Peradaban Baru karena Virus Corona
A
A
A
Ilo Hermanto
Jurnalis Koran SINDOSaya pertama kali mendengar Covid-19 dari media massa pada pertengahan Desember 2019, ketika hampir semua media, baik cetak, daring, dan stasiun televisi ramai-ramai memberitakan virus dari Wuhan, China.
Melalui masifnya informasi pandemi itu, saya akhirnya juga tahu ternyata ada 250.000 warga negara Indonesia (WNI) yang menetap di Wuhan, baik yang bekerja maupun belajar.
Awal Januari, suasana Wuhan semakin mencekam. Apalagi media sosial juga mulai ramai menggambarkan suasana di Kota Wuhan. Sulitnya mendapatkan masker, jalan-jalan sepi, mal ditutup, keramaian tidak diperbolehkan, hingga Wuhan seperti kota mati.
Pendek kata, akhir Januari 2020 pemerintah China mengunci (lockdown) 56 juta penduduk Wuhan dan sekitar Provinsi Hubai. Mereka benar-benar harus di rumah hingga tidak seorang pun terlihat di jalan kecuali petugas. Bisa dibayangkan ketegasan dan strategi Xi Jinping, presiden China ini memang hebat. Namun kehebatan Xi Jinping, kita bahas lain waktu.
Ibarat jamur di musim hujan, pandemi ini justru mulai tumbuh subur dan meluas di negara belahan lain. Data World Health Organization (WHO) per Jumat (3/4/2020) hingga pukul 07.40 WIB, terdapat 187 negara kini terserang virus tersebut, sebanyak 1.014.673 orang terinfeksi, dan kematian 52.973 orang, termasuk di Indonesia.
Seolah mendapatkan pupuk, Covid-19 terus berkembang pesat di Jakarta. Juru Bicara Pemerintah untuk Kasus Covid-19 Achmad Yurianto, Kamis (2/4) lalu, telah merilis 32 provinsi di Tanah Air terserang wabah ini, hingga total sementara menjadi 1.790 orang terjangkit. Rata-rata per hari penambahan orang yang terjangkit bahkan mencapai 140 orang. Jumlah pasien meninggal dunia 170 orang.
Alhamdulillah, positifnya saat ini yang bisa disembuhkan 112 orang, tentu itu harapan kita.
Pemerintah terus mengupayakan memotong laju penularan virus ini dengan membatasi interaksi sosial. Berbagai kebijakan dikeluarkan di antaranya belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Tentu saja wajib kita ikuti, sehingga secara terpaksa kita mengubah gaya hidup.
Rutinitas yang terbiasa nongkrong di warung kopi, shopping ke mal, arisan, kebiasan cipika-cipiki, anak-anak ke sekolah, bekerja di kantor, bahkan sampai kewajiban ke masjid, gereja, wihara, dan lainnya, harus dihentikan.
Pokoknya kegiatan yang kira-kira berpotensi berkumpul lebih dari 10 orang ditiadakan. Kejadian Wuhan yang tadinya hanya saya lihat di televisi, kini terjadi di Indonesia.
Begitu mengerikannya virus ini hingga sadar atau tidak, bukan hanya gaya hidup, tapi telah mengubah budaya, bahkan mungkin “peradaban”.
Kapan ini berakhir? Sangat tergantung seberapa cepat para ahli kedokteran dunia menemukan serum untuk penyakit tersebut. Namun, kebanyakan perubahan yang hanya sementara waktu bahkan sudah bisa mengubah pola hidup dan tingkah laku seseorang.
Sejarah pernah mencatat beberapa wabah dunia yang terjadi jauh sebelum kita lahir. Begitu dahsyatnya hingga dampaknya bahkan menjatuhkan sebuah dinasti, meluasnya kolonialisme, bahkan mendinginkan iklim.
Pandemi yang pernah menghantam Eropa sekitar tahun 1350 misalnya. Mengerikan karena menewaskan sepertiga penduduk dunia. Orang-orang Eropa menyebut virus itu dengan The Black Death. Di Indonesia, penyakit itu dikenal dengan nama pes. Pada awal abad ke-20 juga pernah sangat mematikan di Pulau Jawa.
Persentase kematian akibat pes menimpa banyak buruh tani sehingga para pemilik lahan kekurangan tenaga kerja. Ini berdampak runtuhnya sistem feodalisme lama, dan mendorong Eropa menuju komersialisasi modern, dengan sistem ekonomi uang kontan.
Sejarah juga mencatat peristiwa pada 1801, saat itu terdapat virus yang dikenal dengan penyakit Demam Kuning di Haiti. Sekitar 50.000 tentara Prancis mati lantaran serangan penyakit ini, saat menginvasi Amerika Utara. Prancis kemudian keluar dari medan perang, secara bersamaan terjadi peningkatan kekuatan pada kubu Amerika Serikat.
Sebagai makhluk sosial, tentu keadaan ini mengkhawatirkan. Covid-19 seperti menghilangkan rasa empati dan kepedulian kita.
Lihat saja korban yang meninggal akibat virus ini, bagaimana mereka dimakamkan tanpa pelayat, atau mereka yang dirawat tidak lagi dipertemukan dengan sanak keluarganya. Padahal, kebiasaan kita terhadap tetangga yang sakit atau bahkan yang meninggal tentu sangat berbeda.
Covid-19 memaksa kita mengubah perilaku. Satu tahap kecil perubahan polah, kebiasaan bisa jadi mengubah kebudayaan. Jika ini berlangsung lama, akhirnya bisa mengarah pada berubahnya peradaban. Saya bukan ahli sosiologi atau antropologi, ini pandangan sementara saya saja.
Guru Besar Antropologi Indonesia Prof Koentjaraningrat dalam sepenggal catatannya pernah mengatakan bahwa peradaban merupakan bagian unsur kebudayaan, termasuk di dalamnya kesenian, adat sopan santun, pergaulan, ilmu pengetahuan, dan organisasi kenegaraan.
Jadi budaya adalah peradaban, jika dijabarkan kira-kira, budaya merupakan sebuah ciri atau identitas dari sekumpulan orang yang mendiami wilayah tertentu. Budaya terjadi dari perbuatan yang dilakukan masyarakat setempat secara berulang-ulang sehingga membentuk suatu kebiasaan, dan akhirnya menjadi budaya.
Lalu, apa yang berubah kini? Banyak, meskipun sebenarnya apa yang dilakukan saat ini merupakan anjuran dari dulu, terutama kebiasaan kita sehari-hari. Kita kini menerapkan pola hidup lebih bersih dan lebih sehat. Pola makan dengan gizi seimbang, minum air putih lebih banyak. Waktu untuk olahraga, mencuci tangan dengan sabun setiap kali akan makan atau minum, menerapkan istirahat atau tidur yang cukup.
Lalu ada lagi, iya ada banyak. Karena tidak boleh berkumpul, bahkan kini ada ungkapan “Bercerai kita kuat, bersatu kita runtuh” atau “Bantu Indonesia dengan tidur di rumah”. Tidak mudik saat lebaran, mungkin juga salat tarawih dianjurkan di rumah saja. Pola-pola demikian di atas tentu telah menggeser kebiasaan.
Mungkin nantinya ada kebiasaan baik yang bisa terus dipertahankan, tapi tidak sedikit pula kebiasaan baru yang kemungkinan akan menggerus kehidupan bersosial kita. Wallahualam.
Jurnalis Koran SINDOSaya pertama kali mendengar Covid-19 dari media massa pada pertengahan Desember 2019, ketika hampir semua media, baik cetak, daring, dan stasiun televisi ramai-ramai memberitakan virus dari Wuhan, China.
Melalui masifnya informasi pandemi itu, saya akhirnya juga tahu ternyata ada 250.000 warga negara Indonesia (WNI) yang menetap di Wuhan, baik yang bekerja maupun belajar.
Awal Januari, suasana Wuhan semakin mencekam. Apalagi media sosial juga mulai ramai menggambarkan suasana di Kota Wuhan. Sulitnya mendapatkan masker, jalan-jalan sepi, mal ditutup, keramaian tidak diperbolehkan, hingga Wuhan seperti kota mati.
Pendek kata, akhir Januari 2020 pemerintah China mengunci (lockdown) 56 juta penduduk Wuhan dan sekitar Provinsi Hubai. Mereka benar-benar harus di rumah hingga tidak seorang pun terlihat di jalan kecuali petugas. Bisa dibayangkan ketegasan dan strategi Xi Jinping, presiden China ini memang hebat. Namun kehebatan Xi Jinping, kita bahas lain waktu.
Ibarat jamur di musim hujan, pandemi ini justru mulai tumbuh subur dan meluas di negara belahan lain. Data World Health Organization (WHO) per Jumat (3/4/2020) hingga pukul 07.40 WIB, terdapat 187 negara kini terserang virus tersebut, sebanyak 1.014.673 orang terinfeksi, dan kematian 52.973 orang, termasuk di Indonesia.
Seolah mendapatkan pupuk, Covid-19 terus berkembang pesat di Jakarta. Juru Bicara Pemerintah untuk Kasus Covid-19 Achmad Yurianto, Kamis (2/4) lalu, telah merilis 32 provinsi di Tanah Air terserang wabah ini, hingga total sementara menjadi 1.790 orang terjangkit. Rata-rata per hari penambahan orang yang terjangkit bahkan mencapai 140 orang. Jumlah pasien meninggal dunia 170 orang.
Alhamdulillah, positifnya saat ini yang bisa disembuhkan 112 orang, tentu itu harapan kita.
Pemerintah terus mengupayakan memotong laju penularan virus ini dengan membatasi interaksi sosial. Berbagai kebijakan dikeluarkan di antaranya belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Tentu saja wajib kita ikuti, sehingga secara terpaksa kita mengubah gaya hidup.
Rutinitas yang terbiasa nongkrong di warung kopi, shopping ke mal, arisan, kebiasan cipika-cipiki, anak-anak ke sekolah, bekerja di kantor, bahkan sampai kewajiban ke masjid, gereja, wihara, dan lainnya, harus dihentikan.
Pokoknya kegiatan yang kira-kira berpotensi berkumpul lebih dari 10 orang ditiadakan. Kejadian Wuhan yang tadinya hanya saya lihat di televisi, kini terjadi di Indonesia.
Begitu mengerikannya virus ini hingga sadar atau tidak, bukan hanya gaya hidup, tapi telah mengubah budaya, bahkan mungkin “peradaban”.
Kapan ini berakhir? Sangat tergantung seberapa cepat para ahli kedokteran dunia menemukan serum untuk penyakit tersebut. Namun, kebanyakan perubahan yang hanya sementara waktu bahkan sudah bisa mengubah pola hidup dan tingkah laku seseorang.
Sejarah pernah mencatat beberapa wabah dunia yang terjadi jauh sebelum kita lahir. Begitu dahsyatnya hingga dampaknya bahkan menjatuhkan sebuah dinasti, meluasnya kolonialisme, bahkan mendinginkan iklim.
Pandemi yang pernah menghantam Eropa sekitar tahun 1350 misalnya. Mengerikan karena menewaskan sepertiga penduduk dunia. Orang-orang Eropa menyebut virus itu dengan The Black Death. Di Indonesia, penyakit itu dikenal dengan nama pes. Pada awal abad ke-20 juga pernah sangat mematikan di Pulau Jawa.
Persentase kematian akibat pes menimpa banyak buruh tani sehingga para pemilik lahan kekurangan tenaga kerja. Ini berdampak runtuhnya sistem feodalisme lama, dan mendorong Eropa menuju komersialisasi modern, dengan sistem ekonomi uang kontan.
Sejarah juga mencatat peristiwa pada 1801, saat itu terdapat virus yang dikenal dengan penyakit Demam Kuning di Haiti. Sekitar 50.000 tentara Prancis mati lantaran serangan penyakit ini, saat menginvasi Amerika Utara. Prancis kemudian keluar dari medan perang, secara bersamaan terjadi peningkatan kekuatan pada kubu Amerika Serikat.
Sebagai makhluk sosial, tentu keadaan ini mengkhawatirkan. Covid-19 seperti menghilangkan rasa empati dan kepedulian kita.
Lihat saja korban yang meninggal akibat virus ini, bagaimana mereka dimakamkan tanpa pelayat, atau mereka yang dirawat tidak lagi dipertemukan dengan sanak keluarganya. Padahal, kebiasaan kita terhadap tetangga yang sakit atau bahkan yang meninggal tentu sangat berbeda.
Covid-19 memaksa kita mengubah perilaku. Satu tahap kecil perubahan polah, kebiasaan bisa jadi mengubah kebudayaan. Jika ini berlangsung lama, akhirnya bisa mengarah pada berubahnya peradaban. Saya bukan ahli sosiologi atau antropologi, ini pandangan sementara saya saja.
Guru Besar Antropologi Indonesia Prof Koentjaraningrat dalam sepenggal catatannya pernah mengatakan bahwa peradaban merupakan bagian unsur kebudayaan, termasuk di dalamnya kesenian, adat sopan santun, pergaulan, ilmu pengetahuan, dan organisasi kenegaraan.
Jadi budaya adalah peradaban, jika dijabarkan kira-kira, budaya merupakan sebuah ciri atau identitas dari sekumpulan orang yang mendiami wilayah tertentu. Budaya terjadi dari perbuatan yang dilakukan masyarakat setempat secara berulang-ulang sehingga membentuk suatu kebiasaan, dan akhirnya menjadi budaya.
Lalu, apa yang berubah kini? Banyak, meskipun sebenarnya apa yang dilakukan saat ini merupakan anjuran dari dulu, terutama kebiasaan kita sehari-hari. Kita kini menerapkan pola hidup lebih bersih dan lebih sehat. Pola makan dengan gizi seimbang, minum air putih lebih banyak. Waktu untuk olahraga, mencuci tangan dengan sabun setiap kali akan makan atau minum, menerapkan istirahat atau tidur yang cukup.
Lalu ada lagi, iya ada banyak. Karena tidak boleh berkumpul, bahkan kini ada ungkapan “Bercerai kita kuat, bersatu kita runtuh” atau “Bantu Indonesia dengan tidur di rumah”. Tidak mudik saat lebaran, mungkin juga salat tarawih dianjurkan di rumah saja. Pola-pola demikian di atas tentu telah menggeser kebiasaan.
Mungkin nantinya ada kebiasaan baik yang bisa terus dipertahankan, tapi tidak sedikit pula kebiasaan baru yang kemungkinan akan menggerus kehidupan bersosial kita. Wallahualam.
(ysw)