Tikus yang Merusak Kapal dan Logistik (15-bersambung)

Jum'at, 31 Januari 2020 - 06:35 WIB
Tikus yang Merusak Kapal...
Tikus yang Merusak Kapal dan Logistik (15-bersambung)
A A A
Selang lima jam sejak meninggalkan Marina San Miquel, angin Atlantik Utara bertiup sepoi-sepoi menuju selatan. Hal itu searah dengan haluan kapal kami 180 derajat, dan layar utama pun dikerek. Saat mesin dimatikan, papan navigasi elektronik menunjukkan kecepatan kapal hanya 2-3 knot. Tapi semua bersemangat menantikan angin Sahara Barat.

Malamnya, pendaran cahaya lampu dari Pulau La Stinga masih terlihat dari posisi kami sejauh 10 NM dari daratan. “Nikmati cahaya lampu kota terakhir. Setelah ini tidak melihat lagi hingga 30 hari mendatang,” kata Philip kepada krunya.

Sudah dua hari angin sepoi-sepoi dari timur laut dengan kecepatan 5 knot mengembus. Kondisi itu membuat Sheima kurang nyaman dan merasakan mabuk laut. Tapi dia tidak kurang akal. Sebagai pewaris DNA Phoenicia, dia menarikan tarian pengundang angin. “Ayo Baal (Dewa Tertinggi Phoenicia) Datangkanlah angin untuk kami,” dendang Sheima sambil meliuk-liukan badannya.

Bukan angin yang datang, malah tanda-tanda hewan pengerat yang kami temui. Tanda pertama adalah kotoron tikus ditemui di tempat penyimpanan makanan pokok. Selain itu, binatang pembawa penyakit pes itu menyisakan keratan di apel- apel yang tergantung di kabin. “Ini tanda yang buruk,” umpat Charlie.

Segera saja kami menyiapkan perangkap berupa lem tikus dan kotak penjepit yang dibeli di Tenerife. Sebenarnya masalah Tikus sudah terendus saat kami sandar di Marina San Miquel. Tapi, lem tikus dan kotak penjepit tidak berhasil mengelabui hewan pengerat itu, malah dokter Maran yang berkali-kali menginjak lem tikus. “ Nah, ibunya tikus terperangkap,” canda Steiner. Maran hanya tersenyum mendengarnya.

Hingga hari kelima, tikus masih merajalela, kotorannya di mana-mana, bahkan dua drum plastik berisi pasta berhasil dilubanginya. “Ini masalah besar dan tidak bisa dibiarkan,” kata Charlie.

Setelah itu kami menyortir makanan yang layak makan, dan tidak tersentuh oleh Tikus. Hasilnya, dari 30 kg apel yang dibawa, terdapat 2 kg apel terkerat oleh tikus dan 30 biskuit bungkus berhasil dibobol. Jika hewan itu tidak ditangkap segera, bisa jadi semua makanan kami dihajarnya, dan itu bisa memicu penyakit pes bagi Kru. “Ini tidak bisa dibiarkan. Apa yang harus kita lakukan. Dua perangkap sudah diletakkan di kapal tapi hasilnya nihil,” keluh Philip saat makan siang.

“Bagaimana kalau kita asapi kapal ini, seperti aksi monoksida,” saran saya Aziz. Usul tersebut banyak ditentang karena akan membawa bau solar pada semua perlengkapan dan pakaian kru. Sedangkan untuk mencucinya, hanya tersedia air laut. “Tapi harus ada yang kita lakukan,” kata Pilip.

Karena tidak ada pilihan, akhirnya Philip memutuskan untuk mengasapi seluruh kabin kapal dengan terlebih dahulu menutup semua jendela, pintu dan palka, serta lubang-lubang udara. Siang itu, 29 November 2019, kami menghidupkan mesin, generator dan pompa air solar. Semua saluran pembuangan pembakaran diarahkan ke dalam kabin.

Sambil menunggu dua jam pengasapan, tidak lupa kami mengeluarkan semua makanan segar, roti dan biskuit untuk diperiksa kelayakannya. Tapi, rupanya tikus-tikus lebih pintar dari kru Phoenicia. Entah di mana mereka bersembunyi, usai pengasapan tanda-tanda kehidupan dari tikus itu masih ada. Artinya upaya pengasapan itu gagal.

“Aku akan membuat perangkat dari ember, yang di atasnya ada lembaran kertas sebagai penjebak tikus,” kata Dirman. Perangkat serupa, kata dia, pernah berhasil mengelabui dua tikus di rumahnya, di Pengerungan, Jawa Timur, Indonesia. Hanya saja, setelah dua hari berlalu, walau tikus berhasil memakan umpan yang dibuat Sudirman, tapi hewan itu tidak terjatuh pada ember berisikan air.

Charlie pun membuat perangkat dengan baskom besar diganjal dengan pemantik berularkan tali. Di dalam baskom dipasang terbalik itu disediakan umpan berupa potongan keju, apel dan biskuit. “Setiap yang berjaga harus memastikan memegang benang ini untuk ditarik,” kata Charlie memberi penjelasan perangkap yang dia buat.

Tak mau kalah, Yuri juga membuat perangkap berupa kotak dengan pemantik. Jika tikus masuk dan menyentuh pemantik itu, maka pintu kotak itu akan tertutup dengan sendirinya. Awalnya dia meminta bantuan Dirman untuk membuat kotak tersebut, Tapi, Dirman lebih disibukkan dengan membuat temberang (tali penguat layar) tambahan. Alhasil, Yuri menyelesaikan sendiri kotak perangkap yang kemudian diberinya nama Mike Nigth Club.

“Kita punya tiga perangkap modern. Satu perangkap model Indonesia, satu perangkap model Inggris, dan satu perangkat Brazil. Kita tunggu siapa yang berhasil,” kata Philip.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0606 seconds (0.1#10.140)