Kondisi hukum kian memprihatinkan

Rabu, 11 Januari 2012 - 09:28 WIB
Kondisi hukum kian memprihatinkan
Kondisi hukum kian memprihatinkan
A A A
Sindonews.com - Buruknya penegakan hukum yang terjadi belakangan ini menjadi sorotan khusus Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Wantimpres bahkan menilai hukum kini tidak berjalan dengan baik.

Hal itu diungkapkan anggota Wantimpres Albert Hasibuan seusai diangkat sebagai salah satu anggota Wantimpres di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Menurut dia, kondisi hukum di Tanah Air akhir-akhir ini sangat memprihatinkan.

Rule of justice law tidak berlangsung dengan baik. Kita perhatikan banyak masyarakat bawah dan miskin justru dihukum,” kata Albert. Dengan kondisi hukum seperti itu, Albert berjanji akan memberikan nasihat kepada Presiden agar penyelenggaraan hukum bisa dilangsungkan dengan baik.

“Kalau mau kita teliti, banyak penyebabnya kenapa bisa seperti itu. Tetapi, saya nanti akan menelitinya secara lebih jauh apa penyebabnya,” tandasnya.

Meski tidak menyebutkan secara spesifik kasus-kasus hukum mana saja yang menjadi sorotan, belakangan ini kasus AAL yang dituduh mencuri sepasang sandal jepit milik anggota Brimob dan penjambretan uang Rp1.000 oleh remaja berusia 15 tahun di Bali sedang menjadi berita besar di berbagai media.

Albert Hasibuan kemarin resmi diangkat sebagai anggota Wantimpres bidang Hukum dan HAM. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melantik Albert Hasibuan untuk menggantikan posisi Jimly Asshiddiqie yang mengundurkan diri pada Juni 2010.

Pengangkatan mantan Ketua Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti ini berdasarkan Keppres No II/M/2012 dan berlaku mulai 3 Januari 2012. Setelah resmi menjadi anggota Wantimpres, Albert berhak untuk langsung menggunakan berbagai fasilitas negara setingkat menteri.

Selain menyoroti kinerja penyelenggaraan hukum, Albert juga bertekad untuk memperjuangkan penegakan HAM di masyarakat yang beberapa tahun terakhir ini semakin menurun “ Saya memperhatikan HAM di masyarakat banyak pelanggaran, baik yang dilakukan aparat maupun yang dilakukan masyarakat sendiri atau yang dinamakan sebagai pelanggaran HAM secara horizontal,” tandasnya.

Karena itu, ujarnya, masalah HAM akan masuk sebagai catatan Albert selaku anggota Wantimpres sebelum akhirnya disampaikan kepada Presiden. “Saya akan berikan nasihat ke Presiden bagaimana masalah HAM bisa diselesaikan,” katanya.

Menurut mantan ketua KPP Semanggi I dan II ini, pelanggaran HAM yang terjadi selama ini menjadikan masyarakat terbelenggu dan terbebani. Beberapa kasus tersebut di antaranya kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan belum terselesaikan hingga saat ini.

“Jadi, saya merencanakan kalau bisa berhasil, masalah HAM pada masa lalu itu kita selesaikan. Karena itu, saya jadikan program masalah HAM secara baik agar masyarakat terbebas dari beban sejarah,” ungkapnya.

Penilaian yang hampir sama sebelumnya disampaikan Lembaga Survei Indonesia (LSI) melalui survei persepsi pemberantasan korupsi. Dalam hasil survei itu, persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun kian merosot. Survei LSI menunjukkan hanya 44 persen responden menjawab kinerja pemberantasan korupsi baik.

Padahal, pada Desember 2008, kepuasan publik pada pemberantasan korupsi mencapai 77 persen. LSI menyebut, hasil ini merupakan yang terendah sejak SBY menjadi presiden. Menurunnya, tingkat persepsi publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi lebih banyak dipengaruhi belum tuntasnya kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan publik.

Utamanya, kasus yang memiliki profil politik tinggi seperti bailout Bank Century, cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur BI, serta skandal mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Persepsi negatif terkait pemberantasan korupsi juga menghinggapi lembaga-lembaga strategis negara. Dari 11 lembaga negara yang disurvei, hanya TNI yang dinilai paling bersih dan dipercaya publik dengan 57 persen serta Presiden dengan 51 persen.

Sedangkan kepercayaan publik pada lembaga lain masih di bawah 50 persen. Masing-masing Kepolisian 39,3 persen ,KPK 38,5 persen, Bank Indonesia 38,2 persen, Mahkamah Konstitusi 37,7 persen, Mahkamah Agung 34,9 persen, Badan Pemeriksa Keuangan 33,8 persen, Kejaksaan Agung 33,2 persen, Dewan Perwakilan Rakyat 31,1 persen, dan partai politik 30,2 persen. Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) mempertanyakan hasil survei LSI tersebut.

“Tingkat validitas dan akuntabilitasnya masih harus diuji dan dijawab, yaitu berapa responden yang dimintai pendapat, dari kelompok dan strata apa, dan apakah hasil survei sudah dilakukan cross check dengan pihak-pihak terkait,” ungkap Wakil Jaksa Agung Darmono.

Kejagung, ujarnya, tidak bisa menerima begitu saja hasil survei karena dinilai tidak mewakili 250 juta penduduk Indonesia. Namun, sebagai bahan introspeksi institusinya, Darmono mengaku menghargai hasil survei itu. “Tetap kami ambil hikmahnya untuk memperbaiki kinerja Kejaksaan ke depan sehingga tingkat kepercayaan publik terus meningkat, ” tandasnya.

Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Marwan Effendy menilai, banyak pihak tidak paham berbagai langkah yang sudah dilakukan kejaksaan, baik di internal maupun eksternal. Secara internal, telah dilakukan penindakan keras terhadap jaksajaksa yang menyalahgunakan kewenangan.

“Hal itu dapat dilihat dari data yang tersaji dari tahun ke tahun, begitu juga langkah keluar eksternal lihat saja dari data perkara tingkat penyidikan dan penuntutan,” ungkap Marwan.

Marwan juga mempertanyakan validitas survei yang dilakukan LSI. Masalah Kejaksaan, ujarnya, ada kurang lebih 23.000 pegawai (jaksa 8.000 dan 15.000 tata usaha). Tidak bisa dibandingkan apple to apple dengan polisi yang hanya berjumlah 500.000 personel dan KPK yang hanya kurang lebih 600 orang.

“Tidak semua masyarakat tahu dengan KPK, jadi sampel yang diambil belum mewakili lapisan masyarakat,” katanya. Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) ini juga menyoroti kenapa korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun makin meningkat. Alasannya, kondisi sosial, ekonomi, dan moral juga masyarakat tidak takut lagi berhadapan dengan hukum.

Hal itu yang menyebabkan orang berani melakukan korupsi. “Jadi, walau banyak kasus yang diungkap, belum memberikan daya tangkal, di samping itu sebagian kalangan menganggap keberhasilan pemberantasan korupsi itu berindikator dengan banyaknya pelaku diungkap dan disidangkan, harusnya tindakan pencegahan yang dikedepankan,” paparnya. (*)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0672 seconds (0.1#10.140)