Pulangkan Penyidik, Bambang Sebut Pimpinan KPK Langgar Kode Etik

Rabu, 05 Februari 2020 - 20:35 WIB
Pulangkan Penyidik, Bambang Sebut Pimpinan KPK Langgar Kode Etik
Pulangkan Penyidik, Bambang Sebut Pimpinan KPK Langgar Kode Etik
A A A
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menilai tindakan pimpinan KPK secara sepihak memulangkan penyidik Rossa Purbo Bekti ke Mabes Polri sebagai tindakan yang terindikasi melanggar kode etik pimpinan KPK.

Bambang Widjojanto menyatakan, sebenarnya kilah, dalih, dan saling berbantahan tidak elok dan cendrung 'konyol' telah dipertontonkan di muka publik atas gonjang-ganjing pemulangan penyidik KPK Rossa Purbo Bekti ke Mabes Polri. Musababnya sampai saat ini tidak jelas apakah Rossa ditarik oleh Mabes Polri atau dipulangkan oleh KPK serta siapa inisiatornya dan apa alasannya.

Pria yang akrab disapa BW ini mengungkapkan, jika membaca berbagai pemberitaan media massa tampak jelas bahwa pihak Mabes Polri melalui Karo Penmas Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono menyatakan Rossa tidak ditarik Mabes Polri. Di sisi lain, Ketua KPK Firli Bahuri menyebutkan bahwa dua penyidik KPK asal Polri yakni Rossa dan Indra sudah dikembalikan ke Polri atas permintaan Polri.

"Siapa benar dan siapa bohong, atas pernyataan yang saling bertolak belakang itu? Yang jelas, sobat Rossa, eksistensi salah seorang Penyidik KPK tengah dikorbankan," kata BW kepada SINDOnews, Rabu (5/2/2020) siang.

Dia memaparkan, sebagaimana yang telah diakui KPK ternyata Rossa merupakan penyidik yang menangani kasus dugaan suap pengurusan pelolosan calon anggota legislatif dari PDIP Harun Masiku (tersangka pemberi suap) untuk menjadi anggota DPR pergantian antar waktu (PAW) di Komisi Pemilihan Umum (KPU). BW menggariskan, kasus dugaan suap yang melibatkan Harun Masiku dkk ini mendapatkan perhatian serius dari publik.

BW memaparkan, dengan melihat hal tersebut dan masa kerja tugas Rossa sebagai penyidik KPK baru selesai di September 2020, maka pertanyaan utamanya adalah mengapa Rosa justru harus dipulangkan. Bukankah, tutur dia, ada begitu banyak penyidik yang dimiliki Polri dan KPK sangat terbatas jumlah penyidiknya.

Menurut dia, jika silang sengkarut ini tidak segera diselesaikan dan Rossa terus dihambat untuk menjalankan fungsinya sebagai penyidik KPK maka yang tengah dikorbankan adalah upaya pemberantasan korupsi. Selain itu juga bisa dipastikan Harun Masiku akan 'terpingkal-pingkal' dan 'cekakakan' karena tidak bisa segera ditangkap.

"Apakah ini kesengajaan? Karena jika sinyalemen di atas kian tak terbantahkan, bukanlah ada pelanggaran atas sumpah dan janji yang diucapkan oleh setiap pimpinan KPK yang berjanji untuk senantiasa jujur dan obyektif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Selain itu, bukankah tindakan itu juga dapat dikualifikasi sebagai 'perbuatan tercela' yang dilarang dilakukan oleh pimpinan KPK sesuai Pasal 29 huruf f UU KPK," tegas BW.

Dia melanjutkan, pada situasi ini maka perlu dipertanyakan juga apa peran dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK? Bukankah Pasal 37B UU KPK menyatakan Dewas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Semestinya Dewas segera melakukan pemeriksaan etik dan mengungkap secara gamblang apakah ada indikasi kuat kebohongan yang diduga dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri dalam sengkarut ini.

"Tidak ada pilihan lain, Dewas harus hadir dan tidak bersembunyi dalam persemayamannya dalam sunyi atas sengkarut yang punya indikasi sebagai pelanggaran etik yang nampak jelas sekali seperti diatur di dalam Peraturan KPK No. 07 tahun 2013 tentang Nilai Dasar, Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK," ungkapnya.

BW berpandangan, indikasi kuat pelanggaran kode etik dan perilaku itu karena adanya pelanggaran pada butir 7, huruf B, integritas di angka I di mana nilai Dasar yang menyatakan insan KPK harus berperilaku jujur. Berikutnya butir 2, huruf C yang mengatur tentang keadilan di mana khusus untuk pimpinan mengambil putusan dengan pertimbangan yang obyektif, beradilan, dan tidak memihak. Kemudian butir 7, huruf D tentang profesionalitas yang menyatakan mengutamakan pelaksanaan tugas dari pada kepentingan pribadi. Terakhir butir 4, huruf E sehubungan dengan kepemimpinan yang menyatakan bahwa menilai kinerja orang yang dipimpinnya secara obyektif dengan kriteria yang jelas.

"Semoga Dewas berdaya dan kekuasaan tidak menjadi pandir, ponggah, dan menganggap remeh temeh soal ini. Karena ada pelanggaran etik atas indikasi aroma kebohongan yang dapat berakibat dikorbankannya Rossa penyidik KPK dan didekonstruksinya akuntabilitas upaya pemberantasan korupsi," ucapnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7054 seconds (0.1#10.140)