Lawan Corona, Tokoh Masyarakat Perlu Bantu Serukan Social Distancing

Kamis, 26 Maret 2020 - 19:34 WIB
Lawan Corona, Tokoh Masyarakat Perlu Bantu Serukan Social Distancing
Lawan Corona, Tokoh Masyarakat Perlu Bantu Serukan Social Distancing
A A A
JAKARTA - Wabah virus corona (COVID-19) telah menjadi bencana kemanusiaan yang menelan banyak korban. Kebijakan penerapan social distancing atau jaga jarak untuk mencegah penyebaran Corona belum berjalan mulus.

Virus Corona dan social distancing atau jaga jarak menimbulkan persoalan baru, yakni penyakit sosial seperti maraknya hoaks dan ketegangan sosial di masyarakat sehingga perlu upaya bersama untuk mengatasi ini semua.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan, perlu kerja sama dari para tokoh masyarakat dan juga tokoh agama untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya social distancing sehingga masyarakat bisa mematuhi hal tersebut.

“Jangan sampai kemudian ada tokoh yang menyampaikan statement ke publik yang justru muatannya adalah hoaks dan mendorong menyesatkan publik. Selain itu para tokoh tersebut juga harus memberikan contoh dengan menolak ketika diminta umatnya untuk mengadakan pengajian di masjid atau ibadah ke gereja untuk melakukan doa bersama. Itu harus dihindari dulu untuk sementara,” tutur Devie di Jakarta, Kamis (26/3/2020).

Dosen dan peneliti tetap program Vokasi Humas Universitas Indonesia (UN) ini mengingatkan agar para tokoh bisa menjadi patron yang bicaranya berdasarkan fakta dan data yang benar.

“Para tokoh harus berani menertibkan jamaah dan anggota masyarakatnya masing-masing. Ketika ada informasi, dia harus berani bilang ini salah, ini tidak benar, ini belum valid, ini tidak ilmiah. Termasuk juga para moderator atau admin grup media sosial seperti WhatsApp itu harus berani bicara seperti itu.karena akan bahaya nantinya kalau dibiarkan,” tuturnya.

Menurut dia, pemerintaha secara struktur harus membuat aturannya, bukan cuma imbauan. Misalnya siapa yang keluar rumah lalu sanksinya apa, termasuk siapa yang kemudian mengeluarkan kalimat yang tidak benar.

“Mungkin bukan hukuman penjara, misalnya denda atau menghapus info yang disebarkannya. Tetapi kalau itu informasi hoaksnya sudah terlalu parah tentu bisa dikenakan Undang-Undang ITE,” ujarnya.

Devie menjelaskan, kebijakan social distancing untuk mengurangi interaksi sosial dengan orang lain, termasuk kontak tatap muka langsung dan aktivitas di luar rumah sehingga dapat mengurangi penyebaran COVID-19 ini.

“Akan tetapi memang ada dampak yang ditimbulkan dari social distancing itu sendiri. Secara sosiologis dan psikologis itu memengaruhi pola interaksi manusianya. Ini yang kemudian secara terminologi social distancing itu mendorong manusia kemudian merasa teralienasi (terasing atau terisolasi),” tutur wanita yang juga Ketua Program Studi Vokasi Komunikasi UI itu.

Kendati demikian yang menjadi problem lanjutan menurut peraih magister bidang program studi Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI ini adalah ketika kemudian tiba-tiba semua orang ini diimbau oleh pemerintah untuk "dirumahkan". Hal ini menyebabkan orang-orang merasa kesepian dan sebagainya. Tetapi ada juga sebagian yang tidak mengindahkan kebijakan ini.

“Salah satu pendorongnya adalah faktor ekonomi, ada kelompok masyarakat yang kalau mereka ada di rumah, mereka tidak memiliki pendapatan. Kedua, konteks spiritualitas di mana masyarakat percaya bahwa mereka tidak melakukan hal-hal yang negatif itu membuat mereka punya rasa percaya diri bahwa penyakit ini tidak menghampiri mereka sehingga mereka tidak mengindahkan social distancing," tuturnya.

Oleh sebab itu, dia mengatakan butuh pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Karena imbauan yang dikeluarkan pemerintah masuk dalam pendekatan kultural.

Menurut dia, dalam konteks gawat darurat seperti sekarang ini tidak bisa pendekatannya hanya kultural. Tetapi memang harus ada pendekatan struktural.

“Memang harus ada upaya serius dari pemerintah untuk ‘memaksa’ warga untuk ada di dalam rumah. Untuk kalangan menengah ke bawah jelas harus ada insentif ekonomi. Harus ada sanksi bagi yang melanggar, karena sanksi itu biasanya membuat orang menjadi takut. Kalau di Italia dan negara lainnya militer ikut terjun menindak warganya yang tidak mematuhi aturan negaranya,” tuturnya.

Jika bicara social distancing yang kemudian namanya diganti physical distancing, kata dia, tentu memiliki dampak. Secara sosiologis dan psikologis, itu memengaruhi pola interaksi manusianya. Ini yang kemudian dalam konteks demografi anak-anak muda kemudian menjadi tidak tepat sasaaran.

“Ini yang terjadi di seluruh dunia. Ketika ada imbauan untuk melakukan social distancing, yang terjadi mereka tetap melakukan hubungan sosial tadi. Bahkan dalam jarak yang sebenarnya sangat berbahaya bagi aspek kesehatan. Karena sosial manusia memang tidak mungkin dipisahkan,” tuturnya.

Namun dalam kontek ketimuran yang memang secara kultural itu sangat komunal, kata dia, komunalitas ini membuat aspek kesetiakawanan masyarakat Indonesia sebenarnya cukup kuat.

Hal itu terbukti, misalnya ketika secara fisik mereka harus berjarak, tapi bantuan-bantuan yang mengalir itu tetap tiada hentinya.

“Kita lihat berbagai upaya inisiatif warga untuk memberikan atau mengumpulkan barang yang dibutuhkan untuk mendukung petugas kesehatan atau masyarakat lainnya itu terus-menerus mengalir. Ini menunjukkan social atau physical distancing pun juga tidak mampu mencegah masyarakat komunal ini untuk terus bergandengan tangan untuk saling membantu, itu poinnya,” tuturnya.

Devie juga mengimbau untuk generasi muda agar untuk mengikuti anjuran mengisolasi diri dengan melakukan work from home (WFH) untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 ini.

Dia menyarankan agar pemerintah mau merangkul para selebritas yang selama ini banyak menjadi patron para generasi muda untuk memberikan imbauan dan ajakan bagi para generasi muda yang selama ini masih enggan untuk mengikuti imbauan pemerintah.

“Karena dalam konteks anak muda ketika bicara informasi tentunya berbeda dengan orangtua. Kalau orangtua masih mau ‘mantengin’ informasi-informasi umum. Tetapi kalau anak muda mereka tutup semua telinga mereka. Dia tidak mau dengar lagi informasi umum itu. Yang mereka dengar misalnya adalah musik atau film. Mau tidak mau ya para selebritis-selebritis ini. Nah disitulah sebenanrya bisa disusupi,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6000 seconds (0.1#10.140)