkan dalam draf RUU Pilkada," katanya di Jakarta kemarin.
Sebagaimana diketahui, saat ini terkait pemerintah daerah diatur dalam UU No 32 Tahun 2004. Dalam revisi yang akan dibahas ini, UU tersebut dibagi lagi ke dalam RUU Pilkada dan RUU Desa.
Pengamat politik LIPI ini mengungkapkan, usulan tersebut dinilai sangat baik, terutama dari segi efisiensi pemerintahan daerah yang selama ini sudah banyak dikritik publik. "Bisa saja Pilkada DKI Jakarta menjadi yang terakhir dipilih langsung oleh rakyat," lanjutnya.
Menurut dia, kedudukan pemerintah provinsi adalah perwakilan dari pemerintah nasional, sehingga fungsinya sebagai koordinator dan pengawas yang bertanggung jawab penuh terhadap pemerintah di bawahnya yakni kabupaten dan kota madya, otonomi gubernur juga tidak penuh sebagaimana pemerintah kabupaten dan kota madya.
"Jadi, revisinya (UU 32/2004) ini harus diikuti PP No 19/2011 tentang penguatan peran fungsi gubernur. Kalau gubernur tidak dimaksimalkan perannya, tidak ada tanggung jawab penuh di provinsi terhadap kabupaten/ kotanya. Padahal, provinsi harus melakukan koordinasi dan pengawasan karena provinsi sebagai wakil pemerintah nasional," jelasnya.
Dia menambahkan, pemilihan gubernur melalui DPRD sebagaimana rezim Orde Baru, tidak menyalahi Undang- Undang Dasar (UUD). Dalam UUD pasal 18 disebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. "Pemilihan melalui DPRD juga demokratis. Yang tidak boleh adalah penunjukan," tandasnya.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa usulan pemerintah, wakil kepala daerah (wakil gubernur, wakil bupati/ wali kota) tidak dipilih berpasangan atau satu paket dengan kepala daerah.
Pemilihan kepala daerah berlangsung tunggal saja, yaitu hanya kepala daerah. Alasannya, tingginya pecah kongsi antara kepala daerah dan wakilnya setelah menjabat. "Kemesraan cuma tiga bulan, kemudian gontok-gontokan. Ini membingungkan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat terganggu akibat keduanya bersaing. Kami berkewajiban untuk mengatasi ini," kata Djohan.
Menurutnya, otonomi luas itu berada di kabupaten/kota. Semua urusan pendidikan, kesehatan, perumahan, air minum, dan sebagainya ada di kabupaten atau kota. Jadi, bukan hanya bupati atau wali kota yang dipilih DPRD. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Reydonnyzar Moenek menegaskan, terdapat isu mendasar dalam draf RUU Pilkada.
Salah satunya tentang kedudukan kepala daerah.Dalam draf itu, jelasnya, yang terpilih dalam pilkada hanyalah kepala daerah, bukan wakil kepala daerah. Setelah enam bulan melalui DPRD, kepala daerah terpilih baru bisa mengusulkan wakil dari pejabat birokrasi yang memiliki kekuasaan tertinggi yang dicalonkan. (san)
()