Melacak Musnahnya Suku Taino di Pulau Hispanola (20-bersambung)
A
A
A
Selain mendapat sambutan hangat dari angkatan laut Republik Dominika dan Klub Lebanese, Syrio dan Palestino Republik Dominika, pendaratan Kapal Phoenicia of Southampton juga mendapat perhatian luas dari media lokal. Bahkan koran umum nasional, El Nacional berbahasa Spanyol mengulas Phoenicia Before Columbus, di halaman utamanya.
Warga lokal pun banyak yang penasaran akan rupa bentuk Kapal Phoenicia yang sedang berlabuh di pangkalan Angkatan Laut Republik Dominika, San Souci, ST Domingos.
Paling tidak terdapat belasan pengunjung saban harinya ke kapal milik Philip Beale itu. Salah satu pengunjung, Kin Sanchez, yang merupakan sejarawan dari Cluster Turistico Santo Domingo Inc, bercerita bahwa Samana (semenanjung di utara Pulau Hispanola) disebut berasal dari kata Phoenicia ‘Zamana’.
"Zamana berarti kepala atau Kapten Kapal. Dan itu berasal dari kata Pheonicia, yang berarti kapten kapal. Karena suku Taino tidak mengenal huruf ‘Z’ sehingga berubah menjadi Samana," jelas Kin.
Ketika ditanya soal adakah bukti terkait hal itu? Dia mengatakan cerita Samana itu hanya dituturkan dari generasi ke generasi. "Tidak ada bukti seperti prasasti atau sejenis yang membuktikan cerita itu," kata Kin. Namun begitu, Kin memperkuat argumennya tentang asal-usul kata Samana, dengan mengutip buku berjudul "Samana Pasado V Porvenir" karangan Emmilo Ro Duiz, terbitan 1945.
Cerita tentang sejarah penamaan Samana juga datang dari pengunjung bernama Pedro Farias. Namun, antropolog ini memiliki pendapat berbeda tentang asal usul kata Samana. "Tidak ada bukti kuat bahwa Samana itu berasal dari bahasa Phoenicia," kata Pedro.
Meski membantah, tapi dia mengatakan jika kami sampai di sini dengan replika kapal Phoenicia, maka besar kemungkinan bangsa Phoenicia juga telah sampai di kawasan Amerika atau tepatnya pulau Hispanola, 600 tahun sebelum masehi. "Kalian telah membuktikannya," kata dia.
Menurut Pedro, suku Taino yang pernah bermukim di semenanjung itu, kini sudah tidak bisa ditemukan lagi. "Suku Taino sudah tidak ada lagi, sehingga tidak bisa kita cari tahu lagi apakah penuturan itu (penamaan Samana) benar-benar berasal dari bangsa Phoenicia," ujar Pedro.
"Jadi sudah tidak ada suku Taino yang tinggal di pulau Hispanola ini," selidik saya.
"Hanya DNA-nya saja yang tersisa di penduduk Hispanola. Sebab, setelah Cristopher Columbus mendarat dan membangun kota di ST Domingos, perlahan-lahan suku Taino tersisih dan punah," jelas Pedro.
Pedro mengungkapkan, kedatangan bangsa Spanyol diduga melakukan genoside terhadap suku asli pulau Hispanola. Pendapat itu juga didukung oleh Kin Sanchez. "Memang, kita tidak bisa menemukan lagi peninggalan suku Taino baik permukimannya maupun orang yang tersisa," kata Kin.
Menurut penuturan Kin, sepanjang pengamatannya, kota ST Domingos yang dibangun pada 1496 oleh adik Cristopher Columbus, Bertholomew Columbus, tidak menyisakan satu pun peninggalan suku Taino. Yang ada hanya peninggalan bangsa Spanyol, dan kota itu malah menjadi kota kolonial pertama di dunia.
Bahkan, kota yang diberi nama oleh Ratu Isabela dari Spanyol pada 1495 itu, dinyatakan sebagai warisan dunia oleh Unesco. Predikat itu disematkan, lantaran kota ini menjadi antitesi dari kota-kota di Spanyol saat itu.
"Kita tahu, bahwa kota-kota Spanyol itu lebih dipengaruhi oleh budaya Arab, di mana jalan-jalannya sempit hanya lebar dua meteran. Nah, di kota inilah (ST Domingos) pertama kali mereka membangun jalan dengan lebar lebih dari tiga hingga empat meter," kata Kin.
Ia menjelaskan, Spanyol yang baru saja bebas dari pengaruh kekuasaan Arab pada 1492, membuat kota ST Domingos sebagai kota rekayasan Spanyol pertama. "Dengan jalan-jalan berbahu dan lebar membuat angin laut berhembus leluasa ke kota, sehingga kota lebih adem," kata dia.
Memang, jika diperhatikan jalan-jalan di zona kolonial ST Domingos memiliki lebar hingga lima meter, sehingga bisa dilalui kendaraan roda empat. Kota tua tersebut juga dilengkapi dengan katedral pertama di kawasan Karibia, yakni Katedral San Fransisco yang dibangun pada 1543.
Adapun Istana Virreinal De Diego Colon dengan pelataran Espana, merupakan bangunan terakhir yang menjadi istana bagi Raja Hispanola pertama, yakni Diego Colombus.
Anak dari Cristopher Columbus tersebut sekaligus menjadi raja pertama di kawasan Karibia. Dan, tentunya bangunan istana tersebut menjadi saksi bisu hilangnya suku Taino di atas kejayaan wangsa Columbus.
Meski nyaris tak meninggalkan jejak, tapi menurut Kin, ada peninggalan suku Taino yang dapat dinikmati dunia saat ini, yakni cerutu dan hammock (tempat tidur gantung). Kebiasaan mengisap cerutu, berasal dari Suku Taino yang mengisap lintingan daun tembakau untuk menyembah dewa-dewa mereka.
"Jadi mengisap tembakau bagi Taino bukan untuk kesenangan, tapi untuk menyembah dewa mereka," ujar Kin.
Sedangkan peninggalan suku Taino berupa Hammock, lantaran pelaut-pelaut Spanyol pulang dengan membawa Hammock. "Dan mulai saat itu pelaut menggunakannya untuk tempat tidur," kata Kin yang juga menegaskan Hammock membuat istrahat pelaut di kapal lebih nyaman.
Untuk pendapat yang terakhir ini, kami para kru kapal Phoenicia sedikit mendebatkan. Pasalnya, kami yang tidur menggunakan hammock saat berada di kapal, malah merasakan ayunan lebih kencang dan membuat mabuk laut. Akibatnya banyak kru yang memilih tidur di lantai kabin.
Warga lokal pun banyak yang penasaran akan rupa bentuk Kapal Phoenicia yang sedang berlabuh di pangkalan Angkatan Laut Republik Dominika, San Souci, ST Domingos.
Paling tidak terdapat belasan pengunjung saban harinya ke kapal milik Philip Beale itu. Salah satu pengunjung, Kin Sanchez, yang merupakan sejarawan dari Cluster Turistico Santo Domingo Inc, bercerita bahwa Samana (semenanjung di utara Pulau Hispanola) disebut berasal dari kata Phoenicia ‘Zamana’.
"Zamana berarti kepala atau Kapten Kapal. Dan itu berasal dari kata Pheonicia, yang berarti kapten kapal. Karena suku Taino tidak mengenal huruf ‘Z’ sehingga berubah menjadi Samana," jelas Kin.
Ketika ditanya soal adakah bukti terkait hal itu? Dia mengatakan cerita Samana itu hanya dituturkan dari generasi ke generasi. "Tidak ada bukti seperti prasasti atau sejenis yang membuktikan cerita itu," kata Kin. Namun begitu, Kin memperkuat argumennya tentang asal-usul kata Samana, dengan mengutip buku berjudul "Samana Pasado V Porvenir" karangan Emmilo Ro Duiz, terbitan 1945.
Cerita tentang sejarah penamaan Samana juga datang dari pengunjung bernama Pedro Farias. Namun, antropolog ini memiliki pendapat berbeda tentang asal usul kata Samana. "Tidak ada bukti kuat bahwa Samana itu berasal dari bahasa Phoenicia," kata Pedro.
Meski membantah, tapi dia mengatakan jika kami sampai di sini dengan replika kapal Phoenicia, maka besar kemungkinan bangsa Phoenicia juga telah sampai di kawasan Amerika atau tepatnya pulau Hispanola, 600 tahun sebelum masehi. "Kalian telah membuktikannya," kata dia.
Menurut Pedro, suku Taino yang pernah bermukim di semenanjung itu, kini sudah tidak bisa ditemukan lagi. "Suku Taino sudah tidak ada lagi, sehingga tidak bisa kita cari tahu lagi apakah penuturan itu (penamaan Samana) benar-benar berasal dari bangsa Phoenicia," ujar Pedro.
"Jadi sudah tidak ada suku Taino yang tinggal di pulau Hispanola ini," selidik saya.
"Hanya DNA-nya saja yang tersisa di penduduk Hispanola. Sebab, setelah Cristopher Columbus mendarat dan membangun kota di ST Domingos, perlahan-lahan suku Taino tersisih dan punah," jelas Pedro.
Pedro mengungkapkan, kedatangan bangsa Spanyol diduga melakukan genoside terhadap suku asli pulau Hispanola. Pendapat itu juga didukung oleh Kin Sanchez. "Memang, kita tidak bisa menemukan lagi peninggalan suku Taino baik permukimannya maupun orang yang tersisa," kata Kin.
Menurut penuturan Kin, sepanjang pengamatannya, kota ST Domingos yang dibangun pada 1496 oleh adik Cristopher Columbus, Bertholomew Columbus, tidak menyisakan satu pun peninggalan suku Taino. Yang ada hanya peninggalan bangsa Spanyol, dan kota itu malah menjadi kota kolonial pertama di dunia.
Bahkan, kota yang diberi nama oleh Ratu Isabela dari Spanyol pada 1495 itu, dinyatakan sebagai warisan dunia oleh Unesco. Predikat itu disematkan, lantaran kota ini menjadi antitesi dari kota-kota di Spanyol saat itu.
"Kita tahu, bahwa kota-kota Spanyol itu lebih dipengaruhi oleh budaya Arab, di mana jalan-jalannya sempit hanya lebar dua meteran. Nah, di kota inilah (ST Domingos) pertama kali mereka membangun jalan dengan lebar lebih dari tiga hingga empat meter," kata Kin.
Ia menjelaskan, Spanyol yang baru saja bebas dari pengaruh kekuasaan Arab pada 1492, membuat kota ST Domingos sebagai kota rekayasan Spanyol pertama. "Dengan jalan-jalan berbahu dan lebar membuat angin laut berhembus leluasa ke kota, sehingga kota lebih adem," kata dia.
Memang, jika diperhatikan jalan-jalan di zona kolonial ST Domingos memiliki lebar hingga lima meter, sehingga bisa dilalui kendaraan roda empat. Kota tua tersebut juga dilengkapi dengan katedral pertama di kawasan Karibia, yakni Katedral San Fransisco yang dibangun pada 1543.
Adapun Istana Virreinal De Diego Colon dengan pelataran Espana, merupakan bangunan terakhir yang menjadi istana bagi Raja Hispanola pertama, yakni Diego Colombus.
Anak dari Cristopher Columbus tersebut sekaligus menjadi raja pertama di kawasan Karibia. Dan, tentunya bangunan istana tersebut menjadi saksi bisu hilangnya suku Taino di atas kejayaan wangsa Columbus.
Meski nyaris tak meninggalkan jejak, tapi menurut Kin, ada peninggalan suku Taino yang dapat dinikmati dunia saat ini, yakni cerutu dan hammock (tempat tidur gantung). Kebiasaan mengisap cerutu, berasal dari Suku Taino yang mengisap lintingan daun tembakau untuk menyembah dewa-dewa mereka.
"Jadi mengisap tembakau bagi Taino bukan untuk kesenangan, tapi untuk menyembah dewa mereka," ujar Kin.
Sedangkan peninggalan suku Taino berupa Hammock, lantaran pelaut-pelaut Spanyol pulang dengan membawa Hammock. "Dan mulai saat itu pelaut menggunakannya untuk tempat tidur," kata Kin yang juga menegaskan Hammock membuat istrahat pelaut di kapal lebih nyaman.
Untuk pendapat yang terakhir ini, kami para kru kapal Phoenicia sedikit mendebatkan. Pasalnya, kami yang tidur menggunakan hammock saat berada di kapal, malah merasakan ayunan lebih kencang dan membuat mabuk laut. Akibatnya banyak kru yang memilih tidur di lantai kabin.
(maf)