Waspada, Jangan Mudah Terbujuk Propaganda Radikal Terorisme

Rabu, 12 Februari 2020 - 20:01 WIB
Waspada, Jangan Mudah...
Waspada, Jangan Mudah Terbujuk Propaganda Radikal Terorisme
A A A
JAKARTA - Kisah "hijrah" ratusan warga negara Indonesia (WNI) ke Negeri "Daulah Islamiyah" di Suriah di bawah naungan khilafah ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan, seperti janji-janji yang digaungkan kelompok Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS).

Banyak yang terperdaya dengan propaganda kelompok ISIS di berbagai media sosial (medsos) tentang ajakan hijrah ke Suriah. Mereka rela meninggalkan Tanah Air Indonesia, bahkan membakar paspor.

Namun yang terjadi saat ini kondisinya justru menyedihkan akibat nasib yang tidak menentu seiring runtuhnya ISIS. Ketika "khilafah" telah hilang, mereka berharap untuk bisa kembali pulang ke Indonesia.

Namun Pemerintah Indonesia pada Selasa 11 Feburuari 2020 telah memutuskan tidak memulangkan eks WNI-nya yang ada di Suriah.

Berkaca dari apa yang dialami eks WNI anggota ISIS di Suriah, pakar hukum internasional, Prof Hikmahanto Juwana meminta asyarakat Indonesia menjadikan kasus tersebut sebagai pelajaran agar tidak mudah termakan bujuk rayu dan propaganda dari kelompok radikal terorisme ketika ada ajakan untuk hijrah ke negeri khilafah.

“Saya berharap masyarakat kita ini benar-benar paham betul adanya iming-iming untuk hidup lebih baik, lalu bisa masuk surga ternyata tidak benar. Urusan masuk surga tentunya keputusan dari Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujar Hikmahanto di Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Warga negara Indonesia, kata dia, harus bisa bersyukur dnegan kondisi bangsa saat ini. Melalu kondisi negara penuh keragaman seperti sekarang ini, masyarakat bisa hidup damai. Tidak perlu lagi berpikir untuk berhijrah dan lain sebagainya.

“ISIS itu sudah tidak ada apa-apanya lagi. Mudah-mudahan masyarakat tidak mudah tergoda dan terus menjadi warga negara Indonesia yang baik, bisa menjaga perdamaian. Jangan kemudian bersentuhan dengan hal-hal berkaitan terorisme,” tutur Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. (Baca Juga: Presiden Jokowi Gunakan Istilah ISIS Eks WNI)

Dia juga mengimbau masyarakat memperkuat resilience (ketahanan) agar tidak mudah percaya propaganda kelompok-kelompok yang menentang ideologi bangsa.

Melalui ketahanan, kata dia, masyarakat bisa melihat secara jernih setiap informasi yang diterima. Realistis atau tidak, termasuk untung dan ruginya.

Bila perlu, sambung dia, masyarakat bisa berkonsultasi dengan orang yang lebih mengetahui persoalan ini. Misalnya tokoh agama atau bertanya langsung kepada aparat pemerintah maupun aparat hukum.

Seluruh komponen pemerintah, kata dia, juga harus ikut berperan aktif untuk menguatkan ketahanan masyarakat. “Pemerintah mungkin melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga harus mengencarkan soasialisasi ke masyarakat bahwa menjadi Warga Negara Indonesia ini adalah sebuah kebanggaan,” tutur anggota kelompok ahli BNPT bidang Hukum Internasional ini.

Mengenai wacana pemulangan eks WNI yang sebelumnya gencar diberitakan, Hikmahanto mengatakan landasan negara untuk menyikapi kebijakan untuk memulangkan atau tidaknya tentu didasarkan terhadap mereka mereka yang bergabung pada ISIS ini merupakan WNI atau bukan. Apabila bukan lagi WNI, tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk memulangkan.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 sudah disebutkan bahwa seseorang bisa secara otomatis kehilangan kewarganegaraan apabila memenuhi beberapa kualifikasi.

“Ada dua kualifikasi yang utama. Pertama, dalam Pasal 23 huruf d, yakni kalau mereka ikut di dalam dinas tentara asing. Di situ bukan disebut negara. Jadi ikut tentara asing. Yang dimaksud tentara asing ini bisa pemberontak mungkin dan lain sebagainya,” tuturnya.

Kedua, Pasal 23 huruf f, yakni apabila mereka mengangkat sumpah untuk setia kepada sebuah negara atau bagian dari negara. Menurut dia, ISIS ini merupakan pemberontak dan merupakan bagian dari negara serta eks WNI itu sudah mengucap sumpah setia maka sudah kehilangan kewarganegaraan.

“Atas dasar ini kalau mereka kehilangan kewarganegaraan maka tentu mereka sudah tidak lagi menjadi kewajiban Pemerintah Indonesia untuk mengembalikan mereka ataupun melindungi mereka. Tidak ada itu,” ujarnya.

Mengenai anak-anak yang berada di Suriah, menurut dia, perlu didalami apakah mereka ikut sebagai tentara atau tidak. Sebab biasanya dalam kelompok teroris, cuci otak juga dilakukan kepada kelompok usia belia.

"Kita harus tahu terlebih dahulu seberapa terpapar anak-anak ini. Belum lagi kalau anak ini harus kembali ke Indonesia, sementara orang tuanya tidak dikembalikan. Berarti anak itu nanti bisa merasa bahwa dia dipisahkan secara paksa oleh pemerintah dalam hal ini pemerintah Indonesia. Itu nantinya akan memunculkan dendam. Yang pasti nantinya juga akan menyulitkan pemerintah sendiri,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2929 seconds (0.1#10.140)