Hipermarket narkoba
A
A
A
Sindonews.com - Kecelakaan maut yang menewaskan sembilan pejalan kaki di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat 22 Januari 2012 menyisakan kepedihan sekaligus keprihatinan masyarakat.
Tragedi yang terjadi akibat sang sopir maut Afriyani Susanti mengonsumsi narkoba itu secara tidak langsung kembali menggugah kembali kesadaran tentang betapa berbahayanya dampak penggunaan zat adiktif tersebut. Kesadaran itu tentu jangan sekadar berhenti pada keprihatinan dan kecaman, tapi lebih jauh bisa menjadi momentum menggerakkan pemberantasan narkoba di Tanah Air.
Sanksi berat terhadap Afriyani atau pengguna lainnya yang mengancam keselamatan orang lain ataupun wacana tes narkoba bagi siapa pun yang mencari Surat Izin Mengemudi (SIM) hanyalah penyelesaian pada sisi efek narkoba.
Lantas harus seperti apa? Kita tentu tidak menutup mata terhadap kinerja positif kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam menangkap bandar narkoba, membongkar pabrik sabu-sabu,ekstasi maupun melumpuhkan jaringan narkoba seperti terakhir ditunjukkan pada penggerebekan di pantai Sukabumi yang melibatkan sindikat Iran-Belanda 20 Januari dan kemudian disusul dengan penangkapan sindikat Malaysia di Batam, Minggu lalu 22 Januari 2012.
Tapi mengapa peredaran narkoba masih saja sangat tinggi sehingga Afriyani dan kawan-kawannya serta masih banyak yang lainnya bisa dengan mudah mendapatkan barang haram tersebut?
Bagaimana bandar-bandar yang sudah dijebloskan ke penjara ternyata tidak kapok dan nekat mengendalikan bisnis haramnya dari balik terali penjara? Begitu pun pabrik narkoba yang sudah banyak digerebek tapi masih banyak bermunculan juga? Atau mengapa masih banyak WNA nekat menyelundupkan narkoba walaupun banyak warga Nigeria atau Iran yang ditangkap dan di antaranya dijatuhi hukuman mati?
Bahkan lebih jauh, mengapa sindikat internasional,termasuk dari Amerika Selatan, mulai ramai-ramai mengincar Indonesia? Jawabannya sebenarnya sederhana. Dalam kacamata bisnis, pasar Indonesia “menjanjikan dan menggiurkan”. Pasar narkoba di negeri ini sangat besar dan ke depan sangat mungkin akan semakin besar seiring dengan laju perekonomian.
Dari kacamata sosiologis, kondisi ini akan menimbulkan tekanan-tekanan individu sebagai residu sistem kapitalistik dan menciptakan gaya hidup baru yang jauh dari norma dan nilai sosial yang ada. Di sinilah narkoba mendapatkan marketnya. Peredaran narkoba di Indonesia masih masif terjadi karena produsen, bandar, pengedar maupun pengecer masih melihat terbukanya peluang melakukan transaksi dengan konsumen yang sangat besar.
Diskotek dan tempat hiburan malam di Jakarta atau kota besar lainnya secara kasatmata telah menjadi supermarket atau malah hipermaket bagi siapa pun untuk membeli dan menikmati narkoba. Dengan demikian, kinerja positif aparat belum benar-benar memutus rantai suplai narkoba. Fakta itu tentu memancing pertanyaan, apakah aparat tidak tahu tempat-tempat seperti itu menjadi sarang transaksi narkoba? Mengapa aparat seolah tidak mampu menyentuhnya?
Apakah aparat takut disebut melanggar HAM jika melakukan penggerebekan? Atau apakah ada kekuatan besar yang membuat aparat tidak berdaya? Kita berharap aparat memang belum tahu adanya fakta tersebut sehingga menjadikan momentum tragedi Tugu Tani untuk membenahi upaya pemberantasan narkoba. Lebih jauh kita berharap aparat semakin yakin tentang bahaya narkoba, termasuk ancaman yang ditimbulkan terhadap mentalitas generasi bangsa. Dengan pemahaman ini, aparat semakin proaktif melakukan pemberantasan dan tidak terpengaruh oleh jenis bujuk rayu apa pun.
Tragedi yang terjadi akibat sang sopir maut Afriyani Susanti mengonsumsi narkoba itu secara tidak langsung kembali menggugah kembali kesadaran tentang betapa berbahayanya dampak penggunaan zat adiktif tersebut. Kesadaran itu tentu jangan sekadar berhenti pada keprihatinan dan kecaman, tapi lebih jauh bisa menjadi momentum menggerakkan pemberantasan narkoba di Tanah Air.
Sanksi berat terhadap Afriyani atau pengguna lainnya yang mengancam keselamatan orang lain ataupun wacana tes narkoba bagi siapa pun yang mencari Surat Izin Mengemudi (SIM) hanyalah penyelesaian pada sisi efek narkoba.
Lantas harus seperti apa? Kita tentu tidak menutup mata terhadap kinerja positif kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam menangkap bandar narkoba, membongkar pabrik sabu-sabu,ekstasi maupun melumpuhkan jaringan narkoba seperti terakhir ditunjukkan pada penggerebekan di pantai Sukabumi yang melibatkan sindikat Iran-Belanda 20 Januari dan kemudian disusul dengan penangkapan sindikat Malaysia di Batam, Minggu lalu 22 Januari 2012.
Tapi mengapa peredaran narkoba masih saja sangat tinggi sehingga Afriyani dan kawan-kawannya serta masih banyak yang lainnya bisa dengan mudah mendapatkan barang haram tersebut?
Bagaimana bandar-bandar yang sudah dijebloskan ke penjara ternyata tidak kapok dan nekat mengendalikan bisnis haramnya dari balik terali penjara? Begitu pun pabrik narkoba yang sudah banyak digerebek tapi masih banyak bermunculan juga? Atau mengapa masih banyak WNA nekat menyelundupkan narkoba walaupun banyak warga Nigeria atau Iran yang ditangkap dan di antaranya dijatuhi hukuman mati?
Bahkan lebih jauh, mengapa sindikat internasional,termasuk dari Amerika Selatan, mulai ramai-ramai mengincar Indonesia? Jawabannya sebenarnya sederhana. Dalam kacamata bisnis, pasar Indonesia “menjanjikan dan menggiurkan”. Pasar narkoba di negeri ini sangat besar dan ke depan sangat mungkin akan semakin besar seiring dengan laju perekonomian.
Dari kacamata sosiologis, kondisi ini akan menimbulkan tekanan-tekanan individu sebagai residu sistem kapitalistik dan menciptakan gaya hidup baru yang jauh dari norma dan nilai sosial yang ada. Di sinilah narkoba mendapatkan marketnya. Peredaran narkoba di Indonesia masih masif terjadi karena produsen, bandar, pengedar maupun pengecer masih melihat terbukanya peluang melakukan transaksi dengan konsumen yang sangat besar.
Diskotek dan tempat hiburan malam di Jakarta atau kota besar lainnya secara kasatmata telah menjadi supermarket atau malah hipermaket bagi siapa pun untuk membeli dan menikmati narkoba. Dengan demikian, kinerja positif aparat belum benar-benar memutus rantai suplai narkoba. Fakta itu tentu memancing pertanyaan, apakah aparat tidak tahu tempat-tempat seperti itu menjadi sarang transaksi narkoba? Mengapa aparat seolah tidak mampu menyentuhnya?
Apakah aparat takut disebut melanggar HAM jika melakukan penggerebekan? Atau apakah ada kekuatan besar yang membuat aparat tidak berdaya? Kita berharap aparat memang belum tahu adanya fakta tersebut sehingga menjadikan momentum tragedi Tugu Tani untuk membenahi upaya pemberantasan narkoba. Lebih jauh kita berharap aparat semakin yakin tentang bahaya narkoba, termasuk ancaman yang ditimbulkan terhadap mentalitas generasi bangsa. Dengan pemahaman ini, aparat semakin proaktif melakukan pemberantasan dan tidak terpengaruh oleh jenis bujuk rayu apa pun.
()