Uji materiil di MK tak perlu
A
A
A
Sindonews.com - Rencana pengajuan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait keputusan sidang paripurna DPR mengenai rencana perubahan Undang-undang APBNP 2012 pada pasal 7 ayat 6 seharunya tak perlu dilakukan.
Partai Demokrat menilai pengajuan itu justru hanya menunjukkan adanya politisasi rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BMM) yang akan ditetapkan pemerintah.
"Kami tidak berharap ada pengujian materi di MK. Karena apa yang terjadi dan menjadi keputusan DPR kemarin itu sesungguhnya adalah langkah normalisasi ayat 6a itu," ungkap Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Anas Urbaningrum usai rapat koordinasi di Kantor DPP Partai Demokrat Graha Kramat VII, Jakarta Pusat, Minggu (1/4/2012).
Menurut Anas, jika tidak terdapat ayat 6a, maka keputusan dalam APBN itu tidak normal. Sebab, dalam pasal 7 ayat 6 yang menyebut tidak ada kenaikan BBM bersubsidi sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini.
Maka, dengan perubahan APBN dengan menggantikan ayat 6a, memberi ruang bagi pemerintah untuk mengambil langkah kebijakan yang diperlukan.
"Eksekutif itu pemerintah, kalau pemerintah tidak boleh mengambil langkah, padahal situasi saat ini berubah. Yang terjadi, pemerintah kehilangan otoritas eksekutifnya," tukasnya.(lin)
Partai Demokrat menilai pengajuan itu justru hanya menunjukkan adanya politisasi rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BMM) yang akan ditetapkan pemerintah.
"Kami tidak berharap ada pengujian materi di MK. Karena apa yang terjadi dan menjadi keputusan DPR kemarin itu sesungguhnya adalah langkah normalisasi ayat 6a itu," ungkap Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Anas Urbaningrum usai rapat koordinasi di Kantor DPP Partai Demokrat Graha Kramat VII, Jakarta Pusat, Minggu (1/4/2012).
Menurut Anas, jika tidak terdapat ayat 6a, maka keputusan dalam APBN itu tidak normal. Sebab, dalam pasal 7 ayat 6 yang menyebut tidak ada kenaikan BBM bersubsidi sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini.
Maka, dengan perubahan APBN dengan menggantikan ayat 6a, memberi ruang bagi pemerintah untuk mengambil langkah kebijakan yang diperlukan.
"Eksekutif itu pemerintah, kalau pemerintah tidak boleh mengambil langkah, padahal situasi saat ini berubah. Yang terjadi, pemerintah kehilangan otoritas eksekutifnya," tukasnya.(lin)
()