Media Sosial Kian Tak Dipercaya, Kepercayaan ke Media Mainsteram Naik

Sabtu, 08 Februari 2020 - 06:05 WIB
Media Sosial Kian Tak Dipercaya, Kepercayaan ke Media Mainsteram Naik
Media Sosial Kian Tak Dipercaya, Kepercayaan ke Media Mainsteram Naik
A A A
JAKARTA - Awal pekan ini penulis novel horor asal Amerika Serikat (AS) Stephen King tiba-tiba mengumumkan penghapusan akun Facebook miliknya. King menilai kebijakan Facebook yang mengizinkan iklan politik membuat dia sangat kecewa. Dia tidak ingin terus terpapar berita bohong, provokasi, serta data pribadinya bocor.Penulis legendaris tersebut telah siap hidup tanpa jejaring sosial Facebook (FB) meski telah memiliki pengikut sebanyak 5,6 juta. Baginya, kebijakan Facebook memperbolehkan iklan politik sama halnya membuka politikus untuk membohongi publik. “Sayakeluar dari Facebook,” kata King seperti dilansir CNN. Tak hanya King, selama awal 2020 ini setidaknya ada dua pesohor lain yang memutuskan berhenti dengan media sosial. Pada awal Januari lalu, CEO Air Asia Tony Fernandes memutuskan menutup akun Twitter-nya karena menilai jejaring sosial itu menjadi ajang kemarahan dan kebencian.

Sinyal ketidakcocokan Tony pada media sosial sebenarnya telah muncul sejak Maret 2019 lalu ketika Facebook tidak hati-hati turut menayangkan livestreaming penembakan disebuah masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, yang menewaskan 49 orang.

Setelah benar-benar jengah dengan konten di media sosial, dia akhirnya menutup rapat akun Twitter pada Januari meski telah memiliki followers cukupbanyak yakni 1,3 juta. Pada 12 Januari lalu, aktor film Star Wars Mark Hamill juga menutup akun FB karena kecewa dengan kebijakan iklan politik. Dia mengkritik Chief Executive Officer Facebook Mark Zuckerberg yang lebih mementingkan keuntungan materi dibandingkan kebenarann.

Menurut Hamill, kolom advertorial Facebook menjadi sarang kampanye tidak sehat para politisi di AS menjelang kontes politik tahun ini. Dia mendesak platform yang diciptakan pada 2004 dan mulai populer di dunia pada 2008 itu mengambil tindakan demi mencegah kampanye negatif di dunia maya.

Namun, Facebook mengabaikannya dan tetap mempertahankan kebijakan sebelumnya. Zuckerberg menegaskan publik memiliki hak untuk menilai apa yang dikatakan politikus. “Saya tidak pikir sebagian orang ingin tinggal dimana kamu bisa mengunggah apapun, dimana perusahaan teknologi menilai hal itu 100% benar,” kata Zuckerberg.

Tren ketidakpercayaan publik terhadap berbagai platform media sosial meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Dalam sebuah survei yang dilaksanakan Tech.pinions, perusahaan media dan teknologi, menyatakan satu dari 10 orang Amerika Serikat menghapus akun Facebook mereka. Kemudian, 35% responden jarang menggunakan akun Facebook yang dimilikinya. Mengapa mereka memilih keluar dari Facebook? Sebagian responden menyatakan perhatian mereka terhadap pencurian data.

Di Indonesia, sejumlah tokoh dan artis juga memutuskan tidak memiliki akun media sosial karena merasa bisa hidup lebih tenang dan berpikir jernih. Ini antara lain dilakukan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Tinggi Nadiem Makarim. Mantan bos Gojek ini resmi tidak memiliki akun media sosial sejak 2017 lalu.

Namun, aktris yang juga penyanyi Della Puspita menilai dengan kesibuk an kesehariannya, orang membutuhkan media sosial untuk bisa lebih berinteraksi lagi satu sama lain. “Dari bermacam jenis medsos, saya hanya pilih salah satu saja yang tidak terlalu ribet dan seru. Dengan media sosial saya bisa berinteraksi, menjaga keakraban, berkomunikasi sama keluarga teman dan orang yang dicintai,” katadia.

Musikus Adi Adrian mengakui media sosial memiliki banyak hal atau pengaruh negatif jika informasi yang disebarkan tidak mempunyai sumber yang dapat dipertanggungjawab kan kebenarannya. Oleh kare na itu, seharusnya masyarakat lebih bijak dan mengecek keakurasian informasi dibanyaknya platform med sos yang terus berkembang cepat saat ini.

Kepercayaan Publik Media Mainstream Naik

Kian tergerusnya kualitas data dan lemahnya perlindungan data privasi pengguna media sosial perlahan memengaruhi kepercayaan publik atas platform ini. Bahkan, survei terhadap media di Indonesia yang dilakukan sejumlah lembaga seperti Dewan Pers menunjukkan bahwa tren kepercayaan publik terhadap media arus utama(mainstream) telah meningkat hingga meninggalkan posisi media sosial. Padahal pada kurun 2014-2015, kepercayaan media sosial mengalahkan media mainstream seperti koran, televisi, radio, dan media daring. Keberhasilan media mainstream memulihkan kepercayaan publik ini karena menguatkan sajian informasinya dengan data dan fakta yang berkualitas.

Bagi Ketua Dewan Pers Mohamad Nuh, prinsip dasar dari sebuah layanan, produk barang atau lainnya yakni kualitas. Dengan kualitas yang terjaga dengan baik maka akan memperkuat atau meningkatkan kepercayaan konsumen. Demikian juga di dunia media, sepanjang di dunia media itu termasuk media mainstream, tidak bisa menunjukkan kualitasnya, maka akan ditinggal. “Tapi sebaliknya, dunia media termasuk media mainstream itu kalau bisa menunjukkan kualitasnya, akurasinya, tingkat kebenarannya maka tentu akan menjadi rujukan,” ujar M Nuh.

Mantanmenteripendidikandankebudayaanitumengatakanbahwasebuahmediatermasukmedsoskalautingkatakurasinyatidakbisadipegangkarenatidakadayangbertanggungjawabdantidakbisadipertanggungjawabkanmakaakanditinggal.Untukmenangkalmarak-nyaberitahoaks,mantanrektorInstitutTeknologiSepuluhNopem-beritu mendorong pemerintah dan juga media- media resmi, termasuk media daring yang kredibel banyak mengisi ruang-ruang pemberitaan, termasuk dalam menghadapi percaturan politik pilkada serentak di 270 kabupaten/kota dan provinsi yang sudah di depan mata.

Pakar new media Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung Dedi Supriadi mengatakan, kecenderungan orang tidak suka dengan media sosial terjadi di masyarakat yang memiliki literasi media yang tinggi dan kebiasaan membaca yang besar. Untuk menyikapi perkembangan platform medsos, orang perlu memiliki critical thinking. “Ini PR (pekerjaan rumah) sebenarnya, yang harus mulai dibiasakan di bangku sekolah melalui kurikulum yang tepat,” ungkapnya.

Pakar marketing Yuswohady menyatakan, sejak lima tahun belakangan, hadirnya platform media sosial merupakan ajang pengujian bagi seseorang karena media tersebut akan menunjukkan fungsi yang sesungguhnya.

Pengamat telekomunikasi dari Information Communication and Technology (ICT) Institute Heru Sutadi berpendapat, untuk mendapatkan informasi akurat atau berita yang buka nhoaks, warganet yang cerdas pasti akan crosscheck melalui media-media mainstream. “Nah, disitulah fungsi media berita,” ungkapnya.

Sementara itu, pengamat komunikasi dan budaya digital Firman Kurniawan mengatakan, banyaknya tokoh selebritas atau tokoh bisnis yang meninggalkan media sosial tidak lain karena adanya energi negatif yang ditimbulkan akibat medsos.

Menurut pendiri LITEROS.org tersebut, ada tiga energi negatif yang bisa timbul dari media sosial. Per-tama, energi negatif yang menyerang pribadi yang berujung perundungan(bullying). Kedua, energi negatif yang ditimbulkan oleh keluh kesah oleh para pengguna media sosial. Ketiga, energi negatif yang ditimbulkan oleh pertengkaran dan perdebatan antar pengguna. (Ichsan Amin/Inda Susanti/Muh Shamil/Andika/Agus Warsudi/Abdul Rochim/Thomas Manggala)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7970 seconds (0.1#10.140)