Komunikasi politik PKS dinilai buruk
A
A
A
Sindonews.com – Merosotnya kualitas sikap dan gaya komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dinilai sebagai faktor utama menurunnya elektabilitas parpol pimpinan Luthfi Hasan Ishaaq tersebut di mata publik.
Pengamat komunikasi politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto mengatakan, tren penurunan dukungan publik terhadap PKS disebabkan inkonsistensi PKS dalam beberapa kasus yang menarik perhatian luas dari masyarakat.
Misalnya pola relasi antagonistik yang dibangun PKS dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat reshuffle kabinet akhir tahun lalu. Menurut Gun Gun, publik banyak yang menilai PKS memosisikan mitra koalisi bercita rasa oposisi.
Beberapa elite PKS memberi ancaman akan keluar dari koalisi jika jatah menteri mereka dikurangi. Namun, pascapengumuman reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan nyata-nyata SBY mengurangi jatah mereka, PKS bertahan dalam kekuasaan. “Itu menjadi rekam jejak pragmatisme PKS yang tentu diingat publik,”ujarnya.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute itu menambahkan, di beberapa kasus lain PKS juga melakukan blunder misalnya dalam kasus Misbakhun dan Arifinto. Kedua kasus yang menimpa kader elite PKS itu secara nyata bertabrakan dengan brand image yang selama ini diandalkan yakni politik bersih.
“Menurut saya, perlahan tapi pasti terjadi pleonasme simbol di PKS, yang mengakibatkan PKS tidak lagi dianggap sebagai satu partai berbeda dengan tradisi partai-partai lain yang moralitasnya kerap tercederai,” katanya.
Kasus lain, lanjut dia, adalah manajemen konflik internal yang sempat menyeruak ke permukaan misalnya terkait kasus Yusuf Supendi. Gun Gun menjelaskan, secara kasatmata publik melihat ada konflik kubu ideologis dan pragmatis di tubuh PKS sehingga berdampak pada berlarut-larutnya konflik Yusuf Supendi dkk dengan Hilmi Aminuddin, Anis Matta, dan Luthfi Hasan Ishaaq. “Nah, ini juga tentu memberi input negatif pada persepsi publik tentang PKS,”ungkapnya.
Menolak Pengetatan Remisi
Sikap PKS yang menolak pengetatan remisi bagi koruptor juga menunjukkan tidak ada political will yang kuat dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari sekian banyak kasus tersebut, Gun Gun menilai PKS kekinian sudah tidak lagi memiliki sejumlah penanda sebagai partai transformatif dalam arti perubahan brand dari eksklusivitas islamisme ke inklusivitas nasionalisme dengan mengusung banyak slogan dan sikap moderat.
“Tidak banyak didukung oleh langkah-langkah politik yang konkret sebagai partai berorientasi 'problem solver'. PKS lebih senang berada di ‘zona nyaman’ sekaligus memainkan strategi dua kaki. Bagi elite PKS bisa dimaknai sebagai langkah taktis-strategis, tapi bagi publik bisa dipersepsikan sebagai pragmatisme,”urainya.
Dengan demikian, kata dia, sangat rasional jika dukungan publik atas PKS semakin menurun. Dalam berbagai survei elektabilitas, PKS terus menurun. Survei terakhir yang dilakukan LembagaSurveiIndonesia(LSI), elektabilitas PKS hanya 3,7 persen. Angka itu bahkan berada di bawah PAN,PPP,dan Gerindra.
Survei CSIS yang dirilis bulan lalu bahkan menampilkan angka elektabilitas PKS lebih rendah yakni hanya 3,1 persen. Peneliti senior LSI Burhanuddin Muhtadi menilai PKS gagal meraup suara dari para mantan pemilih Partai Demokrat yang kecewa atas berbagai kasus dugaan korupsi.
Menurut dia, dengan merosotnya dukungan Partai Demokrat, partai lain khususnya PKS dan Golkar sebenarnya secara diam-diam maupun terbuka ingin mengambil keuntungan. Namun, pemilih Demokrat juga tidak beralih ke PKS maupun partai lain.
"Publik tidak serta merta menganggap bahwa partai-partai lain selain Demokrat bersih juga dari noda-noda korupsi," katanya.
Menurut Burhanuddin, meski Demokrat mengalami degradasi elektoral luar biasa, partai-partai lain juga tidak dianggap punya kredibilitas lebih baik.
Misalnya moratorium remisi terhadap koruptor, PKS dan Golkar nyata-nyata menolak kebijakan itu, bahkan menggalang hak interpelasi di DPR.
"Padahal di mata publik itu sangat populis. Bagaimana mungkin koruptor dihukum sekian tahun, tapi kemudian bisa cepat keluar karena mendapatkan remisi berkali-kali," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPP PKS Bidang Politik Agus Poernomo mengatakan,angka dalam survei belakangan ini terkait elektabilitas PKS masih dalam margin normal. Karena itu, hasil survei tidak dimaknai sebagai penurunan,tapi angka statis dari perolehan PKS di Pemilu 2009.
“Karenanya rakernas (rapat kerja nasional) sekarang dilakukan buat menggenjot kinerja struktur,” katanya.
Dia berkilah, dalam survei dua tahun sebelum Pemilu 2009,PKS justru hanya mendapatkan dukungan 2,4 persen dan pada survei berikutnya tidak pernah mencapai 5 persen hingga menjelang Pemilu 2009.
Saat ini, kata Agus, pihaknya juga tidak terlalu risau dengan hasil survei. Apalagi, PKS juga memiliki survei pembanding yang hasilnya berbeda, tetapi masih dalam margin error yang normal yakni 5,6 persen pada Januari 2012.(lin)
Pengamat komunikasi politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto mengatakan, tren penurunan dukungan publik terhadap PKS disebabkan inkonsistensi PKS dalam beberapa kasus yang menarik perhatian luas dari masyarakat.
Misalnya pola relasi antagonistik yang dibangun PKS dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat reshuffle kabinet akhir tahun lalu. Menurut Gun Gun, publik banyak yang menilai PKS memosisikan mitra koalisi bercita rasa oposisi.
Beberapa elite PKS memberi ancaman akan keluar dari koalisi jika jatah menteri mereka dikurangi. Namun, pascapengumuman reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan nyata-nyata SBY mengurangi jatah mereka, PKS bertahan dalam kekuasaan. “Itu menjadi rekam jejak pragmatisme PKS yang tentu diingat publik,”ujarnya.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute itu menambahkan, di beberapa kasus lain PKS juga melakukan blunder misalnya dalam kasus Misbakhun dan Arifinto. Kedua kasus yang menimpa kader elite PKS itu secara nyata bertabrakan dengan brand image yang selama ini diandalkan yakni politik bersih.
“Menurut saya, perlahan tapi pasti terjadi pleonasme simbol di PKS, yang mengakibatkan PKS tidak lagi dianggap sebagai satu partai berbeda dengan tradisi partai-partai lain yang moralitasnya kerap tercederai,” katanya.
Kasus lain, lanjut dia, adalah manajemen konflik internal yang sempat menyeruak ke permukaan misalnya terkait kasus Yusuf Supendi. Gun Gun menjelaskan, secara kasatmata publik melihat ada konflik kubu ideologis dan pragmatis di tubuh PKS sehingga berdampak pada berlarut-larutnya konflik Yusuf Supendi dkk dengan Hilmi Aminuddin, Anis Matta, dan Luthfi Hasan Ishaaq. “Nah, ini juga tentu memberi input negatif pada persepsi publik tentang PKS,”ungkapnya.
Menolak Pengetatan Remisi
Sikap PKS yang menolak pengetatan remisi bagi koruptor juga menunjukkan tidak ada political will yang kuat dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari sekian banyak kasus tersebut, Gun Gun menilai PKS kekinian sudah tidak lagi memiliki sejumlah penanda sebagai partai transformatif dalam arti perubahan brand dari eksklusivitas islamisme ke inklusivitas nasionalisme dengan mengusung banyak slogan dan sikap moderat.
“Tidak banyak didukung oleh langkah-langkah politik yang konkret sebagai partai berorientasi 'problem solver'. PKS lebih senang berada di ‘zona nyaman’ sekaligus memainkan strategi dua kaki. Bagi elite PKS bisa dimaknai sebagai langkah taktis-strategis, tapi bagi publik bisa dipersepsikan sebagai pragmatisme,”urainya.
Dengan demikian, kata dia, sangat rasional jika dukungan publik atas PKS semakin menurun. Dalam berbagai survei elektabilitas, PKS terus menurun. Survei terakhir yang dilakukan LembagaSurveiIndonesia(LSI), elektabilitas PKS hanya 3,7 persen. Angka itu bahkan berada di bawah PAN,PPP,dan Gerindra.
Survei CSIS yang dirilis bulan lalu bahkan menampilkan angka elektabilitas PKS lebih rendah yakni hanya 3,1 persen. Peneliti senior LSI Burhanuddin Muhtadi menilai PKS gagal meraup suara dari para mantan pemilih Partai Demokrat yang kecewa atas berbagai kasus dugaan korupsi.
Menurut dia, dengan merosotnya dukungan Partai Demokrat, partai lain khususnya PKS dan Golkar sebenarnya secara diam-diam maupun terbuka ingin mengambil keuntungan. Namun, pemilih Demokrat juga tidak beralih ke PKS maupun partai lain.
"Publik tidak serta merta menganggap bahwa partai-partai lain selain Demokrat bersih juga dari noda-noda korupsi," katanya.
Menurut Burhanuddin, meski Demokrat mengalami degradasi elektoral luar biasa, partai-partai lain juga tidak dianggap punya kredibilitas lebih baik.
Misalnya moratorium remisi terhadap koruptor, PKS dan Golkar nyata-nyata menolak kebijakan itu, bahkan menggalang hak interpelasi di DPR.
"Padahal di mata publik itu sangat populis. Bagaimana mungkin koruptor dihukum sekian tahun, tapi kemudian bisa cepat keluar karena mendapatkan remisi berkali-kali," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPP PKS Bidang Politik Agus Poernomo mengatakan,angka dalam survei belakangan ini terkait elektabilitas PKS masih dalam margin normal. Karena itu, hasil survei tidak dimaknai sebagai penurunan,tapi angka statis dari perolehan PKS di Pemilu 2009.
“Karenanya rakernas (rapat kerja nasional) sekarang dilakukan buat menggenjot kinerja struktur,” katanya.
Dia berkilah, dalam survei dua tahun sebelum Pemilu 2009,PKS justru hanya mendapatkan dukungan 2,4 persen dan pada survei berikutnya tidak pernah mencapai 5 persen hingga menjelang Pemilu 2009.
Saat ini, kata Agus, pihaknya juga tidak terlalu risau dengan hasil survei. Apalagi, PKS juga memiliki survei pembanding yang hasilnya berbeda, tetapi masih dalam margin error yang normal yakni 5,6 persen pada Januari 2012.(lin)
()