Pengacara Publik LBH Jakarta Kritisi Surat Telegram Kapolri, Khususnya Poin Ini
A
A
A
JAKARTA - JAKARTA - Pengacara Publik LBH Jakarta Muhammad Rasyid Ridha Saragih menilai, salah satu isi
Surat Telegram Kapolri Jenderal Idham Azis Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 yakni pemantauan ruang siber memang bisa menimbulkan masalah. Dia meminta polisi bertindak imparsial.
Menurut Rasyid, Surat Telegram Kapolri itu memuat tiga isi yakni, satu terkait pemantauan perkara mengenai bahan-bahan pokok dan perdagangan. Kedua, terkait kejahatan yang mungkin timbul akibat PSBB, misalnya kejahatan jalanan, penjarahan, kemudian juga melawan petugas ketika melakukan tindakan kekarantinaan.
"Terus yang ketiga terkait pemantauan ruang siber," kata Rasyid saat dihubungi wartawan, Senin (6/4/2020).
Menurut Rasyid, khusus pemantauan di ruang siber ini memang dianggap bermasalah, karena polisi bisa bertindak terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan penghinaan terhadap presiden. Dalam arti, penerapan ini justru akan menjebak anggota polri bertindak parsial.
"Jadi polisi sebagai aparat semestinya imparsial, dia enggak berpihak ke mana pun. Enggak boleh dia misalnya, termasuk mencari kesalahan orang atau proaktif melakukan pencarian tindak pidana, itu sebenarnya enggak boleh sebelum adanya kejadian atau laporan terhadap suatu kejadian. Itu baru polisi melakukan langkah-langkah proaktif dalam rangka menyelidiki perkara," tutur Rasyid.
Lebih lanjut Rasyid menyatakan, penerapan telegram ini berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian. Terlebih, pasal penghinaan terhadap presiden atau penguasa lain pernah dibatalkan oleh MK karena dianggap pasal karet. Meski belakangan ada pengecualian untuk presiden.
"Jadi sejauh itu memang ada, bukan lagi sebagai penguasa, presiden, tetapi sebagai pribadinya," ujar Rasyid. (Baca Juga: DPR Minta Polri Tak Intimidatif Jalankan Surat Telegram Kapolri).
Rasyid menegaskan, dalam hal ini pasal atau delik yang diterapkan adalah delik aduan. "Jadi harus ada aduan khusus dari presiden yang merasa dirugikan akibat, misalnya ada yang menghina, fitnah, terus dateng langsung ke polisi. Ini kan problemnya rancu. Jadinya polisi seolah-olah langsung mencari apakah ada yang menghina presiden atau enggak."
Surat Telegram Kapolri Jenderal Idham Azis Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 yakni pemantauan ruang siber memang bisa menimbulkan masalah. Dia meminta polisi bertindak imparsial.
Menurut Rasyid, Surat Telegram Kapolri itu memuat tiga isi yakni, satu terkait pemantauan perkara mengenai bahan-bahan pokok dan perdagangan. Kedua, terkait kejahatan yang mungkin timbul akibat PSBB, misalnya kejahatan jalanan, penjarahan, kemudian juga melawan petugas ketika melakukan tindakan kekarantinaan.
"Terus yang ketiga terkait pemantauan ruang siber," kata Rasyid saat dihubungi wartawan, Senin (6/4/2020).
Menurut Rasyid, khusus pemantauan di ruang siber ini memang dianggap bermasalah, karena polisi bisa bertindak terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan penghinaan terhadap presiden. Dalam arti, penerapan ini justru akan menjebak anggota polri bertindak parsial.
"Jadi polisi sebagai aparat semestinya imparsial, dia enggak berpihak ke mana pun. Enggak boleh dia misalnya, termasuk mencari kesalahan orang atau proaktif melakukan pencarian tindak pidana, itu sebenarnya enggak boleh sebelum adanya kejadian atau laporan terhadap suatu kejadian. Itu baru polisi melakukan langkah-langkah proaktif dalam rangka menyelidiki perkara," tutur Rasyid.
Lebih lanjut Rasyid menyatakan, penerapan telegram ini berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian. Terlebih, pasal penghinaan terhadap presiden atau penguasa lain pernah dibatalkan oleh MK karena dianggap pasal karet. Meski belakangan ada pengecualian untuk presiden.
"Jadi sejauh itu memang ada, bukan lagi sebagai penguasa, presiden, tetapi sebagai pribadinya," ujar Rasyid. (Baca Juga: DPR Minta Polri Tak Intimidatif Jalankan Surat Telegram Kapolri).
Rasyid menegaskan, dalam hal ini pasal atau delik yang diterapkan adalah delik aduan. "Jadi harus ada aduan khusus dari presiden yang merasa dirugikan akibat, misalnya ada yang menghina, fitnah, terus dateng langsung ke polisi. Ini kan problemnya rancu. Jadinya polisi seolah-olah langsung mencari apakah ada yang menghina presiden atau enggak."
(zik)