Rekening Gendut Pemda, Penyakit Lama Putar-Putar Duit Daerah

Selasa, 03 Maret 2020 - 08:15 WIB
Rekening Gendut Pemda,...
Rekening Gendut Pemda, Penyakit Lama Putar-Putar Duit Daerah
A A A
KEMENDAGRI bersama Kemenkeu akan melakukan pengawasan realisasi anggaran daerah setiap bulan. Langkah ini ditempuh untuk mencegah pengendapan dana daerah di bank. Sebaliknya, daerah justru menuding proses pencarian dana ke pusat yang lambat sebagai biang keladi.

Presiden Joko Widodo atawa Jokowi menyampaikan keprihatinannya terkait besarnya dana daerah yang diendapkan di bank. Presiden menyentil kelakuan sejumlah daerah itu. “Perlu saya ingatkan. Pada Oktober dan November 2019 lalu, uang yang ada di bank-bank itu tersimpan Rp220 triliun. Gede banget angka ini,” katanya dalam acara bertajuk Rakornas Investasi untuk Indonesia Maju yang digelar Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Ritz Carlton, Jakarta, Kamis dua pekan silam.

Angka tersebut turun menjadi Rp110 triliun pada akhir Desember. Namun, menurut Jokowi, itu tetap saja merupakan angka yang besar. Seharusnya, dana daerah itu bisa dihabiskan sehingga mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang ada di daerah. Selanjutnya, Presiden Jokowi mewanti-wanti agar tidak ada lagi dana menganggur. “Jangan ulangi lagi pada 2020,” tegasnya.

Keinginan Jokowi tersebut wajar. Namun, mengharap dana daerah 100% langsung terserap tidaklah gampang. “Permasalahannya cukup kompleks ,” ujar Piter Abdullah, ekonom CORE.

Pertama, tidak semua kepala daerah memiliki kemampuan yang sama dalam menjalankan roda pembangunan. Ada kepala daerah yang kreatif dan memiliki kejelasan program sehingga mampu menyerap anggaran daerah. “Ada juga daerah yang kepemimpinannya lemah. Alhasil, ketika punya dana yang besar, mereka tidak bisa mengelolanya dengan maksimal,” tambah Piter.

Ketidakcakapan kepala daerah dalam menggunakan anggaran juga terlihat dari durasi perencanaan lelang pengadaan barang dan jasa yang kurang tepat. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018, sedianya pengadaan barang dan jasa dilakukan pada akhir November sehingga bulan berikutnya bisa langsung lelang. “Kalau Desember lelang, Januari bisa teken kontrak, Februari jalan. Pada Juni atau Agustus paling lambat sudah bisa serah terima,” ujar Mochamad Ardian Noervianto, Plh. Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Rabu pekan lalu.

Nah, yang terjadi, pemerintah daerah (pemda) cenderung melakukan lelang pada April hingga Mei. Dampaknya, pelaksanaan serah terima barang baru terjadi pada tujuh atau delapan bulan berikutnya alias Desember. “Implikasinya, uang di kas daerah tidak cair,” tambah Mochamad Ardian.

Kedua, dengan sistem otonomi daerah, para pemangku kepentingan daerah memiliki kewenangan untuk mengelola anggarannya sendiri. Jadi, pemerintah pusat tidak bisa menghukum mereka yang mengendapkan dananya di perbankan. Pasalnya, tindakan tersebut bukan merupakan pelanggaran hukum.

Sebab lainnya terkait dengan dugaan “moral hazard” para kepala daerah yang mengendapkan anggarannya. Dana-dana daerah yang menganggur itu kemudian ditaruh di perbankan dengan imbalan suku bunga yang tinggi. “Mengapa saya gunakan untuk membangun? Saya taruh saja di bank. Saya dapat insentif,” ilustrasi Piter.

Kendati pemerintah pusat tak bisa memberikan hukuman berat untuk daerah-daerah yang mengendapkan dananya, toh masih ada instrumen sanksi lain yang bisa dimainkan. Salah satu sanksi yang bisa diberikan adalah memotong alokasi dana daerah bagi pemda yang menunda penyaluran dana tersebut.

Selain memotong, pemerintah pusat juga bisa menunda pemberian dana alokasi umum (DAU) hingga pemda menggelontorkan dana daerah yang sudah diberikan. “Ini kami lakukan untuk mendorong supaya daerah-daerah tidak melakukan pengendapan dana,” tutur Astera Primanto Bhakti, Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan.

Kemendagri juga akan melakukan aksi untuk mencegah pengendapan dana daerah. Bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kemendagri akan melakukan pengawasan realisasi anggaran setiap bulan. Monitoring itu dilakukan baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota. “Kami bersama dengan Menteri Keuangan (Menkeu) akan melakukan monitoring per bulan untuk realisasi anggaran di daerah,” kata Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), belum lama ini.

Hasil pengawasan ini akan digunakan sebagai bahan analisis dan evaluasi. Kemudian, hasilnya akan dipublikasikan sehingga masyarakat bisa mengetahui daerah yang merealisasikan anggaran paling tinggi dan paling rendah. “Mudah-mudahan ini bisa menjadi indikator untuk mendorong kinerja. Dengan posisi paling rendah, pastinya akan ada rasa malu,” kata Mochamad Ardian.

Masalah di Pusat

Sikap gerah Jokowi terhadap pengendapan dana daerah memang beralasan. Dana daerah merupakan strategi Jokowi untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Jika perekonomian daerah bertumbuh, pertumbuhan ekonomi nasional tentu akan ikut terpengaruh.

Makanya pemerintah pusat terus mengerek naik jumlah dana daerah (transfer ke daerah) setiap tahunnya. Tahun ini, pemerintah menganggarkan dana daerah sebesar Rp786,8 triliun atau naik hampir 4% dibanding tahun lalu yang sebesar Rp756,6 triliun. Pada 2017, dana transfer daerah juga naik dibanding 2016 menjadi Rp706,2 triliun.

Kenaikan anggaran transfer daerah tentu saja memiliki manfaat bagi masyarakat daerah, seperti akses air minum dan sanitasi layak hingga angka partisipasi murni SMP. Akses sanitasi layak yang rata-rata nasional pada 2018 mencapai 69,27% naik dibandingkan 2015 yang hanya 62,14%. Sementara, bayi di bawah dua tahun atau baduta yang stunting turun secara rata-rata nasional dari 23,08% pada 2015 menjadi 20,07% pada 2018.

Melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik yang merupakan komponen dana daerah, pemerintah juga sudah berhasil membangun berbagai infrastruktur untuk masyarakat. Selama periode 2017–2018, DAK fisik telah dimanfaatkan untuk penambahan jalan sepanjang 17,7 ribu kilometer.

Adapun kemudian penyelesaian pembangunan jembatan 7,8 ribu meter. Lalu, ada pula pembangunan ruang kelas baru sebanyak 14,2 ribu unit, pembangunan laboratorium sekolah sebanyak 4 ribu unit, serta peningkatan dan pembangunan jaringan irigasi sebanyak 373,1 ribu hektare.

Peningkatan anggaran dana daerah itu memang sudah bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah. Namun, pencapaian hasil itu dianggap belum maksimal lantaran dana daerah masih banyak digunakan untuk bidang yang lain. Banyak daerah yang menggunakan dana tersebut, terutama DAU dan DBH, untuk kepentingan belanja pegawai. Bahkan, ada daerah yang 80% DAU dan DBH-nya digunakan untuk belanja pegawai.

Seharusnya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.07/2017, pemerintah pusat mewajibkan pemda untuk mengalokasikan minimal 25% dana transfer umum (DTU) untuk pembangunan infrastruktur. Belanja infrastruktur yang dimaksud harus terkait dengan pengurangan kesenjangan layanan publik, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, serta pengurangan pengangguran.

Sebelum sanksi dijatuhkan, ada baiknya pemerintah pusat dan pemda melakukan komunikasi terlebih dahulu untuk mengetahui sumber-sumber permasalahan. Ada pandangan bahwa mengendapnya dana daerah juga terjadi lantaran peran pemerintah pusat. “Biangnya adalah kebijakan dan peraturan teknis dari pemerintah pusat,” kata Ajiep Padindang, anggota Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) daerah pemilihan Sulawesi Selatan.

Ajiep menambahkan bahwa peraturan teknis dari kementerian terkait belum mampu mengakomodasi kemampuan daerah untuk membelanjakan dana daerah, khususnya dari sisi sumber daya aparatur yang memiliki kapasitas untuk mengelola anggaran. Menurutnya, aspek ini belum menjadi perhatian pemerintah pusat.

Hal senada juga diutarakan oleh Syamsuar, Gubernur Provinsi Riau. Syamsuar menyatakan bahwa masalah pengendapan dana daerah tidak bisa dipersalahkan kepada pemda sepenuhnya karena proses pencairan dana daerah dari pusat cenderung lambat. “Ini karena proses pencairan dana kita lambat. Alhasil, banyak progres pada akhir tahun yang belum tampak realisasinya,” kata Syamsuar, seperti dikutip dari Halloriau.com.

Mengefektifkan dana daerah memang perlu kerja sama semua pihak, termasuk masyarakat daerah yang bersangkutan. Masyarakat punya peran yang sangat besar agar dana daerah bisa maksimal digunakan untuk membangun daerahnya. “Masyarakat jangan memilih kembali pemimpin yang tak berkinerja baik,” kata Piter Abdullah. (Husni Isnaini/Ade Nyong La Thayeb/Efi Susiyanti)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6991 seconds (0.1#10.140)