Gapasdap Singgung Soal Keselamatan dan Kenyamanan Transportasi
A
A
A
JAKARTA - Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) kecewa penolakan penyesuaian tarif penyeberangan. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menolak usulan tarif baru disepakati sebesar 38 persen.
"Kemenhub tidak bersepakat dengan usulan penyesuaian tarif sebesar 38 persen. Padahal sudah tiga tahun ini tidak ada penyesuaian tarif penyeberangan," kata Dewan Penasihat Gapasdap, Bambang Haryo Soekartono, Sabtu (25/1/2020).
Bambang mengatakan, Kemenhub meminta penyesuaian tarif dicicil selama tiga tahun sejak ditetapkan. Artinya kementerian hanya setuju kenaikan tarif maksimal sebesar 12,7 persen berkala selama tiga tahun kedepan.
Tarif baru versi Kemenhub ini dianggap tidak relevan kondisi bisnis transportasi penyeberangan. Bambang menyebut, layanan penyeberangan memiliki standar tinggi tentang keselamatan dan kenyamanan penumpang.
"Ini menyangkut jaminan keselamatan dan kenyamanan transportasi penyeberangan kapal di sungai dan danau di Indonesia," ungkapnya.
Bambang menjelaskan, usulan tarif baru relatif kecil dan tidak membebani masyarakat. Menurutnya, tarif ini mampu memberikan dampak signifikan bagi keberlangsungan bisnis usaha penyeberangan.
Di sisi lain, tarif ini tidak berdampak ekonomi makro di Indonesia. Kajian ekonomi memperkirakan adanya kenaikan 0,15 persen komoditas primer.
"Beras misalnya Rp 10 ribu per kilogram. Penyesuaian tarif sebesar 38 persen maka kenaikannya berkisar Rp15 per kilogram," tuturnya.
Apalagi pembahasannya melibatkan stage holder terkait; pengusaha, Gapasdap, dan Kementerian Kemaritiman dan Investasi. Ketiganya pun bersepakat merumuskan kenaikan tarif sebesar 38 persen.
"Pembahasan penyesuaian tarif sudah dibahas sejak 1,5 tahun silam,” ungkap Bambang.
Perkembangan terbaru, Kementerian Maritim berbalik turut menentang
penyesuaian tarif. Kesimpulan itu tergambar perwakilan kementerian mengklaim belum mengantongi data angkutan penyeberangan.
"Data data sudah kami serahkan seluruhnya, pemerintah juga bisa meminta data PT ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan) Indonesia Ferry. Dua instansi ini saling lempar tanggung jawab," keluh Bambang.
Bambang menyatakan, PT ASDP semestinya memiliki data tentang kondisi industri transportasi penyeberangan di Indonesia. BUMN ini mengetahui detail kuantitas penumpang, tarif, sekaligus biaya operasional kapal.
"Mereka operator operator kapal dan juga memungut biaya kepelabuhanan," jelasnya.
Sebaliknya, Kementerian Maritim dituding bertanggung jawab penerbitan Instruksi Presiden Tentang Percepatan Kemudahan dan Berusaha. Kementerian ini menjadi motor pembahasan peraturan yang mengambat usaha dan perizinan bisnis penyeberangan.
"Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan," sesalnya.
Sehubungan itu, Bambang meminta pemerintah serius dalam penyelamatan industri transportasi penyeberangan sungai dan danau di Indonesia. Ia membandingkan kebijakan pemerintah yang cekatan mengurusi tarif transportasi online jadi tren saat ini.
"Lebih mempriotaskan yang mana antara transportasi online dan industri maritim? Presiden Joko Widodo pasti disalahkan bila logistik antar pulau menjadi terganggu di Indonesia," katanya.
"Kemenhub tidak bersepakat dengan usulan penyesuaian tarif sebesar 38 persen. Padahal sudah tiga tahun ini tidak ada penyesuaian tarif penyeberangan," kata Dewan Penasihat Gapasdap, Bambang Haryo Soekartono, Sabtu (25/1/2020).
Bambang mengatakan, Kemenhub meminta penyesuaian tarif dicicil selama tiga tahun sejak ditetapkan. Artinya kementerian hanya setuju kenaikan tarif maksimal sebesar 12,7 persen berkala selama tiga tahun kedepan.
Tarif baru versi Kemenhub ini dianggap tidak relevan kondisi bisnis transportasi penyeberangan. Bambang menyebut, layanan penyeberangan memiliki standar tinggi tentang keselamatan dan kenyamanan penumpang.
"Ini menyangkut jaminan keselamatan dan kenyamanan transportasi penyeberangan kapal di sungai dan danau di Indonesia," ungkapnya.
Bambang menjelaskan, usulan tarif baru relatif kecil dan tidak membebani masyarakat. Menurutnya, tarif ini mampu memberikan dampak signifikan bagi keberlangsungan bisnis usaha penyeberangan.
Di sisi lain, tarif ini tidak berdampak ekonomi makro di Indonesia. Kajian ekonomi memperkirakan adanya kenaikan 0,15 persen komoditas primer.
"Beras misalnya Rp 10 ribu per kilogram. Penyesuaian tarif sebesar 38 persen maka kenaikannya berkisar Rp15 per kilogram," tuturnya.
Apalagi pembahasannya melibatkan stage holder terkait; pengusaha, Gapasdap, dan Kementerian Kemaritiman dan Investasi. Ketiganya pun bersepakat merumuskan kenaikan tarif sebesar 38 persen.
"Pembahasan penyesuaian tarif sudah dibahas sejak 1,5 tahun silam,” ungkap Bambang.
Perkembangan terbaru, Kementerian Maritim berbalik turut menentang
penyesuaian tarif. Kesimpulan itu tergambar perwakilan kementerian mengklaim belum mengantongi data angkutan penyeberangan.
"Data data sudah kami serahkan seluruhnya, pemerintah juga bisa meminta data PT ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan) Indonesia Ferry. Dua instansi ini saling lempar tanggung jawab," keluh Bambang.
Bambang menyatakan, PT ASDP semestinya memiliki data tentang kondisi industri transportasi penyeberangan di Indonesia. BUMN ini mengetahui detail kuantitas penumpang, tarif, sekaligus biaya operasional kapal.
"Mereka operator operator kapal dan juga memungut biaya kepelabuhanan," jelasnya.
Sebaliknya, Kementerian Maritim dituding bertanggung jawab penerbitan Instruksi Presiden Tentang Percepatan Kemudahan dan Berusaha. Kementerian ini menjadi motor pembahasan peraturan yang mengambat usaha dan perizinan bisnis penyeberangan.
"Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan," sesalnya.
Sehubungan itu, Bambang meminta pemerintah serius dalam penyelamatan industri transportasi penyeberangan sungai dan danau di Indonesia. Ia membandingkan kebijakan pemerintah yang cekatan mengurusi tarif transportasi online jadi tren saat ini.
"Lebih mempriotaskan yang mana antara transportasi online dan industri maritim? Presiden Joko Widodo pasti disalahkan bila logistik antar pulau menjadi terganggu di Indonesia," katanya.
(maf)