Denny JA Filmkan Puisi Kritik Sosial Demo Kamisan di Istana Presiden
A
A
A
JAKARTA - Denny JA memfilmkan puisi kritik sosial berjudul "Kutunggu di Setiap Kamisan. Kisah Cinta yang Terselip di Aksi 400 Kamis Seberang Istana".
Hal itu dilakukan sebagai cara baru kritik sosial untuk era digital dan menyebarkannya di media social (Medsos). Denny mengaku mengangkat demo Kamisan di seberang Istana yang sudah berlangsung 10 tahun lebih. ”Setiap hari Kamis, mereka berkumpul dengan payung hitam mencari keluarga yang hilang. Diduga keluarga yang hilang itu karena kasus politik. Lama dan bertahannya aksi demo setiap Kamis itu fenomenal,” ucapnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (7/3/2020).
Denny menilai, menunggu orang tercinta yang hilang seperti suami atau anak atau anggota keluarga sungguh menyentuh. Dipilihnya lokasi di seberang Istana Presiden dengan payung hitam itu juga strategis. Itu sebabnya dirinya ingin ikut mengeskpresikan aksi Kamisan itu. ”Awalnya, di 2015 saya membuat puisi esai yang panjang soal aksi itu. Ini puisi yang dipenuhi catatan kaki soal data aksi dan setting politiknya,” ucapnya.
Namun, ujar Denny, setelah membaca hasil riset Survei of Public Participation in the Arts, 2015, untuk populasi Amerika Serikat. Ternyata puisi semakin jarang dibaca. Dalam dunia seni, puisi dan opera dua hal yang paling kurang diminati. Sebaliknya, film menjadi ekspresi seni yang paling populer.
Denny mengaku sudah sejak lama berniat memfilmkan, memvisualkan aneka puisi esainya. Bersama Hanung Bramantyo di 2014, dirinya telah memfilmkan lima puisi esainya menjadi lima film kritik sosial dengan tema diskriminasi. ”Di 2020 ini saya gabungkan artis, aktor dan animasi untuk film keenam yakni Demo Kamisan. Film ini memang kisah cinta. Namun dalam kisah cinta itu, tergambar pula aneka kisah politik yang menghilangkan secara paksa warga negara. Tak hanya di 1998, kisah orang hilang sudah terjadi jauh ke belakang sejak 1965,” katanya.
Denny menambahkan, saat ini tengah mempersiapkan 34 skenario film yang semuanya berdasarkan puisi esainya yang menggambarkan kearifan lokal 34 provinsi Indonesia. Puisi esai, sambung Denny, memang paling mudah difilmkan ketimbang puisi lain. Itu karena puisi esai punya plot, panjang dan berbabak. Apalagi, puisi esai memiliki catatan kaki yang memudahkan penulis skenario mengeksplor sumber kisah. ”Film berdasarkan puisi esai, dengan tema kritik sosial, akan menjadi karakter film saya di kemudian hari,” ujar Denny.
Hal itu dilakukan sebagai cara baru kritik sosial untuk era digital dan menyebarkannya di media social (Medsos). Denny mengaku mengangkat demo Kamisan di seberang Istana yang sudah berlangsung 10 tahun lebih. ”Setiap hari Kamis, mereka berkumpul dengan payung hitam mencari keluarga yang hilang. Diduga keluarga yang hilang itu karena kasus politik. Lama dan bertahannya aksi demo setiap Kamis itu fenomenal,” ucapnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (7/3/2020).
Denny menilai, menunggu orang tercinta yang hilang seperti suami atau anak atau anggota keluarga sungguh menyentuh. Dipilihnya lokasi di seberang Istana Presiden dengan payung hitam itu juga strategis. Itu sebabnya dirinya ingin ikut mengeskpresikan aksi Kamisan itu. ”Awalnya, di 2015 saya membuat puisi esai yang panjang soal aksi itu. Ini puisi yang dipenuhi catatan kaki soal data aksi dan setting politiknya,” ucapnya.
Namun, ujar Denny, setelah membaca hasil riset Survei of Public Participation in the Arts, 2015, untuk populasi Amerika Serikat. Ternyata puisi semakin jarang dibaca. Dalam dunia seni, puisi dan opera dua hal yang paling kurang diminati. Sebaliknya, film menjadi ekspresi seni yang paling populer.
Denny mengaku sudah sejak lama berniat memfilmkan, memvisualkan aneka puisi esainya. Bersama Hanung Bramantyo di 2014, dirinya telah memfilmkan lima puisi esainya menjadi lima film kritik sosial dengan tema diskriminasi. ”Di 2020 ini saya gabungkan artis, aktor dan animasi untuk film keenam yakni Demo Kamisan. Film ini memang kisah cinta. Namun dalam kisah cinta itu, tergambar pula aneka kisah politik yang menghilangkan secara paksa warga negara. Tak hanya di 1998, kisah orang hilang sudah terjadi jauh ke belakang sejak 1965,” katanya.
Denny menambahkan, saat ini tengah mempersiapkan 34 skenario film yang semuanya berdasarkan puisi esainya yang menggambarkan kearifan lokal 34 provinsi Indonesia. Puisi esai, sambung Denny, memang paling mudah difilmkan ketimbang puisi lain. Itu karena puisi esai punya plot, panjang dan berbabak. Apalagi, puisi esai memiliki catatan kaki yang memudahkan penulis skenario mengeksplor sumber kisah. ”Film berdasarkan puisi esai, dengan tema kritik sosial, akan menjadi karakter film saya di kemudian hari,” ujar Denny.
(cip)