Kekerasan anak masih memprihatinkan
A
A
A
Sindonews.com - Tindakan kekerasan yang melibatkan anak bukan berita baru di Indonesia. Yang cukup dramatis terjadi beberapa hari lalu, yakni kasus kekerasan anak di Depok, Jawa Barat.
Seorang anak sekolah dasar (SD) tega menusuk teman sekelasnya hingga terluka parah akibat kesal karena diminta mengembalikan telepon seluler yang diduga dicurinya. Kenyataan di atas bisa dikatakan sebuah tragedi yang sangat memprihatinkan. Mengenai kasus ini, kita sepakat siapa pun yang melanggar hukum harus dihukum sesuai dengan perundangan yang berlaku. Namun, dalam kasus anak, kita harus sangat hati-hati. Bagaimanapun anak merupakan kasus khusus yang harus mendapatkan perhatian khusus pula.
Intinya, secara hukum, penanganannya tidak boleh disamakan dengan kasus orang dewasa. Misalnya jangan sampai kita mendengar lagi adanya penahanan tersangka anak bercampur dengan tahanan orang dewasa. Ini tentu tidak dibenarkan, apa pun alasannya. Kita tahu bahwa seorang anak memiliki emosi yang tidak stabil. Jiwanya yang labil itu membuat dia seringkali tidak menyadari apa yang dilakukannya. Itu mengapa hukum kita membuat “pengecualian” terhadap kasus anak. Karena itu, kita harus melihat kasus kekerasan anak ini secara holistis, terutama kenapa hal itu bisa sampai terjadi.
Dalam posisi ini, kita harus juga menempatkan anak sebagai “korban”yang perlu pertolongan. Ada sejumlah alasan kenapa anak melakukan kekerasan. Pertama, sang anak tidak dapat contoh yang baik dari orang tuanya. Peran orangtua sangat besar dalam membentuk karakter sang anak. Dalam kaitan ini, faktor teladan menjadi sangat penting bagi anak. Kedua, perlakuan keras atau kasar dari orangtua bisa membentuk anak menjadi jahat.
Kekerasan memiliki dua bentuk, yakni fisik seperti mencubit dan memukul, serta kekerasan yang sifatnya psikologis seperti mengancam, membentak, memarahi,dan mempermalukan anak yang dapat merendahkan diri anak. Kedua bentuk kekerasan itu sangat berdampak buruk bagi perkembangan anak. Tentu apa yang dia alami akan berdampak buruk pada pembangunan karakter (character building) anak tersebut. Ketiga, faktor lingkungan. Lingkungan juga memiliki kontribusi penting bagi pembentukan karakter anak. Lingkungan pergaulan yang buruk, bahan bacaan maupun tayangan televisi yang menyajikan kekerasan, bisa membentuk karakter keras anak.
Karena itu, di sini pengawasan dan bimbingan dari orang tua sangat diperlukan agar sang anak tidak terjerumus ke hal yang negatif. Pada dasarnya anak hanya melakukan dua hal dalam kehidupannya, yakni bermain dan meniru. Biasanya kasus kenakalan yang dilakukan anak merupakan hasil dari apa yang dilihat dan dirasakan ketika berada di tengah masyarakat. Faktor keempat berkaitan dengan penegakan hukum yang rendah atas maraknya kekerasan terhadap anak. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat tahun 2011 saja pihaknya menerima pengaduan kasus kekerasan anak sebanyak 2.386 buah.
Tingginya kekerasan pada anak ini telah menyumbang maraknya kekerasan yang dilakukan pada anak. Tak mengherankan jika masih banyak terjadi tawuran antarpelajar atau kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak. Selain menegakkan hukum, kebijakan pemerintah dalam mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sangat penting dalam upaya mengurangi angka kekerasan pada anak. Masa depan anak merupakan tanggung jawab kita bersama.
Baik orang tua, sekolah, lingkungan masyarakat maupun pemerintah harus ikut serta dalam mendidik anak menjadi generasi penerus yang mampu membawa bangsa ini ke arah lebih baik. Karena baik buruknya masa depan bangsa ini tergantung pada bagaimana kita mendidik dan mengarahkan anak-anak kita.(azh)
Seorang anak sekolah dasar (SD) tega menusuk teman sekelasnya hingga terluka parah akibat kesal karena diminta mengembalikan telepon seluler yang diduga dicurinya. Kenyataan di atas bisa dikatakan sebuah tragedi yang sangat memprihatinkan. Mengenai kasus ini, kita sepakat siapa pun yang melanggar hukum harus dihukum sesuai dengan perundangan yang berlaku. Namun, dalam kasus anak, kita harus sangat hati-hati. Bagaimanapun anak merupakan kasus khusus yang harus mendapatkan perhatian khusus pula.
Intinya, secara hukum, penanganannya tidak boleh disamakan dengan kasus orang dewasa. Misalnya jangan sampai kita mendengar lagi adanya penahanan tersangka anak bercampur dengan tahanan orang dewasa. Ini tentu tidak dibenarkan, apa pun alasannya. Kita tahu bahwa seorang anak memiliki emosi yang tidak stabil. Jiwanya yang labil itu membuat dia seringkali tidak menyadari apa yang dilakukannya. Itu mengapa hukum kita membuat “pengecualian” terhadap kasus anak. Karena itu, kita harus melihat kasus kekerasan anak ini secara holistis, terutama kenapa hal itu bisa sampai terjadi.
Dalam posisi ini, kita harus juga menempatkan anak sebagai “korban”yang perlu pertolongan. Ada sejumlah alasan kenapa anak melakukan kekerasan. Pertama, sang anak tidak dapat contoh yang baik dari orang tuanya. Peran orangtua sangat besar dalam membentuk karakter sang anak. Dalam kaitan ini, faktor teladan menjadi sangat penting bagi anak. Kedua, perlakuan keras atau kasar dari orangtua bisa membentuk anak menjadi jahat.
Kekerasan memiliki dua bentuk, yakni fisik seperti mencubit dan memukul, serta kekerasan yang sifatnya psikologis seperti mengancam, membentak, memarahi,dan mempermalukan anak yang dapat merendahkan diri anak. Kedua bentuk kekerasan itu sangat berdampak buruk bagi perkembangan anak. Tentu apa yang dia alami akan berdampak buruk pada pembangunan karakter (character building) anak tersebut. Ketiga, faktor lingkungan. Lingkungan juga memiliki kontribusi penting bagi pembentukan karakter anak. Lingkungan pergaulan yang buruk, bahan bacaan maupun tayangan televisi yang menyajikan kekerasan, bisa membentuk karakter keras anak.
Karena itu, di sini pengawasan dan bimbingan dari orang tua sangat diperlukan agar sang anak tidak terjerumus ke hal yang negatif. Pada dasarnya anak hanya melakukan dua hal dalam kehidupannya, yakni bermain dan meniru. Biasanya kasus kenakalan yang dilakukan anak merupakan hasil dari apa yang dilihat dan dirasakan ketika berada di tengah masyarakat. Faktor keempat berkaitan dengan penegakan hukum yang rendah atas maraknya kekerasan terhadap anak. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat tahun 2011 saja pihaknya menerima pengaduan kasus kekerasan anak sebanyak 2.386 buah.
Tingginya kekerasan pada anak ini telah menyumbang maraknya kekerasan yang dilakukan pada anak. Tak mengherankan jika masih banyak terjadi tawuran antarpelajar atau kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak. Selain menegakkan hukum, kebijakan pemerintah dalam mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sangat penting dalam upaya mengurangi angka kekerasan pada anak. Masa depan anak merupakan tanggung jawab kita bersama.
Baik orang tua, sekolah, lingkungan masyarakat maupun pemerintah harus ikut serta dalam mendidik anak menjadi generasi penerus yang mampu membawa bangsa ini ke arah lebih baik. Karena baik buruknya masa depan bangsa ini tergantung pada bagaimana kita mendidik dan mengarahkan anak-anak kita.(azh)
()