Budi Santoso ungkap peranan Bank AG
A
A
A
Sindonews.com - Direktur Keuangan PT First Mujur Plantation Industry (PT FMPI) Budi Santoso membeberkan peran Bank Arta Graha dalam kasus cek pelawat terkait pemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) periode 2004-2009.
Menurut Budi, Bank Arta Graha adalah penghubung pembelian cek pelawat 480 lembar cek pelawat senilai Rp24 miliar yang diberikan kepada puluhan anggota DPR RI periode 1999-2004.
Budi mengatakan, pada awal 2004 pemilik PT FMPI Hidayat Lukman membuat perjanjian kerja sama dengan Suhardi alias Ferry Yen untuk membeli kebun sawit di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Menurut Budi, total pembelian kebun itu senilai Rp75 miliar dengan luas lahan sebanyak 5 ribu hektare.
"Mereka buat perjanjian kerja sama. Saham Hidayat 80 persen dan Suhardi 20 persen atau FMPI Rp60 miliar dan Suhardi Rp 15 miliar," ucap Budi bersaksi untuk terdakwa Nunun Nurbaeti, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/3/2012).
Menurut Budi, pada 7 Juni 2004 uang tersebut mulai dikeluarkan. Suhardi, lanjut Budi, sempat datang ke kantor PT FMPI untuk mengambil uangnya. Sayangnya, pada saat Suhardi tiba, dia berubah pikiran. "Pada saat datang dia minta uangnya diubah menjadi TC (traveller check/cek pelawat)," jelas Budi.
Kepada mejelis hakim Budi mengaku meminta izin ke atasannya Hidayat Lukman atas permintaan Suhardi. Permohonan tersebut pun disetujui atasannya itu.
Setelah mendapat persetujuan itu, Budi mengaku langsung memesan cek pelawat itu ke Bank Artha Graha. Sayangnya, lantaran Bank Artha Graha tak menjual cek pelawat, Bank tersebut pun memesan ke Bank Intenational Indonesia. "(Yang memesan) Bank Artha Graha. Tapi yang bayar kami, jadi kami transfer ke BII melalui Bank Artha Graha" ucapnya.
Pembayaran itu, lanjut Budi, dilakukan melalui kredit. Hal tersebut dilakukan karena tempat dia bekerja itu memiliki fasiilitas revolving loan di Bank Artha Graha.
Lebih lanjut Budi mengungkapkan jika cek itu dapat diambil pada 8 Juni 2004 atau bersamaan dengan pelaksanaan fit and proper test pemilihan Deputi Gubenur Senior Bank Indonesia di DPR. Pihak BII pun datang dengan membawa cek pelawat dan perjanjiannya pada 8 Juni. "Total ada 480 lembar," beber Budi.
Budi pun mengaku menandatangani formulir penjualan cek pelawat itu dan menyerahkan 480 cek pelawat itu ke Suhardi. Pada saat penyerahan cek pelawat itu, Budi memastikan, bosnya, Suhardi tak ditemani oleh siapapun termasuk Nunun Nurbaetie atau Miranda Goeltom. "Tidak. Sendirian dia," tegasnya.
Transaksi penerimaan cek pelawat itu, ucap Budi, dilakukan di kantor PT FMPI di Gedung Artha Graha lantai 27. Budi pun membuat tanda terima setelah Suhardi menerima cek pelawat itu. Cek tersebut selanjutnya di bawa pulang.
Budi mengaku tak mengetahui untuk apa cek pelawat itu setelah diterima oleh SUhardi. Budi pun tak mengetahui sama sekali jika cek-cek pelawat itu diserahkan ke puluhan anggota DPR periode 1999-2004. "Saya gak tahu," akunya.
Suhardi alias Ferry Yen sendiri sudah meninggal pada tahun 2007 atau sebelum kasus ini terbongkar. Ferry Yen sendiri dianggap sebagai saksi kunci pada kasus ini karena dianggap sebagai pihak yang mengetahui asal usul pemberian cek pelawat kepada puluhan anggota DPR periode 1999-2004.
Pasalnya, ada mata rantai yang dianggap terputus. Yaitu, ketika cek-cek pelawat itu bisa sampai ke tangan Nunun Nurbaetie yang kemudian ia memerintahkan anak buahnya yaitu Ari Malangjudo untuk membagi-bagikan cek pelawat tersebut kepada anggota DPR yang belakangan diketahui terkait dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom pada 2004 lalu. (san)
Menurut Budi, Bank Arta Graha adalah penghubung pembelian cek pelawat 480 lembar cek pelawat senilai Rp24 miliar yang diberikan kepada puluhan anggota DPR RI periode 1999-2004.
Budi mengatakan, pada awal 2004 pemilik PT FMPI Hidayat Lukman membuat perjanjian kerja sama dengan Suhardi alias Ferry Yen untuk membeli kebun sawit di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Menurut Budi, total pembelian kebun itu senilai Rp75 miliar dengan luas lahan sebanyak 5 ribu hektare.
"Mereka buat perjanjian kerja sama. Saham Hidayat 80 persen dan Suhardi 20 persen atau FMPI Rp60 miliar dan Suhardi Rp 15 miliar," ucap Budi bersaksi untuk terdakwa Nunun Nurbaeti, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/3/2012).
Menurut Budi, pada 7 Juni 2004 uang tersebut mulai dikeluarkan. Suhardi, lanjut Budi, sempat datang ke kantor PT FMPI untuk mengambil uangnya. Sayangnya, pada saat Suhardi tiba, dia berubah pikiran. "Pada saat datang dia minta uangnya diubah menjadi TC (traveller check/cek pelawat)," jelas Budi.
Kepada mejelis hakim Budi mengaku meminta izin ke atasannya Hidayat Lukman atas permintaan Suhardi. Permohonan tersebut pun disetujui atasannya itu.
Setelah mendapat persetujuan itu, Budi mengaku langsung memesan cek pelawat itu ke Bank Artha Graha. Sayangnya, lantaran Bank Artha Graha tak menjual cek pelawat, Bank tersebut pun memesan ke Bank Intenational Indonesia. "(Yang memesan) Bank Artha Graha. Tapi yang bayar kami, jadi kami transfer ke BII melalui Bank Artha Graha" ucapnya.
Pembayaran itu, lanjut Budi, dilakukan melalui kredit. Hal tersebut dilakukan karena tempat dia bekerja itu memiliki fasiilitas revolving loan di Bank Artha Graha.
Lebih lanjut Budi mengungkapkan jika cek itu dapat diambil pada 8 Juni 2004 atau bersamaan dengan pelaksanaan fit and proper test pemilihan Deputi Gubenur Senior Bank Indonesia di DPR. Pihak BII pun datang dengan membawa cek pelawat dan perjanjiannya pada 8 Juni. "Total ada 480 lembar," beber Budi.
Budi pun mengaku menandatangani formulir penjualan cek pelawat itu dan menyerahkan 480 cek pelawat itu ke Suhardi. Pada saat penyerahan cek pelawat itu, Budi memastikan, bosnya, Suhardi tak ditemani oleh siapapun termasuk Nunun Nurbaetie atau Miranda Goeltom. "Tidak. Sendirian dia," tegasnya.
Transaksi penerimaan cek pelawat itu, ucap Budi, dilakukan di kantor PT FMPI di Gedung Artha Graha lantai 27. Budi pun membuat tanda terima setelah Suhardi menerima cek pelawat itu. Cek tersebut selanjutnya di bawa pulang.
Budi mengaku tak mengetahui untuk apa cek pelawat itu setelah diterima oleh SUhardi. Budi pun tak mengetahui sama sekali jika cek-cek pelawat itu diserahkan ke puluhan anggota DPR periode 1999-2004. "Saya gak tahu," akunya.
Suhardi alias Ferry Yen sendiri sudah meninggal pada tahun 2007 atau sebelum kasus ini terbongkar. Ferry Yen sendiri dianggap sebagai saksi kunci pada kasus ini karena dianggap sebagai pihak yang mengetahui asal usul pemberian cek pelawat kepada puluhan anggota DPR periode 1999-2004.
Pasalnya, ada mata rantai yang dianggap terputus. Yaitu, ketika cek-cek pelawat itu bisa sampai ke tangan Nunun Nurbaetie yang kemudian ia memerintahkan anak buahnya yaitu Ari Malangjudo untuk membagi-bagikan cek pelawat tersebut kepada anggota DPR yang belakangan diketahui terkait dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom pada 2004 lalu. (san)
()