Dikotomi tua-muda dinilai menyesatkan

Rabu, 22 Februari 2012 - 09:37 WIB
Dikotomi tua-muda dinilai menyesatkan
Dikotomi tua-muda dinilai menyesatkan
A A A
Sindonews.com – Kemunculan wacana dikotomi antara bakal calon presiden (capres) tua dan muda dinilai bisa menyesatkan. Faktor kualitas dan pengalaman lebih diutamakan.

“Dalam mencari pemimpin, yang harus ditonjolkan adalah kapabilitas, integritas, dan kapasitasnya. Siapa pun dia dan berapa pun usianya, asal memenuhi syarat, tentu harus didukung. Maka itu, dikotomi soal tua-muda dalam batas tertentu bisa menyesatkan,” ungkap Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia Iberamsjah di Jakarta Selasa 21 Februari 2012.

Dia menjelaskan, masalah usia bagi calon pemimpin akan mengikuti secara alamiah. Figur yang dinilai sudah terlalu sepuh tanpa harus didikotomikan pun akan terlewatkan dan diganti oleh yang lebih energik. Karena itu, dikotomi generasi pemimpin tua dan muda tak relevan dengan substansi kepemimpinan tersebut.

“Yang jelas,dalam mencari pemimpin,kita harus meletakkannya pada tujuan bernegara. Apakah dia memiliki komitmen memajukan bangsa, memihak rakyat, serta mampu dan kuat menjadi pemimpin. Itu yang harus digemakan terus,” ucapnya.

Meski demikian, Iberamsjah mengakui dikotomi capres Jawa dan luar Jawa serta militer- sipil masih tetap terjadi. Secara politik ini lebih mengena dibanding dikotomi tua-muda. Masyarakat Indonesia masih memiliki ikatan primordial yang kental serta kungkungan terhadap sistem Orde Baru yang belum sepenuhnya hilang.

“Tapi dikotomi Jawa-luar Jawa dan sipil-militer ini lambat laun akan mengikis meski harus diakui sampai saat ini masih ada,” ungkapnya.

Hal sama disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti. Bagi dia, dikotomi capres tua-muda sebenarnya akan mengalami proses alamiah seiring berjalannya waktu. Fase kepemimpinan bangsa pascareformasi sudah mengalami dua generasi kepemimpinan di lihat dari usia pemimpinnya. Generasi pertama ada nama- nama senior seperti Wiranto, Megawati,Akbar Tandjung, Amien Rais, termasuk SBY. Adapun pada Pemilu 2014 mendatang akan muncul generasi kedua dari reformasi.

Hal ini ditandai dengan kemunculan tokoh seperti Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie, Mahfud MD, Irman Gusman, Sutanto, serta beberapa tokoh lain. Di tengah dua generasi ini, ada juga tokoh lintas generasi yang masih kuat seperti Jusuf Kalla dan Prabowo. “Pada generasi kedua reformasi, kita bisa lebih berharap akan terjadi reformasi demokrasi nasional yang lebih kental dengan sistem liberal.Budaya KKN (korupsi,kolusi, nepotisme) makin terkikis, politik uang makin diminimalisasi.Pada generasi kedua reformasi paling tidak 70 persen sudah melepas cengkeraman gaya Orde Baru,” ungkapnya.

Ray menilai pergerakan demokrasi dan kepemimpinan bangsa akan mengalami perubahan besar pada generasi ketiga dari reformasi. Tokoh-tokoh nasional pun harus dikembangkan sejak saat ini, sekaligus dilindungi dari permainan dan cara-cara Orde Baru yang menyuburkan sistem KKN. Sementara itu, Sekjen Partai NasDem M Rofiq mengatakan, dikotomi capres tua-muda dalam konteks Indonesia hari ini tampaknya kurang pas. Terlebih persoalan yang dihadapi Indonesia sangat besar dan luas sehingga batasan-batasan usia yang dikhawatirkan bias mempersempit ruang pilihan akan tokoh yang mumpuni.

“Persoalan kebangsaan begitu besar dan rumit sehingga hampir dalam setiap kajian selalu ditemukan jalan buntu bagaimana menyelesaikan problematika bangsa ini. Jadi yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu, visioner, dan kuat. Entah dari kalangan muda atau tua yang penting mampu menyelesaikan masalah bangsa dan kerakyatan,” ucapnya.

Rofiq mengingatkan, Indonesia tengah mengalami krisis multidimensi, baik dalam sisi kepemimpinan, moralitas, kusutnya hukum, maupun berbagai masalah lainnya.

Dengan dasar ini, yang diperlukan Indonesia adalah figur berkarakter kepemimpinan, strong leadership, dan mampu membuat skala prioritas terhadap semua persoalan yang dialami bangsa. Sementara itu, Wakil Sekjen DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Azis Subekti mengatakan, dikotomi capres tuamuda sebenarnya terlalu kental dengan nuansa politis dibanding substansi pencarian figur pemimpin yang baik bagi bangsa. Dikotomi ini juga sama dengan pemunculan dikotomi Jawa–luar Jawa dan militer sipil yang sebenarnya ditujukan untuk menyerang tokoh tertentu.

“Jadi jelas sekali, keinginan publik untuk mendorong capres dengan kriteria tertentu nuansa politisnya lebih kental. Jawa–luar Jawa,muda-tua,dan seterusnya hanya akan merusak kejernihan kita untuk mendapatkan pemimpin yang diperlukan bangsa ini,”ucapnya.

Azis mengingatkan, kalau menengok kesuksesan negara lain, banyak dari mereka yang berhasil justru dengan pemimpin tua.

“Jepang dan beberapa negara lain juga sukses dengan pemimpin-pemimpin tua. Di negara lain sukses dengan pemimpin yang muda. Jadi sebenarnya soal tua-muda bukan substansi dalam kepemimpinan,” katanya.(azh)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7933 seconds (0.1#10.140)
pixels