BPN dinilai lamban atasi konflik pertanahan

Kamis, 16 Februari 2012 - 08:29 WIB
BPN dinilai lamban atasi...
BPN dinilai lamban atasi konflik pertanahan
A A A
Sindonews.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk membentuk tim khusus penyelesaian persoalan sengketa tanah dan konflik agraria.
Pembentukan tim khusus ini sudah disepakati Komisi II DPR dan telah disampaikan kepada pimpinan DPR.

Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa mengatakan, pembentukan tim ini didasarkan pada persoalan tanah di Indonesia yang tidak pernah tuntas.

“Kami sudah mengirim surat kepada pimpinan DPR. Kami memutuskan untuk mengusulkan segera dibentuk tim penyelesaian sengketa pertanahan dan konflik agraria,” ungkap Agun di Jakarta kemarin.

Menurut dia, pembentukan tim ini juga sehubungan dengan banyaknya gugatan dan unjuk rasa terkait masalah tanah di berbagai daerah. Hal ini tentu yang menjadi pertimbangan DPR.

Tim ini akan memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk menginventarisasi sejumlah pertanahan dan mengklasifikasi sesuai graduasi.

Setelah bisa melakukan tugasnya, tim akan mengirim rekomendasi kepada Presiden untuk menuntaskan masalah pertanahan.

Jika tidak dituntaskan setelah ada rekomendasi, ujarnya, ada konsekuensi perundang- undangan yang akan berjalan.

Terkait Panja Pertanahan yang sudah ada di DPR, politikus Partai Golkar ini menegaskan, Komisi II DPR tetap akan bekerja sesuai tugas dan wewenangnya.

“Data-data yang dimiliki Panja menjadi poin utama untuk diserahkan ke tim ini. Keanggotaan tim berasal dari berbagai komisi. Tentunya yang terkait dengan bidang tersebut seperti Komisi I (pertahanan), Komisi III (hukum), Komisi IV (pertanian dan kehutanan), Komisi VI (BUMN) Komisi VII (energi), dan Komisi XI (keuangan),” ucapnya.
Hingga saat ini,katanya,Komisi II DPR sudah menerima laporan yang menyangkut masalah pertanahan sebanyak 200 kasus. Hal ini tentu saja memperlihatkan ketidakprofesional BPN dalam bekerja.

Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, konflik agraria saat ini merupakan jenis konflik horizontal yang paling eksesif.

Tingkat keragaman konflik dan jumlah korban juga tercatat paling tinggi. Potensi konflik agraria yang sangat besar meliputi sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.

“Potensi konflik agraria akan semakin besar ke depan karena pengesahan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan. Pembangunan proyek infrastruktur akan menggunakan UU itu ketika harus berhadapan dengan tuntutan rakyat atas tanah yang dijadikan lokasi proyek,” ungkapnya.

Menurut dia, wajah paling buruk dalam konflik agraria terdapat pada kawasan pertambangan mineral dan batubara. Peraturan yang ada hanya memungkinkan rakyat keluar dari area izin usaha pertambangan dengan pola ganti kerugian.

Dengan demikian, tidak ada celah bagi rakyat untuk terlibat sedikit pun. Pesisir selatan Jawa, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Maluku,dan Papua merupakan wilayah utama konflik pertambangan.

Berdasarkan data dari jaringan tambang yang dimilikinya, tidak kurang dari 64,2 juta hektare tanah atau 33,7 persen daratan di Indonesia telah diberikan kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara dalam bentuk izin konsesi.

“Data ini belum termasuk luas konsesi pertambangan minyak dan gas. Luasan total lahan untuk izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 41.750.107 hektare, kontrak karya (KK) seluas 22.764.619,07 hektare,dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) seluas 7.088.078 hektare,” ungkapnya.(lin)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5648 seconds (0.1#10.140)