Studi Sosial Covid-19: Masyarakat Setuju Karantina Wilayah

Kamis, 09 April 2020 - 07:53 WIB
Studi Sosial Covid-19: Masyarakat Setuju Karantina Wilayah
Studi Sosial Covid-19: Masyarakat Setuju Karantina Wilayah
A A A
JAKARTA - Studi Sosial Covid-19 kolaborasi sembilan lembaga dan universitas mengungkapkan, 97,8% responden setuju diberlakukannya karantina wilayah untuk menekan penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19).

"Berdasarkan survei dari studi yang kami lakukan, kebijakan karantina wilayah dinilai efektif menekan penyebaran virus corona. Dengan 44,4% responden menyatakan cakupan karantina meliputi kota atau kabupaten," terang peneliti kebencanaan sekaligus dosen Psikologi UI Dicky C Pelupessy dalam Forum Diskusi Salemba ILUNI UI yang digelar secara daring, Rabu (8/4/2020).

Survei yang dilakukan Studi Sosial Covid-19 meliputi tiga aspek yakni keterbukaan informasi pasien positif Covid-19, mobilitas dan transportasi, serta perspektif masyarakat terhadap karantina wilayah.

Menanggapi pertanyaan seputar efektivitas anjuran pemerintah, sebanyak 47% responden menyatakan diam di rumah paling efektif dibandingkan jaga jarak dan perlindungan diri. Dicky juga menjelaskan, berdasarkan hasil survei, sebanyak 39,1% dari responden meyakini bahwa kebijakan yang tegas dari pemerintah dianggap bisa menekan laju penyebaran Covid-19. (Baca Juga: Pemerintah Pastikan Penyaluran Bansos Tidak Tumpang Tindih).

"Masyarakat siap informasinya dibuka, dan masyarakat melihat pentingnya penegakan dan pendisiplinan mengikuti kebijakan," ujar Dicky.

Meskipun anjuran untuk diam di rumah dianggap paling efektif, desakan ekonomi yang tinggi menurut Dicky akan mendorong masyarakat untuk keluar rumah.

Untuk diketahui, Studi Sosial Covid-19 adalah sebuah panel sosial kebencanaan kerja sama LIPI, BNPB, UI, UGM, ITB, Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia, STIS dan INSPIRE yang melakukan survei daring kepada 4.823 responden sejak 29-31 Maret 2020. Sebanyak 78.8% responden berasal dari Pulau Jawa.

Sementara itu, pakar resolusi konflik Ichsan Malik, memaparkan ada kebingungan antara skenario lockdown, social distancing, fenomena darurat sipil, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ia menilai masih terdapat bolong dalam penanganan Covid-19 saat ini. (Baca Juga: Putus Mata Rantai Covid-19, Pusat Beri Kesempatan Daerah Ajukan PSBB).

"Skenario PSBB ini pun masih nomatif karena tidak ada petunjuk pelaksanaan teknis," kata Ichsan.Dalam situasi saat ini, Ichsan pun menyatakan setidaknya ada tiga posisi masyarakat, yakni sebagai korban, penyintas (survivor), atau pemimpin (leader). "Masyarakat akan banyak menjadi korban akibat kebijakan dan keterlambatan, meskipun ada juga yang akan jadi penyintas. Tapi diharapkan masyarakat bisa jadi leader dalam penganggulangan ini," kata Ichsan.

Berkaca dari semua bolong yang ada, Ichsan pun menegaskan sudah waktunya masyarakat tidak terlalu tergantung pada pemerintah pusat. Ia mendorong partipasi aktif dari berbagai elemen, salah satunya partisipasi aktif dari masyarakat. Ia menyebut, dalam situasi ini saatnya berbicara tentang kearifan lokal, paritispasi, dan pergerakan dari bawah (track two).

"Kekuatan kita justru terletak di daerah daerah dan masyarakat, serta sektor-sektor. Ini akan membantu semua kekurangan pemerintah daerah. Kalau di track one merupakan inisiatif pemerintah pusat, maka track two merupakan inisatif Pemda dan masyarakat daerah. Ini kombinasi dua hal yang mutlak," jelasnya.

Lebih jauh, Ichsan menjabarkan setidaknya ada empat hal dalam melakukan skema intervensi sosial penanganan Covid-19. Pertama, diperlukan peningkatan kapasitas (capacity building). Kedua, kebijakan yang diambil pemerintah. Ketiga, pemberdayaan (empowerment) ekonomi masyarakat yang perlu ditingkatkan untuk menghindari kekacauan, dan keempat adalah membangun jaringan. Dalam mengatasi permasalahan ekonomi sebagai konsekuensi pembatasan wilayah, konsep solidaritas sosial di antara masyarakat pun diharap akan lebih digerakkan.

"Yang rentan jadi korban adalah masyarakat kelas bawah. Ini bisa dihindari jika ada solidaritas sosial dari mereka yang lebih berdaya. Ini menantang kita sebagai bangsa. Kuncinya adalah solidaritas sosial yang didorong pemerintah dan masyarakat itu sendiri," ujar Dicky.

Ketua Policy Center ILUNI UI M Jibriel Avessina pun mengajak masyarakat untuk melakukan solidaritas sosial, agar masyarakat yang rentan secara ekonomi dan kekuatan, tidak menjadi korban. Ke depannya, dalam menyikapi kemungkinan munculnya wabah serupa, Pemerintah diharapkan untuk mendorong inisiatif pranata kultur. "Budaya baru yang muncul di masyarakat ini diharapkan bisa meningkatkan resiliensi masyarakat ke depan. Tidak harus bergantung pemerintah, tapi masyarakat bisa bergerak dengan komunitasnya masing-masing," tutur Jibriel.

Ia pun menegaskan, untuk kepentingan bersama, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang tegas dalam melarang orang untuk berkumpul bersama baik untuk tujuan ibadah, kegiatan mudik, dan kegiatan lainnya, bukan hanya pembatasan saja. Jibriel juga mendorong model desain inisiatif berbasis komunitas untuk berkembang sebagai pertahanan bersama dalam menghadapi perang melawan corona.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3869 seconds (0.1#10.140)