Kikis Benih Intoleransi lewat Kampanye Pendamaian di Sekolah

Selasa, 21 Januari 2020 - 20:26 WIB
Kikis Benih Intoleransi...
Kikis Benih Intoleransi lewat Kampanye Pendamaian di Sekolah
A A A
JAKARTA - Institusi pendidikan seharusnya menjadi ruang sosial yang tidak hanya untuk transfer pengetahuan tetapi juga untuk pembinaan karakter.

Namun wabah intoleransi dan radikalisme masih menjadi "pekerjaan rumah" berat dalam dunia pendidikan, terutama di tingkat sekolah. Oleh karena itu, kasus intoleransi di sekolah perlu menjadi perhatian serius.

Ketua Lembaga Konsultasi untuk Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (LKP3A) Pengurus Pusat Fatayat NU, Riri Khairoh menjelaskan untuk mengikis bibit intoleransi salah satunya adalah dengan melakukan peninjauan terhadap kurikulumnya.

“Pertama, yang perlu ditinjau adalah kurikulum formalnya seperti apa. Apakah bahan ajar yang ada itu mengandung materi yang bisa menyebabkan siswa itu kemudian menjadi intoleran. Selama ini bahan ajar ini sudah melewati screening yang cukup panjang, tetapi kadang-kadang justru lolos dan ditemukan di lapangan itu adalah bukan bahan ajar nya, tapi bacaan pendampingnya, ujar Riri di Jakarta, Senin 20 Januari 2020.

Kendati demikian, menurut dia, selain pengawasan terhadap kurikulum pendidikan, penting juga untuk mewaspadai para guru atau tenaga pendidik agar tidak mengajarkan hal-hal yang bisa mengarah ke intoleransi.

Menurut dia, kalaupun bukunya sudah baik, tetapi kalau yang menyampaikan guru yang memiliki perspektif intoleran, maka justru itu yang akan ditransfer kepada murid-muridnya. Sebab, murid itu akan cenderung mengikuti apa yang dikatakan gurunya.

“Karena kalau gurunya bilang A, maka pasti muridnya juga akan mengikutinya. Nah menurut saya ini justru yang harus terus diawasi, bagaimana perspektif guru terkait dengan isu-isu intoleransi maupun radikalisme itu sendiri,” kata mantan komisoner Komisi Nasional (Komnas) Antikekerasan terhadap Perempuan periode 2015-2019 ini.

Oleh karena itu, sambung Riri, perlu ada upaya-upaya untuk mengikis benih intoleransi di sekolah seperti kampanye-kampanye perdamaian dan multikulturalisme. Karena sekolah yang lokasinya bukan di kota besar, biasanya homogen sehingga murid jarang mengenal yang misalnya di luar keimanan dia atau di luar sukunya dia.

“Penting untuk para pendidik membuka ruang seluas-luasnya buat anak didiknya untuk membuat ruang perjumpaan antara mereka yang berbeda-beda. Tujuannya agar anak didik mengerti bagaimana menghargai dan menghormati teman mereka yang berbeda. Sehingga sekolah itu tidak boleh eksklusif hanya untuk kelompok tertentu,” katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1191 seconds (0.1#10.140)