Fatsun politik BBM
A
A
A
Di manakah fatsun politik ditempatkan? Pertanyaan ini mencuat bersamaan dengan kisruh dan pro-kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebab di balik tarik-menarik yang terwujud dalam beragam manuver,muncul sejumlah keanehan yang sulit diterima akal sehat.
Secara hitam putih, memang, tidak bisa disalahkan. Tapi apakah pantas dilakukan, itulah yang patut dipersoalkan. Ada beberapa kepala daerah turun ke jalan bersama mahasiswa dan sejumlah komponen antikenaikan harga BBM.
Mereka bukan sekadar memberikan respons normatif atas tuntutan yang disampaikan agar demonstran puas, tapi menempati garda terdepan memimpin aksi dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap rencana kebijakan pemerintah.
Tak kalah heroik, seorang politikus perempuan beberapa hari belakangan berkoar-koar akan ada massa buruh puluhan ribu menggereduk Senayan untuk menggagalkan kenaikan harga BBM pada sidang paripurna DPR yang digelar Jumat ini.
Kalau ternyata demonstrasi justru malah memicu kerusuhan dan merugikan pihak lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan kebijakan kenaikan harga BBM, apakah yang bersangkutan mau bertanggung jawab?
Di sisi lain, keanehan juga muncul dari partai politik dalam koalisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Walaupun posisinya jelas-jelas sebagai partai pemerintah dengan empat menterinya di kabinet, partai tersebut memilih berseberangan dengan sikap pemerintah dengan alasan harus membela kaum cilik yang memilihnya.
Apakah rencana pemerintah menaikkan harga BBM sangat “keji” sehingga serta-merta salah dan harus ditolak? Mempertanyakan mana yang benar,harga BBM naik atau tidak, adalah masalah sudut pandang.
Pihak yang mati-matian menolak menganggap kenaikan harga BBM akan semakin menyengsarakan rakyat karena akan mendorong kenaikan inflasi. Adapun pemerintah dipastikan menggunakan logika subsidi BBM harus dikurangi karena harga BBM di pasar dunia terus naik, di sisi lain beban subsidi yang semakin tinggi justru dinikmati minoritas masyarakat yang mempunyai kendaraan pribadi.
Subsidi BBM sebesar Rp178 triliun lebih baik dimanfaatkan untuk meningkatkan dana pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur,dan keperluan lainnya. Tentu semua masalah yang muncul harus diselesaikan.
Namun sikap yang dibutuhkan harus benar-benar berorientasi pada solusi bagaimana jika harga BBM tidak naik atau sebaliknya jika harus naik, dengan muara untuk kepentingan masyarakat dan bangsa ini. Masalahnya tindakan yang dimunculkan berangkat dari sikap asal menolak dan bahkan kental dengan politisasi.
Siapa tahu seorang kepala daerah turun ke jalan bukan sekadar untuk menolak BBM, tapi memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun pencitraan demi agenda politik pribadinya seperti kembali maju pda pemilihan kepala daerah (pilkada)?
Apakah niat politisi DPR memanaskan suhu politik menjelang kenaikan harga BBM murni untuk kepentingan rakyat, sementara pimpinan partainya saat masih berkuasa juga ngotot menaikkan harga BBM dengan alasan menyelamatkan perekonomian bangsa?
Mengapa pula yang bersangkutan tidak memanfaatkan posisi sebagai wakil rakyat, tapi memilih memanfaatkan parlemen jalanan? Begitu pun partai anggota koalisi, mengapa tidak memilih mendukung rencana pemerintah, membantu mencari solusi terbaik dari keputusan yang diambil dan bersama-sama menghadapi risiko kebijakan tersebut, tetapi justru mengambil sikap berseberangan?
Apakah takut tidak populis sehingga dukungan suaranya akan terus melorot? Tidak ada yang bisa menyalahkan sikap mereka. Tapi rasanya mereka tidak menempatkan fatsun politik pada posisi semestinya.(*)
Secara hitam putih, memang, tidak bisa disalahkan. Tapi apakah pantas dilakukan, itulah yang patut dipersoalkan. Ada beberapa kepala daerah turun ke jalan bersama mahasiswa dan sejumlah komponen antikenaikan harga BBM.
Mereka bukan sekadar memberikan respons normatif atas tuntutan yang disampaikan agar demonstran puas, tapi menempati garda terdepan memimpin aksi dan mengobarkan semangat perlawanan terhadap rencana kebijakan pemerintah.
Tak kalah heroik, seorang politikus perempuan beberapa hari belakangan berkoar-koar akan ada massa buruh puluhan ribu menggereduk Senayan untuk menggagalkan kenaikan harga BBM pada sidang paripurna DPR yang digelar Jumat ini.
Kalau ternyata demonstrasi justru malah memicu kerusuhan dan merugikan pihak lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan kebijakan kenaikan harga BBM, apakah yang bersangkutan mau bertanggung jawab?
Di sisi lain, keanehan juga muncul dari partai politik dalam koalisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Walaupun posisinya jelas-jelas sebagai partai pemerintah dengan empat menterinya di kabinet, partai tersebut memilih berseberangan dengan sikap pemerintah dengan alasan harus membela kaum cilik yang memilihnya.
Apakah rencana pemerintah menaikkan harga BBM sangat “keji” sehingga serta-merta salah dan harus ditolak? Mempertanyakan mana yang benar,harga BBM naik atau tidak, adalah masalah sudut pandang.
Pihak yang mati-matian menolak menganggap kenaikan harga BBM akan semakin menyengsarakan rakyat karena akan mendorong kenaikan inflasi. Adapun pemerintah dipastikan menggunakan logika subsidi BBM harus dikurangi karena harga BBM di pasar dunia terus naik, di sisi lain beban subsidi yang semakin tinggi justru dinikmati minoritas masyarakat yang mempunyai kendaraan pribadi.
Subsidi BBM sebesar Rp178 triliun lebih baik dimanfaatkan untuk meningkatkan dana pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur,dan keperluan lainnya. Tentu semua masalah yang muncul harus diselesaikan.
Namun sikap yang dibutuhkan harus benar-benar berorientasi pada solusi bagaimana jika harga BBM tidak naik atau sebaliknya jika harus naik, dengan muara untuk kepentingan masyarakat dan bangsa ini. Masalahnya tindakan yang dimunculkan berangkat dari sikap asal menolak dan bahkan kental dengan politisasi.
Siapa tahu seorang kepala daerah turun ke jalan bukan sekadar untuk menolak BBM, tapi memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun pencitraan demi agenda politik pribadinya seperti kembali maju pda pemilihan kepala daerah (pilkada)?
Apakah niat politisi DPR memanaskan suhu politik menjelang kenaikan harga BBM murni untuk kepentingan rakyat, sementara pimpinan partainya saat masih berkuasa juga ngotot menaikkan harga BBM dengan alasan menyelamatkan perekonomian bangsa?
Mengapa pula yang bersangkutan tidak memanfaatkan posisi sebagai wakil rakyat, tapi memilih memanfaatkan parlemen jalanan? Begitu pun partai anggota koalisi, mengapa tidak memilih mendukung rencana pemerintah, membantu mencari solusi terbaik dari keputusan yang diambil dan bersama-sama menghadapi risiko kebijakan tersebut, tetapi justru mengambil sikap berseberangan?
Apakah takut tidak populis sehingga dukungan suaranya akan terus melorot? Tidak ada yang bisa menyalahkan sikap mereka. Tapi rasanya mereka tidak menempatkan fatsun politik pada posisi semestinya.(*)
()