DPR harus steril dari politik transaksional
A
A
A
Sindonews.com - Agenda pembenahan sistem internal yang sedang digodok DPR mendapat dukungan luas dari kalangan LSM dan akademisi. Mereka berharap parlemen bisa terbebas dari praktik politik transaksional.
Direktur Advokasi, Monitoring, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan, bukan hanya sistem yang berkontribusi terhadap munculnya praktik-praktik koruptif di lingkungan parlemen. Faktor individu pun sangat menentukan kualitas lembaga legislatif tersebut secara keseluruhan.
"Kebijakan fraksi juga berpengaruh besar pada sistem dan tindakan para wakil rakyat. Itu yang seringkali berbenturan dengan kewajiban bahkan hak anggota DPR yang telah diatur Undang- Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)," katanya di Jakarta kemarin.
Menurut Ronald, fraksi idealnya justru mendorong dan memfasilitasi para anggotanya untuk menghindari perilaku koruptif. PSHK, kata dia, sudah mendorong agar setiap pengambilan keputusan di DPR berlangsung terbuka dan terdokumentasikan dengan baik sejak pembahasan UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MD3.
Dengan keterbukaan dan dokumentasi ini, dapat dilacak titik proses pembuatan kebijakan yang berkontribusi terhadap terjadinya korupsi. "Jadi kita tidak lagi berbicara sistem, individu anggota DPR, fraksi ataupun Sekretariat Jenderal karena semuanya punya potensi," ungkapnya.
Sementara itu, pakar hukum dan Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf mengatakan, karena DPR masih berkultur politik transaksional, berbagai pengambilan kebijakan baik itu RUU, pasal, pengawasan, maupun anggaran dapat dinegosiasikan oleh orang yang mempunyai kepentingan.
"Anggaran diperlonggar dengan dalih untuk bantuan sosial, padahal untuk kepentingan partainya dan lainlain. Di DPR banyak terjadi jual beli UU dan pasal. Soal meraih dukungan mengenai suatu pasal, ada yang ‘belanja’," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, DPR tengah menggodok konsep pembenahan sistem internal agar semua mekanisme kerjanya transparan dan akuntabel. Penarikan rumah dinas, penutupan kafe di Gedung DPR,dan absensi finger print adalah bagian dari agenda pembenahan.
Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, Badan Kehormatan (BK) DPR secara lisan sudah menyampaikan beberapa hal untuk dilakukan tentang perbaikan parlemen secara keseluruhan.
BK DPR antara lain mengusulkan agar bendahara umum partai tidak menjabat di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Tata Tertib (Tatib) DPR akan disempurnakan untuk mendorong peningkatan transparansi kinerja. Ketua DPR pun tak lagi otomatis menjabat ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
Terkait mekanisme dan sistem kerja,Ketua DPR Marzuki Alie saat rapat konsultasi dengan lembaga penegak hukum dan Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu menyatakan bahwa sistem yang ada sekarang ini yang membuat beberapa anggota Dewan terperangkap praktik korupsi.
Menurut dia, sistem yang ada di DPR secara keseluruhan belum bisa mencegah atau menutup terjadi korupsi. Untuk itu, perlu ada perbaikan sistem secara menyeluruh agar tidak ada lagi anggota Dewan yang terjerat. "Ada. Ada kaitannya dengan sistem. Orang-orang bisa tersandera karena sistem yang keliru," katanya.
Peneliti The Political Literacy Institute Dirga Maulana lebih menyoroti mentalitas para anggota Dewan. "Jangan salahkan sistem. Kalau mereka paham betul esensi demokrasi, biayanya pasti tidak mahal. Penguatan demokrasi itu bukan melalui uang, tapi ada pada civil society," tegasnya.
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menekankan perpaduan sistem dan orang tidak bisa dinafikan. Rendahnya integritas dan kualitas menimbulkan postur dan figur anggota Dewan yang tidak memadai secara moral dan tanggung jawab kepada publik.
"Orang seperti itu rentan melakukan korupsi ketika memasuki sistem, apalagi sistemnya juga korup. Kalau hanya mengandalkan gaji yang ada, tidak bisa setor ke partai. Sistem dan orangnya saling melengkapi, bahkan saling menjerat," papar Yudi.
Sekretaris Fraksi PKS DPR Abdul Hakim mengungkapkan, selama ini DPR banyak tersita waktunya oleh pekerjaan- pekerjaan di luar fungsi. DPR adalah lembaga politik yang bertugas membuat kebijakan politik (policy making), bukan mengurusi masalahmasalah kerumahtanggaan dan pekerjaan-pekerjaan teknis.
"Biarlah pekerjaan di luar pembuatan kebijakan politik dilakukan staf ahli dan tenaga administrasi dalam hal ini Sekretariat Jenderal sehingga DPR dapat fokus pada fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran," ungkapnya. (san)
Direktur Advokasi, Monitoring, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan, bukan hanya sistem yang berkontribusi terhadap munculnya praktik-praktik koruptif di lingkungan parlemen. Faktor individu pun sangat menentukan kualitas lembaga legislatif tersebut secara keseluruhan.
"Kebijakan fraksi juga berpengaruh besar pada sistem dan tindakan para wakil rakyat. Itu yang seringkali berbenturan dengan kewajiban bahkan hak anggota DPR yang telah diatur Undang- Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)," katanya di Jakarta kemarin.
Menurut Ronald, fraksi idealnya justru mendorong dan memfasilitasi para anggotanya untuk menghindari perilaku koruptif. PSHK, kata dia, sudah mendorong agar setiap pengambilan keputusan di DPR berlangsung terbuka dan terdokumentasikan dengan baik sejak pembahasan UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MD3.
Dengan keterbukaan dan dokumentasi ini, dapat dilacak titik proses pembuatan kebijakan yang berkontribusi terhadap terjadinya korupsi. "Jadi kita tidak lagi berbicara sistem, individu anggota DPR, fraksi ataupun Sekretariat Jenderal karena semuanya punya potensi," ungkapnya.
Sementara itu, pakar hukum dan Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf mengatakan, karena DPR masih berkultur politik transaksional, berbagai pengambilan kebijakan baik itu RUU, pasal, pengawasan, maupun anggaran dapat dinegosiasikan oleh orang yang mempunyai kepentingan.
"Anggaran diperlonggar dengan dalih untuk bantuan sosial, padahal untuk kepentingan partainya dan lainlain. Di DPR banyak terjadi jual beli UU dan pasal. Soal meraih dukungan mengenai suatu pasal, ada yang ‘belanja’," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, DPR tengah menggodok konsep pembenahan sistem internal agar semua mekanisme kerjanya transparan dan akuntabel. Penarikan rumah dinas, penutupan kafe di Gedung DPR,dan absensi finger print adalah bagian dari agenda pembenahan.
Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, Badan Kehormatan (BK) DPR secara lisan sudah menyampaikan beberapa hal untuk dilakukan tentang perbaikan parlemen secara keseluruhan.
BK DPR antara lain mengusulkan agar bendahara umum partai tidak menjabat di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Tata Tertib (Tatib) DPR akan disempurnakan untuk mendorong peningkatan transparansi kinerja. Ketua DPR pun tak lagi otomatis menjabat ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
Terkait mekanisme dan sistem kerja,Ketua DPR Marzuki Alie saat rapat konsultasi dengan lembaga penegak hukum dan Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu menyatakan bahwa sistem yang ada sekarang ini yang membuat beberapa anggota Dewan terperangkap praktik korupsi.
Menurut dia, sistem yang ada di DPR secara keseluruhan belum bisa mencegah atau menutup terjadi korupsi. Untuk itu, perlu ada perbaikan sistem secara menyeluruh agar tidak ada lagi anggota Dewan yang terjerat. "Ada. Ada kaitannya dengan sistem. Orang-orang bisa tersandera karena sistem yang keliru," katanya.
Peneliti The Political Literacy Institute Dirga Maulana lebih menyoroti mentalitas para anggota Dewan. "Jangan salahkan sistem. Kalau mereka paham betul esensi demokrasi, biayanya pasti tidak mahal. Penguatan demokrasi itu bukan melalui uang, tapi ada pada civil society," tegasnya.
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menekankan perpaduan sistem dan orang tidak bisa dinafikan. Rendahnya integritas dan kualitas menimbulkan postur dan figur anggota Dewan yang tidak memadai secara moral dan tanggung jawab kepada publik.
"Orang seperti itu rentan melakukan korupsi ketika memasuki sistem, apalagi sistemnya juga korup. Kalau hanya mengandalkan gaji yang ada, tidak bisa setor ke partai. Sistem dan orangnya saling melengkapi, bahkan saling menjerat," papar Yudi.
Sekretaris Fraksi PKS DPR Abdul Hakim mengungkapkan, selama ini DPR banyak tersita waktunya oleh pekerjaan- pekerjaan di luar fungsi. DPR adalah lembaga politik yang bertugas membuat kebijakan politik (policy making), bukan mengurusi masalahmasalah kerumahtanggaan dan pekerjaan-pekerjaan teknis.
"Biarlah pekerjaan di luar pembuatan kebijakan politik dilakukan staf ahli dan tenaga administrasi dalam hal ini Sekretariat Jenderal sehingga DPR dapat fokus pada fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran," ungkapnya. (san)
()