Harga Minyak Bisa Merepotkan
A
A
A
Sindonews.com-Perdagangan perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) belum bergairah. Transaksi saham di awal Tahun Naga Air ini masih lesu diduga akibat masih banyak investor menikmati liburan Tahun Baru 2012.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi sebesar 12 poin. Sedangkan nilai tukar rupiah hanya menguat tipis pada level Rp9.070 per USD dibanding penutupan perdagangan akhir tahun di posisi Rp9.080 per USD.
Tanda-tanda perdagangan tak bergairah mulai terlihat saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuka perdagangan perdana. Sesaat setelah perdagangan dibuka IHSG melemah 0,962 poin (0,02%) ke level 3.821,030 dan indeks LQ 45 turun 0,248 poin (0,04%) ke level 673,258.
Mampukah indeks mengulang prestasi tahun lalu? Sepanjang tahun lalu IHSG mengalami penguatan sebesar 3,19% sehingga tercatat sebagai terbaik kedua di Asia.
Dengan pembukaan perdagangan perdana di BEI yang lesu itu,apakah ini sebuah pertanda bahwa laju pertumbuhan perekonomian bakal mendapat ganjalan? Hal itu tak perlu dirisaukan sebab perdagangan kemarin selain masih minimnya investor yang bertransaksi, juga diwarnai sebagian besar bursa regional yang masih tutup.
Justru yang perlu diwaspadai dan dibutuhkan tindakan antisipasi yang tepat dalam jangka pendek adalah kenaikan harga minyak mentah dunia.
Kalangan analis minyak mengkhawatirkan terjadi kenaikan harga minyak mentah pada awal tahun ini, menyusul konflik antara Amerika Serikat (AS) dan Iran yang kian mendidih. AS telah menabuh genderang perang yang ditandai penandatanganan undang-undang sanksi ekonomi untuk Iran.
Presiden AS Barack Obama mengeluarkan sanksi tersebut guna menekan Iran atas program nuklirnya. Dengan sanksi tersebut, tidak mungkin Iran tak beraksi. Bila Negeri Mullah itu membalas tindakan sepihak AS tersebut, kemungkinan langkah paling strategis yang ditempuh adalah memblokade jalur distribusi minyak mentah di Selat Hormuz. Dampaknya, harga minyak mentah bisa melambung dan berpotensi bertengger pada level USD150 per barel.
Nah,kalau tindakan Iran memblokade jalur distribusi minyak mentah itu terjadi, dampaknya pasti akan memberatkan anggaran negeri ini.
Berdasarkan hitung-hitungan pengamat perminyakan Kurtubi,jika harga minyak mentah menyentuh USD150 per barel dan posisi rupiah terhadap USD sekitar Rp9.000, harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi atau pertamax bakal bertengger di kisaran Rp15.000 per liter. BBM subsidi sudah pasti akan mengorek kocek pemerintah lebih dalam lagi.
Ini sebuah ancaman serius sehingga dibutuhkan kebijakan antisipasi yang tepat. Namun,bukankah kenaikan harga minyak mentah dunia akan memperbesar penerimaan negara dari sektor minyak dan gas (migas)? Benar. Masalahnya produksi minyak di dalam negeri terus mengalami kemerosotan sehingga tak bisa berharap lebih banyak untuk menikmati kenaikan harga minyak mentah dunia.
Memang, Presiden sudah meminta pihak berwenang untuk menggenjot produksi minyak hingga 1 juta barel per hari pada 2014,namun tampaknya masih sebuah angan-angan melihat data realisasi produksi minyak yang sulit tercapai dari tahun ke tahun. Persoalan migas di negeri ini memang banyak yang perlu dibenahi, bukan hanya bagaimana mendongkrak produksi, melainkan juga menyangkut pengolahannya.
Meski Indonesia mampu memproduksi minyak 1,4 juta barel per hari,sebagaimana diakui Kepala BP Migas R Priyono,BBM impor tetap dibutuhkan. Masalahnya, kapasitas kilang minyak yang ada masih rendah dibandingkan kebutuhan BBM. Kilang domestik hanya mampu mengolah minyak sekitar 700.000 barel per hari.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi sebesar 12 poin. Sedangkan nilai tukar rupiah hanya menguat tipis pada level Rp9.070 per USD dibanding penutupan perdagangan akhir tahun di posisi Rp9.080 per USD.
Tanda-tanda perdagangan tak bergairah mulai terlihat saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuka perdagangan perdana. Sesaat setelah perdagangan dibuka IHSG melemah 0,962 poin (0,02%) ke level 3.821,030 dan indeks LQ 45 turun 0,248 poin (0,04%) ke level 673,258.
Mampukah indeks mengulang prestasi tahun lalu? Sepanjang tahun lalu IHSG mengalami penguatan sebesar 3,19% sehingga tercatat sebagai terbaik kedua di Asia.
Dengan pembukaan perdagangan perdana di BEI yang lesu itu,apakah ini sebuah pertanda bahwa laju pertumbuhan perekonomian bakal mendapat ganjalan? Hal itu tak perlu dirisaukan sebab perdagangan kemarin selain masih minimnya investor yang bertransaksi, juga diwarnai sebagian besar bursa regional yang masih tutup.
Justru yang perlu diwaspadai dan dibutuhkan tindakan antisipasi yang tepat dalam jangka pendek adalah kenaikan harga minyak mentah dunia.
Kalangan analis minyak mengkhawatirkan terjadi kenaikan harga minyak mentah pada awal tahun ini, menyusul konflik antara Amerika Serikat (AS) dan Iran yang kian mendidih. AS telah menabuh genderang perang yang ditandai penandatanganan undang-undang sanksi ekonomi untuk Iran.
Presiden AS Barack Obama mengeluarkan sanksi tersebut guna menekan Iran atas program nuklirnya. Dengan sanksi tersebut, tidak mungkin Iran tak beraksi. Bila Negeri Mullah itu membalas tindakan sepihak AS tersebut, kemungkinan langkah paling strategis yang ditempuh adalah memblokade jalur distribusi minyak mentah di Selat Hormuz. Dampaknya, harga minyak mentah bisa melambung dan berpotensi bertengger pada level USD150 per barel.
Nah,kalau tindakan Iran memblokade jalur distribusi minyak mentah itu terjadi, dampaknya pasti akan memberatkan anggaran negeri ini.
Berdasarkan hitung-hitungan pengamat perminyakan Kurtubi,jika harga minyak mentah menyentuh USD150 per barel dan posisi rupiah terhadap USD sekitar Rp9.000, harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi atau pertamax bakal bertengger di kisaran Rp15.000 per liter. BBM subsidi sudah pasti akan mengorek kocek pemerintah lebih dalam lagi.
Ini sebuah ancaman serius sehingga dibutuhkan kebijakan antisipasi yang tepat. Namun,bukankah kenaikan harga minyak mentah dunia akan memperbesar penerimaan negara dari sektor minyak dan gas (migas)? Benar. Masalahnya produksi minyak di dalam negeri terus mengalami kemerosotan sehingga tak bisa berharap lebih banyak untuk menikmati kenaikan harga minyak mentah dunia.
Memang, Presiden sudah meminta pihak berwenang untuk menggenjot produksi minyak hingga 1 juta barel per hari pada 2014,namun tampaknya masih sebuah angan-angan melihat data realisasi produksi minyak yang sulit tercapai dari tahun ke tahun. Persoalan migas di negeri ini memang banyak yang perlu dibenahi, bukan hanya bagaimana mendongkrak produksi, melainkan juga menyangkut pengolahannya.
Meski Indonesia mampu memproduksi minyak 1,4 juta barel per hari,sebagaimana diakui Kepala BP Migas R Priyono,BBM impor tetap dibutuhkan. Masalahnya, kapasitas kilang minyak yang ada masih rendah dibandingkan kebutuhan BBM. Kilang domestik hanya mampu mengolah minyak sekitar 700.000 barel per hari.
()