84% anak alami kekerasan saat diperiksa Polisi

Selasa, 31 Januari 2012 - 09:34 WIB
84% anak alami kekerasan...
84% anak alami kekerasan saat diperiksa Polisi
A A A
Sindonews.com - Berdasarkan penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2011, terhadap 109 anak berhadapan dengan hukum (ABH) di Rutan Pondok Bambu, LP Anak Pria Tangerang dan LP Anak Wanita Tangerang ditemukan pada saat pemeriksaan di kepolisian, 86 persen ABH tidak didampingi penasihat hukum, 10 persen didamping, empat persen tidak menjawab.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkholis Hidayat mengatakan, selain itu ditemukan pula 84 persen ABH diantaranya mengalami kekerasan dari aparat kepolisian dengan perincian 50 persen kekerasan dilakukan dengan tujuan memperoleh informasi atau keterangan dan 26 persen dilakukan untuk memperoleh pengakuan.

"Dalam beberapa kasus ABH yang didampingi LBH Jakarta, ditemukan beberapa pola pelanggaran lainnya, seperti ABH tidak diberitahukan haknya didampingi penasihat hukum, ABH diminta untuk menandatangani berita acara penolakan, penasihat hukum ditunjuk setelah pemeriksaan selesai dilakukan," jelasnya di Jalan Diponegoro, Jakarta, Selasa (31/1/2012).

Dia menuturkan, pemenuhan hak atas bantuan hukum ABH memiliki pengaruh yang signifikan bagi perlindungan khusus ABH. Selain bertujuan untuk memastikan anak tidak menjadi sasaran penyiksaan kepolisian, sambung dia, penasihat hukum juga berperan untuk memastikan hak-hak ABH lainnya dipenuhi.

Nurkholis menjelaskan, hak-hak tersebut diantaranya termasuk hak untuk menempuh diversi, hak untuk tidak ditahan, hak untuk ditahan secara terpisah dari orang dewasa, hak untuk berhubungan dengan orang tua, dan pemenuhan hak-hak dasar anak lainnya seperti hak atas pendidikan, hak atas kesehatan dan sebagainya.

"Dibalik rapor merah kekerasan kepolisian terhadap ABH secara kelembagaan, Kepolisian Republik Indonesia telah melakukan langkah maju dalam tataran prosedur pemeriksaan ABH," ungkapnya.

Dirinya menambahkan, dalam Peraturan Kapolri No.3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana dinyatakan bahwa pemeriksaan terhadap anak wajib disediakan pendamping dan atau penasihat hukum dan atau psikolog oleh penyidik.

Ketentuan tersebut, lanjutnya, sejalan dengan Pasal 40 ayat (2) Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia sejak tahun 1990. "Sangatlah ironis jika langkah maju kepolisian justru direspon dengan langkah mundur DPR yang menegasikan kewajiban ini," imbuhnya.

Panja RUU SPPA, tuturnya, seharusnya mengadopsi ketentuan tersebut kedalam RUU dan menindaklanjutinya saat menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan, hingga kesenjangan antara praktik dan itikad baik kepolisian dapat dihilangkan. (wbs)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0465 seconds (0.1#10.140)