Saya tak dendam kepada Belanda

Minggu, 11 Desember 2011 - 10:52 WIB
Saya tak dendam kepada Belanda
Saya tak dendam kepada Belanda
A A A
Sindonews.com - Tragedi Rawagede 64 tahun silam masih membekas di benak keluarga korban. Bahkan, letusan senjata laras panjang dan muntahan mortir masih terasa akrab di telinga.

"Saya masih ingat. Setiap orang yang ada di sana pasti masih ingat. Tapi, saya tidak dendam. Saat ini, tidak ada rasa benci di hati saya kepada Belanda," ungkap Cawi (90), salah seorang saksi mata pembantaian Rawagede 1947 silam menjelaskan kepada Sindonews.com di acara Peringatan pembantaian Rawagede, Jumat 9 Desember 2011.

Malam sebelum kejadian, 8 Desember 1947, Cawi bersama suaminya, Bitol tidak ada firasat apa-apa. Sekitar pukul 4 pagi, seperti biasa, Bitol menjalankan aktifitas seperti biasa sebagai petani.

“Sebelum keluar rumah, suami saya cuma bilang, jangan keluar rumah kalau ada apa-apa,” kata Cawi menirukan ucapan suaminya.

Pagi itu, awalnya Cawi hanya mendengar letusan senapan Belanda dari kejauhan. Namun, lama kelamaan suara senapan itu terdengar dekat. Dirinya yakin Belanda sudah menduduki desanya pada pukul 4 pagi.

Suara senapan menurut Cawi tidak pernah berhenti sepanjang hari. Sesekali, dirinya pun mendengar suara mortir dan meriam Belanda. Tiba-tiba suara senapan berhenti. Itu sekitar pukul 4 sore.

“Waktu itu saya nggak tahu maksud Belanda datang ke Rawagede. Suara tembakan Belanda baru berhenti jam 4 sore. Suami saya pun belum terdengar batang hidungnya,” katanya.

Sesaat kemudian, Cawi mendengar suara tetangga datang ke rumahnya. Dengan teriakannya, tetangganya itu mengatakan kalau banyak mayat di lapangan. Cawi pun sadar, seluruh pria di Rawagede tewas di tangan tentara Belanda.

“Suami saya juga tewas. Ada yang bilang sama saya lokasi tewasnya Bitol,” ucapnya.

Tak lama kemudian, sebelum magrib, Kapten Lukas Kustaryo datang ke Rawagede. Menurut Cawi, Lukas menangis saat melihat warga Rawagede dibantai Belanda. Lukas pun bilang sama warga Rawagede bakal membangun monumen.

“Kapten Lukas minta maaf kepada warga. Karena dirinya warga Rawagede jadi korban,” tandas Cawi.

Cawi mengatakan, dirinya baru pertama kali bertemu Kapten Lukas. Sebelumnya, dirinya belum pernah mendengar nama Lukas. “Saya juga baru tahu kalau Kapten Lukas sehari sebelum pembantaian menginap di Rawagede,” ujarnya.

Kini, sudah 64 tahun berlalu setelah pembantaian Rawagede. Peringatan pembantaian ini pun selalu dilakukan setiap tahun.

Tahun ini dirasakan Cawi memang agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah Belanda minta maaf kepada warga Rawagede. “Tanpa diminta saya sudah memaafkan. Saya menyambut baik langkah Belanda untuk minta maaf kepada warga Rawagede,” paparnya.

Terkait kompensasi ganti rugi yang akan diberikan oleh pemerintah Belanda sebesar 20. ribu Euro atau sekitar Rp 200 juta, Cawi mengaku senang. Akan tetapi, dirinya bingung ketika ditanya akan digunakan untuk apa kompensasi tersebut.

“Nggak tahu nanti buat apa. Saya juga sudah tua. Tapi saya hingga kini belum punya rumah. Paling buat beli rumah,” singkatnya.

Salah seorang saksi mata lainya, Antirukiyah (90) saat ini kondisinya jauh berbeda dengan Cawi. Faktor usia membuatnya hanya bisa duduk di kursi roda. Dibantu anaknya, Yuyun Yunsiah, Antirukiyah juga belum tahu untuk apa kompensasi ganti rugi tersebut jika nanti diserahkan pemerintah Belanda.

Pengacara dari ahli waris korban Rawagede, Liesbeth Zegveld mengatakan pemberian uang senilai 20.000 Euro kepada para janda Rawagede tidak dapat mengobati duka yang dialami para keluarga korban pembantaian di Rawagede.

"Tidak ada jumlah uang yang dapat memperbaiki keadaan kalian, sekalipun itu seharga 20.000 Euro, berapa pun uang konpensasi itu hanya sukarela untuk permintaaan maaf," ucapnya.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3054 seconds (0.1#10.140)