Suara 'Krak' Tiang Layar Hantui Kru Kapal (18-bersambung)

Minggu, 09 Februari 2020 - 06:27 WIB
Suara Krak Tiang Layar Hantui Kru Kapal (18-bersambung)
Suara 'Krak' Tiang Layar Hantui Kru Kapal (18-bersambung)
A A A
Kapal Phoenicia melaju dengan kecepatan 4-5 knot selama 15 hari terhitung dari titik 21 lintang utara dan 20 bujur barat. Angin Sahara Barat secara ajeg kecepatan 20-25 knot. Bahkan, sejak memasuki 30 derajat bujur barat gerimis hingga hujan lebat kerap membasahi awak kapal yang sedang bertugas.

"Kita harus lebih waspada perubahan angin berserta kecepatannya yang ditandai oleh pergerakan awan komulonimbus pembawa hujan," seru Philip sang kapten kepada Steiner Lillas dan Charlie Beale selaku pimpinan jaga. Pesan itu berdasarkan pengalaman bahwa setiap awan itu berembus di sekitaran kapal, angin pun meningkat kecepatannya dan kadang berubah arah.

Tidak sekali dua kali, layar utama berbalik arah karena kru pemegang kemudi kurang waspada. Tiga grup jaga pernah mengalaminya. Jika layar berbalik atau tidak makan angin, dengan sendirinya pembahun (bingkai atas layar) akan menyentak tiang layar. Akibat terburuknya tiang layar dari kayu Alepo Pine itu bisa patah. "Kalau layar tidak makan angin, segera hidupkan mesin untuk mengarahkan kapal hingga layar kembali makan angin," jelas Philip.

Tapi, karena sering tidak makan angin, maka diputuskan untuk menggunakan dua kemudi yakni kemudi lambung kanan dan kiri. Artinya perlu dua orang sekaligus untuk melakukan itu. Selain untuk lebih waspada akan arah angin, Sudirman berinisiatif membuat bendera arah angin dari kantung plastik bekas. Bendera itu dipasang di pojok kiri atap kabin utama.

Tadinya pemegang kemudi hanya mengandalkan bendera Jack Union (Bendera Inggris Raya ) yang terpancang di tiang sebelah kanan. Tapi bendera itu sering tersangkut, sehingga tidak memberikan kejelasan akan arah angin. Selain itu, Sudirman menambah empat temberang (tali penguat layar) tambahan yang terhubung dengan pembahun dan tiang layar.

Sayangnya, saat angin mereda seiring dengan berlalunya hujan yang dibawa angin, kecepatan angin berkurang dan arah gelombang tidak menentu, sehingga guncangan kapal kian terasa. Pagi ke-20 di laut, ketika hujan baru saja berlalu terdengar suara keras, "Krak…" dari arah tiang layar. Sontak saja suara seperti kayu patah itu membuat cemas kru kapal.

Namun, saat tiang layar diperiksa tidak ada tanda-tanda rekahan atau retakan baru. Philip pun saat dilaporkan tidak terlalu cemas, dan dia mengira itu hanya suara papan geladak yang berderak akibat desakan dari tiang layar.

Tiang layar ini sendiri, sebenarnya sudah disarankan oleh Nick Burningham sang perancang kapal untuk diganti. Tapi, Philip berkilah susah mencari kayu Alepo Pine. Alhasil, untuk memperkuat tiang layar, Sudirman menambah dua balok setinggi empat meter, dan itu sudah melegakan Philip. Tak lama setelah itu, angin Sahara Barat kembali bersahabat dengan kecepatan 20-25 knot.

Tak hanya tiang layar yang mengkhawatirkan, persediaan bahan makan juga mencemaskan para kru. Pasalnya, Yuri menilai beras, tepung, gula yang tersimpan di drum ukuran 200 liter sudah terkontaniminasi dengan solar. Padahal, drum bekas tempat solar itu sudah dicuci 10 kali dengan sabun saat kami di Chartage, tiga bulan yang lalu. "Tepung terigu sudah terkotamininasi dengan molekul solar," lapor Yuri cemas.

"Dengan solar mungkin akan menambah tenaga kita untuk memompa air bilge," seloroh Philip. Kondisi ini pun membuat kru terbagi dua. Kru yang tidak khawatir dengan masalah bahan makanan terkontaminasi oleh solar, adalah Philip, Maran, Dirman, Max , Remi, David dan saya sendiri. Sedangkan selebihnya tidak menyentuh makanan yang terbuat dari bahan makanan dari drum tersebut.

Syukurnya, kami masih menyisakan 10 kg beras, 15 kg pasta, 10 kg kuskus, dan dua dus mie instan makanan yang tidak tersimpan di drum 200 liter tersebut. Sedangkan di drum yang terkena solar masih menyisakan 15 kg tepung terigu, 10 kg beras, 5 kg gula, dan 12 Kg pasta. "Dokter saja yang belajar kesehatan manusia selama 5 tahun tidak mengkhawatirkannya," ujar saya sekenanya.

"Ini masalah pilihan standar kesehatan hidup," kata Yuri.

"Tapi, dalam kondisi di tengah laut ini kita tidak pilihan," timpal Maran.

"Baiklah saya hanya tidak memakan makanan yang terbuat dari tepung yang sudah terkontaminasi dengan solar," lanjut Maran. Memang, setelah dicium roti atau kue yang terbuat dari tepung terigu yang berasal dari drum tersebut sedikit berasa solar.

Di tengah kecemasan akan tiang layar dan stok makanan yang terkena solar, Philip menerima kabar dari kantor pusatnya, bahwa kami diminta untuk berlabuh di ST Domingos, Ibu Kota Republik Dominika, guna mengurus visa Amerika.

"Dari 11 kru yang akan melanjutkan ke Miami AS, hanya lima orang yang memegang visa Amerika," kata dia.

Mereka adalah Philip Beale, Dederik Capelen, Yuri Sanada dan dua kru baru yang akan bergabung di ST Domingos. Selain pesan itu, Philip juga menerima pesan bahwa Pemilu Inggris dimenangkan oleh Partai Konservatif.

"Kalau mereka menang, sudah pasti Brexit. Dan kalau itu terjadi, Skotlandia, Wales dan Irlandia Selatan akan meminta merdeka,” jelas Philip yang berkewarganegaraan Inggris. Sebagai wujud kesedihannya akan keruntuhan Inggris Raya tersebut, diungkapkan Philip dengan menggerek bendera Jack Union setengah tiang selama satu hari penuh.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5271 seconds (0.1#10.140)