Transaksi bisnis wajib lapor PPATK

Selasa, 13 Maret 2012 - 10:52 WIB
Transaksi bisnis wajib lapor PPATK
Transaksi bisnis wajib lapor PPATK
A A A
Segala jenis transaksi bisnis yang sering digunakan sebagai sarana pencucian uang (money laundering) bakal mendapat pengawasan ketat.

Regulasi yang akan mengatur pencegahan secara dini tindakan pencucian uang dijadwalkan mulai berlaku 20 Maret mendatang, yang diterbitkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Meski PPATK sudah menyosialisasikan, para pelaku bisnis masih meragukan efektivitasnya. Bahkan, mereka menilai sebagai langkah kontradiktif karena hanya akan menambah jalur birokrasi, yang pada akhirnya bakal menjadi lahan suap yang subur.

Berdasarkan peraturan No: PER-12/1.02.1/PPATK/09/11 tentang cara pelaporan transaksi bagi penyedia barang atau jasa lainnya, PPATK mewajibkan penjual kendaraan bermotor mewah, pedagang permata dan perhiasan mas, pedagang barang antik, hingga penjualan properti untuk rumah mewah melaporkan setiap transaksi mulai dari Rp500 juta. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa penyampaian pelaporan transaksi wajib dilaksanakan paling lambat 14 hari kerja setelah tanggal transaksi.

Selain itu, para pelaku bisnis yang masuk kategori sebagaimana disyaratkan PPATK juga wajib melaporkan transaksi yang mencurigakan berdasarkan permintaan PPATK. Ketentuan itu ternyata memancing respons keras dari sebagian pengembang properti papan atas. Ketentuan batas transaksi minimal sebesar Rp500 juta yang wajib dilaporkan kepada PPATK bakal merecoki ”penjualan properti yang sedang tumbuh pesat saat ini. Batas lapor minimal transaksi tersebut dinilai terlalu rendah.

Sebaiknya, batas lapor minimal diwajibkan untuk transaksi Rp1 miliar ke atas bukan hanya untuk properti, melainkan juga diberlakukan bagi penjualan kendaraan mewah, sebab untuk melakukan pencucian uang dengan nilai Rp500 juta hingga Rp1 miliar terlalu kecil. Jadi, perlu dipikirkan lagi batas lapor minimal yang ideal. Khusus untuk bisnis properti dengan batas lapor minimal transaksi tersebut bakal mengganggu penjualan. Adanya ketentuan tersebut, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, pasti akan berpengaruh pada konsumen untuk membeli rumah karena adanya prosedur pelaporan yang membuat tidak nyaman.

Yang mengkhawatirkan justru motor penggerak penjualan properti yang bisa terganggu. Berdasarkan data penjualan properti tahun lalu, penjualan rumah pada kisaran harga sebesar Rp500 juta hingga Rp1 miliar justru menjadi primadona dalam bisnis properti dengan pangsa pasar sekitar 40%. Kewajiban pengembang properti melaporkan transaksi memang tidak lazim dan untuk pertama kalinya diberlakukan. Namun, kekhawatiran pengembang properti tersebut dipatahkan oleh PPATK.

Kewajiban lapor atas penjualan rumah seharga Rp500 juta lebih diyakini PPATK tidak akan merusak pasar sepanjang konsumen membelanjakan uang yang halal, kecuali jika pembelinya adalah para koruptor sudah pasti akan ketakutan terlacak perbuatan haramnya. “Sudah saatnya pengembang tidak melindungi koruptor, seluruh komponen bangsa harus bergandengan tangan, bersatu padu melawan korupsi,” tegas Wakil Kepala PPATK Agus Santoso, menanggapi kekhawatiran para pelaku bisnis properti. Jujur saja, niat baik dari PPATK untuk membebaskan negeri ini dari bancakan para koruptor kita harus hargai.

Selama ini, yang kita sayangkan peran PPATK yang rutin melaporkan transaksi mencurigakan tak pernah digubris serius oleh instansi yang harus menindak pelaku, bahkan dijadikan arena pemerasan dan suap. Jadi, buat apa melaporkan setiap transaksi bisnis dengan batas minimal Rp500 juta sepanjang PPATK tidak memiliki kewenangan menindak bila terjadi pelanggaran. Jangan-jangan kebijakan itu bisa memperlebar lahan suap bagi instansi lain.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7199 seconds (0.1#10.140)