Alur Pengajuan Terlalu Panjang, Daerah Perlu Dipermudah Terapkan PSBB
A
A
A
JAKARTA - Terus meningkatnya jumlah pasien positif virus corona (Covid-19) di berbagai wilayah di Tanah Air mendorong sejumlah pemerintah daerah mengajukan penetapan status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ke pemerintah pusat.
Dengan menetapkan PSBB pemerintah daerah berharap bisa mampu meredam laju penyebaran virus corona di daerah masing-masing. Harapan pemerintah daerah untuk diberi izin menerapkan PSBB ini muncul menyusul keputusan Menteri Kesehatan yang telah mengizinkan DKI Jakarta menerapkan PSBB di wilayah Ibu Kota sejak kemarin. (Baca: Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 Dinilai Kurang Efektif karena Tanpa Sanksi)
Pemerintah daerah yang telah mengajukan PSBB ke pemerintah pusat di antaranya Pemerintah Kota Bekasi, Tegal, Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Timika. Merespons permintaan pemerintah daerah ini, pemerintah pusat diminta lebih proaktif. Pusat diminta perlu membuat birokrasi yang lebih mudah. Bahkan, prosedur penetapan PSBB yang berlaku saat ini dinilai bukan solusi untuk menghentikan laju penyebaran virus di daerah. Apalagi, PSBB harus diajukan dulu oleh pemerintah daerah.
Sekretaris Bendahara Fraksi Demokrat DPR Irwan menilai terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9/2020 tentang PSBB justru memperlambat penghentian mata rantai penyebaran wabah corona. Pasalnya, alur bagi pemerintah daerah yang hendak mengajukan itu cukup panjang dan membuat keputusan penerapan PSBB daerah menjadi lamban.
Di permenkes tersebut, kata Irwan, diatur bagaimana prosedur permohonan pemda ke pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Kesehatan, jika ingin daerahnya diputuskan sebagai PSBB. “Alurnya yakni surat permohonan, membuat data peningkatan penderita menurut waktu, membuat kurva epidemiologi, data dan peta penyebaran, transmisi lokal, kesiapan daerah, koordinasi dengan Gugus Tugas, dibahas tim, dikirim ke menteri, dipertimbangkan, baru kemudian diputuskan,” kata Irwan saat dihubungi kemarin.
Dia menilai alur seperti itu membingungkan karena Menkes sebagai penanggung jawab kedaruratan kesehatan harus menunggu permohonan dari pemda untuk menerapkan PSBB. Dia memahami jika status kedaruratan ini sifatnya nasional sehingga ditetapkan oleh Presiden lewat Kepres Nomor 11/2020 tentang penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat dan artinya itu adalah kewenangan pemerintah pusat. Tapi, dia mempertanyakan logika alur pengajuan itu.
“Jadi kenapa harus dibutuhkan permohonan pemerintah daerah dulu untuk menetapkan PSBB? Logikanya, kalau tergantung daerah ya enggak perlu ada status kedaruratan sekalipun maka pemda sudah pada karantina wilayah, bukan PSBB lagi,” ucapnya. (Baca juga: Kritik Telegram Kapolri, Imparsial: Polisi Jangan Eksesif dan Mengada-ada)
Legislator asal Kalimantan Timur ini juga menemukan kejanggalan lain dalam Permenkes PSBB itu. Saat gubernur, bupati, wali kota, dan ketua Gugus Tugas diminta mengusulkan kepada Menkes, lalu Menkes menetapkan, namun tidak diatur mekanisme jika misalnya Menkes menolak usulan itu. “Kelihatan amburadul. Lagian peraturan ini dibuat agar demokratis, bottom-up, menyerap dari bawah. Yang benar saja, dalam keadaan darurat justru yang logis harusnya top-down. Aturan harus tegas dari atas,” desaknya.
Menurut Irwan, penyebab dari munculnya kebijakan pusat yang gamang seperti ini adalah karena tidak ingin menanggung biaya PSBB. “Jadinya Tergantung pada kesiapan daerah, mereka yang mengusulkan. Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula,” sesalnya.
Salah satu daerah yang paling tinggi tingkat penyebarannya adalah Sulawesi Selatan. Hingga 7 April dilaporkan kasus positif korona mencapai 112 orang. Adapun orang dalam pantauan (ODP) sebanyak 2.382. Lalu pasien dalam pengawasan (PDP) 296 orang. Sebanyak 21 orang sembuh dan 9 orang meninggal dunia. Kasus positif ini mulai tersebar di tiap daerah dengan episentrum penyebarannya di Kota Makassar. (Baca juga: Menkes Setujui PSBB, Pemerintah Ungkap Manfaatnya)
Dengan peningkatan kasus ini, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengaku sudah melakukan langkah antisipasi pemutusan mata rantai penularan Covid-19. Meski diakui, PSBB masih dipertimbangkan untuk diterapkan.
"Apa pun namanya, sebenarnya sebelum PSBB dibuat, PP itu lahir, sebagian (dari aturan itu) kita sudah lakukan. Yang pertama liburkan sekolah, bekerja dari rumah, physical distancing, social distancing," ungkap Nurdin.
Penerapan PSBB ini perlu dikaji lebih baik. Meski aturan ini sudah lebih dulu diterapkan di DKI Jakarta, Nurdin menegaskan, kondisi ibu kota negara tersebut dengan Sulsel justru berbeda. Tiap wilayah di Sulsel pun butuh penanganan yang berbeda.
"Saya mau sampaikan, kita harus lebih hati-hati memberlakukan (PSBB) di Sulawesi Selatan, karena tidak semua wilayah itu sama. Dari 24 kabupaten/kota episentrum penyebaran kan hanya mulai di Makassar. Kemudian daerah penyanggah kita, Gowa, Maros. Kita harus fokus di sini," katanya. (Abdullah Nicolha/Kiswondari)
Dengan menetapkan PSBB pemerintah daerah berharap bisa mampu meredam laju penyebaran virus corona di daerah masing-masing. Harapan pemerintah daerah untuk diberi izin menerapkan PSBB ini muncul menyusul keputusan Menteri Kesehatan yang telah mengizinkan DKI Jakarta menerapkan PSBB di wilayah Ibu Kota sejak kemarin. (Baca: Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 Dinilai Kurang Efektif karena Tanpa Sanksi)
Pemerintah daerah yang telah mengajukan PSBB ke pemerintah pusat di antaranya Pemerintah Kota Bekasi, Tegal, Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Timika. Merespons permintaan pemerintah daerah ini, pemerintah pusat diminta lebih proaktif. Pusat diminta perlu membuat birokrasi yang lebih mudah. Bahkan, prosedur penetapan PSBB yang berlaku saat ini dinilai bukan solusi untuk menghentikan laju penyebaran virus di daerah. Apalagi, PSBB harus diajukan dulu oleh pemerintah daerah.
Sekretaris Bendahara Fraksi Demokrat DPR Irwan menilai terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9/2020 tentang PSBB justru memperlambat penghentian mata rantai penyebaran wabah corona. Pasalnya, alur bagi pemerintah daerah yang hendak mengajukan itu cukup panjang dan membuat keputusan penerapan PSBB daerah menjadi lamban.
Di permenkes tersebut, kata Irwan, diatur bagaimana prosedur permohonan pemda ke pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Kesehatan, jika ingin daerahnya diputuskan sebagai PSBB. “Alurnya yakni surat permohonan, membuat data peningkatan penderita menurut waktu, membuat kurva epidemiologi, data dan peta penyebaran, transmisi lokal, kesiapan daerah, koordinasi dengan Gugus Tugas, dibahas tim, dikirim ke menteri, dipertimbangkan, baru kemudian diputuskan,” kata Irwan saat dihubungi kemarin.
Dia menilai alur seperti itu membingungkan karena Menkes sebagai penanggung jawab kedaruratan kesehatan harus menunggu permohonan dari pemda untuk menerapkan PSBB. Dia memahami jika status kedaruratan ini sifatnya nasional sehingga ditetapkan oleh Presiden lewat Kepres Nomor 11/2020 tentang penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat dan artinya itu adalah kewenangan pemerintah pusat. Tapi, dia mempertanyakan logika alur pengajuan itu.
“Jadi kenapa harus dibutuhkan permohonan pemerintah daerah dulu untuk menetapkan PSBB? Logikanya, kalau tergantung daerah ya enggak perlu ada status kedaruratan sekalipun maka pemda sudah pada karantina wilayah, bukan PSBB lagi,” ucapnya. (Baca juga: Kritik Telegram Kapolri, Imparsial: Polisi Jangan Eksesif dan Mengada-ada)
Legislator asal Kalimantan Timur ini juga menemukan kejanggalan lain dalam Permenkes PSBB itu. Saat gubernur, bupati, wali kota, dan ketua Gugus Tugas diminta mengusulkan kepada Menkes, lalu Menkes menetapkan, namun tidak diatur mekanisme jika misalnya Menkes menolak usulan itu. “Kelihatan amburadul. Lagian peraturan ini dibuat agar demokratis, bottom-up, menyerap dari bawah. Yang benar saja, dalam keadaan darurat justru yang logis harusnya top-down. Aturan harus tegas dari atas,” desaknya.
Menurut Irwan, penyebab dari munculnya kebijakan pusat yang gamang seperti ini adalah karena tidak ingin menanggung biaya PSBB. “Jadinya Tergantung pada kesiapan daerah, mereka yang mengusulkan. Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula,” sesalnya.
Salah satu daerah yang paling tinggi tingkat penyebarannya adalah Sulawesi Selatan. Hingga 7 April dilaporkan kasus positif korona mencapai 112 orang. Adapun orang dalam pantauan (ODP) sebanyak 2.382. Lalu pasien dalam pengawasan (PDP) 296 orang. Sebanyak 21 orang sembuh dan 9 orang meninggal dunia. Kasus positif ini mulai tersebar di tiap daerah dengan episentrum penyebarannya di Kota Makassar. (Baca juga: Menkes Setujui PSBB, Pemerintah Ungkap Manfaatnya)
Dengan peningkatan kasus ini, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengaku sudah melakukan langkah antisipasi pemutusan mata rantai penularan Covid-19. Meski diakui, PSBB masih dipertimbangkan untuk diterapkan.
"Apa pun namanya, sebenarnya sebelum PSBB dibuat, PP itu lahir, sebagian (dari aturan itu) kita sudah lakukan. Yang pertama liburkan sekolah, bekerja dari rumah, physical distancing, social distancing," ungkap Nurdin.
Penerapan PSBB ini perlu dikaji lebih baik. Meski aturan ini sudah lebih dulu diterapkan di DKI Jakarta, Nurdin menegaskan, kondisi ibu kota negara tersebut dengan Sulsel justru berbeda. Tiap wilayah di Sulsel pun butuh penanganan yang berbeda.
"Saya mau sampaikan, kita harus lebih hati-hati memberlakukan (PSBB) di Sulawesi Selatan, karena tidak semua wilayah itu sama. Dari 24 kabupaten/kota episentrum penyebaran kan hanya mulai di Makassar. Kemudian daerah penyanggah kita, Gowa, Maros. Kita harus fokus di sini," katanya. (Abdullah Nicolha/Kiswondari)
(ysw)