Serapan Anggaran Minim, Pemerintah Siapkan Sanksi Bagi Daerah Pengeram
A
A
A
TAK banyak yang tahu tentang Sabu Raijua, salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten ini relatif baru, yakni terbentuk pada 29 Oktober 2008 sebagai hasil dari pemekaran Kabupaten Kupang. Sabu Raijua adalah salah satu kabupaten yang serapan anggarannya amat lambat. Padahal, Sabu Raijua tergolong daerah miskin.
Pembangunan daerah yang dihuni kurang lebih 80-an ribu penduduk ini bak siput. Kalah cepat dibandingkan 21 kabupaten/kota di NTT lainnya. Infrastrukturnya masih tertinggal.
Jangankan menikmati kesejahteraan ekonomi. Untuk kebutuhan air minum saja, rakyat mesti berebut di embung. Begitu banyak warga di pulau itu bertahan hidup dari meminum tuak manis dari pohon lontar yang rimbun di alam Sabu Raijua.
Selain embung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, kabupaten ini juga butuh jalan yang memadai. “Kami masih sangat butuh jalan raya. Kami butuh pelabuhan yang kuat, kapal laut, serta bandara yang berkualitas. Kami butuh fasilitas air minum (embung dan bendungan), listrik, serta pembangunan perumahan warga miskin,” ujar Paulus Rabe Tuka, Ketua DPRD Sabu Raijua, suatu ketika.
Kondisi jalan Sabu Raijua memang memilukan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari total 571,5 kilometer (km) jalan kabupaten, baru 126,92 km yang permukaannya beraspal. Sisanya masih berupa tanah.
Anehnya, dalam kondisi tertinggal begitu, Sabu Raijua masuk dalam daftar daerah dengan penyerapan anggaran yang minim. Pada semester I 2017, belanja APBD Sabu Raijua hanya 16%. Sementara, di periode yang sama pada 2018, sekalipun besarannya naik, masih terbilang rendah, yaitu 20%.
Memang sih, kondisi memprihatinkan ini tak hanya dialami Sabu Raijua. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), selama semester I 2019 atau sejak Januari hingga Juni 2019, sepuluh pemerintah kabupaten/kota tidak sampai 20% menyerap anggarannya. Pemerintah Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, yang terendah, yaitu hanya sekitar 5%.
Sementara itu, sembilan kabupaten/kota lain penyerapannya di bawah 20% adalah Kabupaten Malaka, NTT (19%); Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT (19%); Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT (19%); dan Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur (19%).
Selain itu, adapun Kabupaten Nagekeo, NTT (18%); Kabupaten Manggarai, NTT (16%); Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (16%); Kabupaten Sabu Raijua, NTT (15%); dan Kabupaten Kupang, NTT (14%).
Di sejumlah kabupaten, serapan anggaran yang lambat terjadi pula pada tahun-tahun sebelumnya. Sabu Raijua hanya salah satu saja. Natuna, misalnya, pada semester I 2017 hanya menyerap anggaran sebesar 6%. Kemudian, periode yang sama pada 2018 turun menjadi 5%.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengatakan penyerapan APBD sebenarnya merepresentasikan pula kemampuan daerah dalam merencanakan anggaran. Ketika APBD telah disahkan, itu sudah menjadi tanggung jawab kepala daerah untuk memastikan belanja APBD mereka tidak lambat. Pengalaman daerah lain dalam mengelola anggarannya bisa jadi salah satu referensi. “Kepala daerah semestinya juga bisa termotivasi dengan capaian daerah lain yang lebih tinggi,” katanya.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengungkap masalah tersebut sebagai fenomena lama. “Ini masalah serius. Di satu sisi, pengeluaran negara terus membengkak, sedangkan target penerimaan sering tidak tercapai,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Primanto Bhakti mengungkap bahwa pemerintah sudah menyiapkan sejumlah sanksi untuk mencegah terulangnya penyakit ini. Upaya ini nantinya akan berpengaruh langsung terhadap belanja wajib (mandatory spending) sebuah daerah. Salah satu contoh sanksinya adalah menunda pemberian dana alokasi umum (DAU) sebuah daerah sebelum pemda (pemerintah daerah) tersebut memenuhi mandatory spending-nya.
Yose sepakat dengan sanksi itu. Selain sanksi, pemerintah juga perlu mengubah formula skema transfer ke daerah. Dua komponen DAU dan DAK harus disusun menggunakan formula. “Kalau ada daerah yang penyerapannya rendah dan tidak menggunakan dana untuk apa-apa, jangan dapat dana yang sama tahun berikutnya. Ini yang harus diubah,” tegas Yose.
Hanya saja, Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Abdullah Azwar Anas mengingatkan ada beberapa faktor yang membuat belanja daerah belum optimal. Menurutnya, perihal lain memang sebaiknya dinilai per kasus. Artinya, tidak semua daerah harus menghabiskan seluruh simpanan di bank. Hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah penyerapan anggaran maksimal mesti sesuai dengan prioritas dan peruntukan program daerah.
“Di antaranya, ada daerah yang masih menunggu pencairan berbagai program pembangunan hingga akhir tahun ini. Termasuk proyek-proyek infrastruktur daerah yang harus dicek dari berbagai aspek teknis sebelum pencairannya disahkan,” ujarnya.
Anas menambahkan bahwa secara administratif, masih banyak kegiatan yang perkembangan pembangunan fisiknya sudah 100%. Namun, kemungkinan proyek tersebut masih dalam proses pemeriksaan atau pengajuan. “Dengan estimasi realisasi belanja akhir tahun sekitar 90% hingga 95%, kondisi ini rasional dan umumnya terjadi di hampir semua daerah. Artinya, ada efisiensi anggaran dalam 10% hingga 15% di masing-masing daerah,” paparnya.
Tak hanya itu. Faktor lain yang melatarbelakangi rendahnya penyerapan anggaran adalah kegagalan lelang. Selain itu, penyerapan APBD terkendala mekanisme penganggaran. Sebut saja misalnya kegiatan pembangunan fisik yang sudah berjalan sejak awal tahun belum tuntas hingga 100% sehingga pencairan anggaran baru bisa dilakukan pada triwulan III.
Merugikan Rakyat
Lemahnya penyerapan anggaran tentu akan berdampak terhadap pembangunan daerah. Ini tentunya akan merugikan masyarakat. Sebut saja contohnya pembangunan jalan. Jika lambat dilakukan, roda perekonomian daerah pun akan menjadi lambat.
Satria Aji Imawan, pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan persoalan ini jelas berdampak langsung bagi masyarakat karena program pemerintah jadi tersendat. Celakanya, terkadang program ini bersentuhan dengan kebutuhan yang mendesak bagi publik. Sebut saja misalnya rencana pembangunan jalan yang tidak maksimal karena serapan rendah. “Semestinya, aspal dapat dicor sepanjang 10 km pada awal tahun, tapi karena penyerapan yang rendah baru 3–5 km,” ujarnya.
Keterlambatan penyerapan APBD juga berdampak terhadap kualitas penggunaan anggaran. Sebab, semakin lama alokasi anggaran digunakan, semakin sedikit waktu yang tersedia untuk memanfaatkannya. Pelaksanaan sejumlah proyek atau program pembangunan, misalnya, berpotensi molor dari waktu yang sudah direncanakan. Dengan demikian, laju perekonomian di daerah bakal terhambat. “Keterlambatan menyerap anggaran tersebut berdampak langsung terhadap stimulus ekonomi yang tidak optimal,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati.
Wajar saja jika pemerintah pusat mengenakan sanksi untuk daerah yang dianggap lelet dalam menggunakan anggarannya untuk pembangunan. Hanya saja, sanksi menunda pencairan DAU mesti dihitung dengan cermat. Jangan sampai gara-gara sanksi itu, rakyat di daerah makin dirugikan.
Sebagai catatan, dalam APBN 2020, alokasi TKDD paling besar ditujukan untuk DAU, yakni sebesar Rp427,1 triliun. Komponen TKDD lainnya adalah dana bagi hasil (Rp117,6 triliun), dana alokasi khusus (DAK) fisik (Rp72,2 triliun), DAK nonfisik (Rp130, 3 triliun), dana insentif daerah (Rp15 triliun), serta dana otsus dan keistimewaan DIY (Rp22,7 triliun). (Ferdi Christian)
Pembangunan daerah yang dihuni kurang lebih 80-an ribu penduduk ini bak siput. Kalah cepat dibandingkan 21 kabupaten/kota di NTT lainnya. Infrastrukturnya masih tertinggal.
Jangankan menikmati kesejahteraan ekonomi. Untuk kebutuhan air minum saja, rakyat mesti berebut di embung. Begitu banyak warga di pulau itu bertahan hidup dari meminum tuak manis dari pohon lontar yang rimbun di alam Sabu Raijua.
Selain embung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, kabupaten ini juga butuh jalan yang memadai. “Kami masih sangat butuh jalan raya. Kami butuh pelabuhan yang kuat, kapal laut, serta bandara yang berkualitas. Kami butuh fasilitas air minum (embung dan bendungan), listrik, serta pembangunan perumahan warga miskin,” ujar Paulus Rabe Tuka, Ketua DPRD Sabu Raijua, suatu ketika.
Kondisi jalan Sabu Raijua memang memilukan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari total 571,5 kilometer (km) jalan kabupaten, baru 126,92 km yang permukaannya beraspal. Sisanya masih berupa tanah.
Anehnya, dalam kondisi tertinggal begitu, Sabu Raijua masuk dalam daftar daerah dengan penyerapan anggaran yang minim. Pada semester I 2017, belanja APBD Sabu Raijua hanya 16%. Sementara, di periode yang sama pada 2018, sekalipun besarannya naik, masih terbilang rendah, yaitu 20%.
Memang sih, kondisi memprihatinkan ini tak hanya dialami Sabu Raijua. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), selama semester I 2019 atau sejak Januari hingga Juni 2019, sepuluh pemerintah kabupaten/kota tidak sampai 20% menyerap anggarannya. Pemerintah Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, yang terendah, yaitu hanya sekitar 5%.
Sementara itu, sembilan kabupaten/kota lain penyerapannya di bawah 20% adalah Kabupaten Malaka, NTT (19%); Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT (19%); Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT (19%); dan Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur (19%).
Selain itu, adapun Kabupaten Nagekeo, NTT (18%); Kabupaten Manggarai, NTT (16%); Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (16%); Kabupaten Sabu Raijua, NTT (15%); dan Kabupaten Kupang, NTT (14%).
Di sejumlah kabupaten, serapan anggaran yang lambat terjadi pula pada tahun-tahun sebelumnya. Sabu Raijua hanya salah satu saja. Natuna, misalnya, pada semester I 2017 hanya menyerap anggaran sebesar 6%. Kemudian, periode yang sama pada 2018 turun menjadi 5%.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengatakan penyerapan APBD sebenarnya merepresentasikan pula kemampuan daerah dalam merencanakan anggaran. Ketika APBD telah disahkan, itu sudah menjadi tanggung jawab kepala daerah untuk memastikan belanja APBD mereka tidak lambat. Pengalaman daerah lain dalam mengelola anggarannya bisa jadi salah satu referensi. “Kepala daerah semestinya juga bisa termotivasi dengan capaian daerah lain yang lebih tinggi,” katanya.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengungkap masalah tersebut sebagai fenomena lama. “Ini masalah serius. Di satu sisi, pengeluaran negara terus membengkak, sedangkan target penerimaan sering tidak tercapai,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Primanto Bhakti mengungkap bahwa pemerintah sudah menyiapkan sejumlah sanksi untuk mencegah terulangnya penyakit ini. Upaya ini nantinya akan berpengaruh langsung terhadap belanja wajib (mandatory spending) sebuah daerah. Salah satu contoh sanksinya adalah menunda pemberian dana alokasi umum (DAU) sebuah daerah sebelum pemda (pemerintah daerah) tersebut memenuhi mandatory spending-nya.
Yose sepakat dengan sanksi itu. Selain sanksi, pemerintah juga perlu mengubah formula skema transfer ke daerah. Dua komponen DAU dan DAK harus disusun menggunakan formula. “Kalau ada daerah yang penyerapannya rendah dan tidak menggunakan dana untuk apa-apa, jangan dapat dana yang sama tahun berikutnya. Ini yang harus diubah,” tegas Yose.
Hanya saja, Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Abdullah Azwar Anas mengingatkan ada beberapa faktor yang membuat belanja daerah belum optimal. Menurutnya, perihal lain memang sebaiknya dinilai per kasus. Artinya, tidak semua daerah harus menghabiskan seluruh simpanan di bank. Hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah penyerapan anggaran maksimal mesti sesuai dengan prioritas dan peruntukan program daerah.
“Di antaranya, ada daerah yang masih menunggu pencairan berbagai program pembangunan hingga akhir tahun ini. Termasuk proyek-proyek infrastruktur daerah yang harus dicek dari berbagai aspek teknis sebelum pencairannya disahkan,” ujarnya.
Anas menambahkan bahwa secara administratif, masih banyak kegiatan yang perkembangan pembangunan fisiknya sudah 100%. Namun, kemungkinan proyek tersebut masih dalam proses pemeriksaan atau pengajuan. “Dengan estimasi realisasi belanja akhir tahun sekitar 90% hingga 95%, kondisi ini rasional dan umumnya terjadi di hampir semua daerah. Artinya, ada efisiensi anggaran dalam 10% hingga 15% di masing-masing daerah,” paparnya.
Tak hanya itu. Faktor lain yang melatarbelakangi rendahnya penyerapan anggaran adalah kegagalan lelang. Selain itu, penyerapan APBD terkendala mekanisme penganggaran. Sebut saja misalnya kegiatan pembangunan fisik yang sudah berjalan sejak awal tahun belum tuntas hingga 100% sehingga pencairan anggaran baru bisa dilakukan pada triwulan III.
Merugikan Rakyat
Lemahnya penyerapan anggaran tentu akan berdampak terhadap pembangunan daerah. Ini tentunya akan merugikan masyarakat. Sebut saja contohnya pembangunan jalan. Jika lambat dilakukan, roda perekonomian daerah pun akan menjadi lambat.
Satria Aji Imawan, pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan persoalan ini jelas berdampak langsung bagi masyarakat karena program pemerintah jadi tersendat. Celakanya, terkadang program ini bersentuhan dengan kebutuhan yang mendesak bagi publik. Sebut saja misalnya rencana pembangunan jalan yang tidak maksimal karena serapan rendah. “Semestinya, aspal dapat dicor sepanjang 10 km pada awal tahun, tapi karena penyerapan yang rendah baru 3–5 km,” ujarnya.
Keterlambatan penyerapan APBD juga berdampak terhadap kualitas penggunaan anggaran. Sebab, semakin lama alokasi anggaran digunakan, semakin sedikit waktu yang tersedia untuk memanfaatkannya. Pelaksanaan sejumlah proyek atau program pembangunan, misalnya, berpotensi molor dari waktu yang sudah direncanakan. Dengan demikian, laju perekonomian di daerah bakal terhambat. “Keterlambatan menyerap anggaran tersebut berdampak langsung terhadap stimulus ekonomi yang tidak optimal,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati.
Wajar saja jika pemerintah pusat mengenakan sanksi untuk daerah yang dianggap lelet dalam menggunakan anggarannya untuk pembangunan. Hanya saja, sanksi menunda pencairan DAU mesti dihitung dengan cermat. Jangan sampai gara-gara sanksi itu, rakyat di daerah makin dirugikan.
Sebagai catatan, dalam APBN 2020, alokasi TKDD paling besar ditujukan untuk DAU, yakni sebesar Rp427,1 triliun. Komponen TKDD lainnya adalah dana bagi hasil (Rp117,6 triliun), dana alokasi khusus (DAK) fisik (Rp72,2 triliun), DAK nonfisik (Rp130, 3 triliun), dana insentif daerah (Rp15 triliun), serta dana otsus dan keistimewaan DIY (Rp22,7 triliun). (Ferdi Christian)
(ysw)