Perkuat Kapal Patroli, Bukan Perang
A
A
A
Indonesia segera berbelanja kapal patroli untuk ditempatkan di Laut Natuna Utara. Kabar ini disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melalui juru bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak di Jakarta Kamis (16/1).
Prabowo ingin memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan menambah jumlah armada coast guard. Anggaran pembelian kapal patroli tersebut pun dijanjikan segera dicairkan. Langkah Menhan memperbanyak armada kapal patroli ini patut diapresiasi.Memperkuat armada penjaga laut di Natuna Utara merupakan salah satu solusi terbaik dalam menjaga wilayah hak berdaulat Indonesia dari gangguan kapal asing, terutama China, yang kerap masuk untuk mencuri ikan.
Selama ini kapal patroli milik Bakamla dianggap tidak cukup kuat untuk menandingi kecanggihan coast guard milik China yang datang untuk mengawal kapal-kapal pencuri ikan mereka.
Memang Indonesia bisa saja mengerahkan kapal perang untuk menggertak coast guard China sebagaimana respons yang ditunjukkan saat ini. Ada tiga kapal perang dikirim ke Natuna, yakni KRI Karel Satsuit Tubun (KST) 356, KRI Usman Harun (USH) 359, dan KRI Jhon Lie 358. Namun, pertanyaannya, apa tepat kapal perang TNI AL dikerahkan ke wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang sejatinya “hanya” merupakan wilayah hak berdaulat Indonesia?
Bukankah kapal perang seharusnya hanya dikerahkan untuk mengamankan wilayah teritorial Indonesia? Dalam perkara ribut-ribut dengan China di Laut Natuna Utara ini memang banyak terjadi kerancuan dalam memahami antara hak berdaulat dan wilayah kedaulatan.
Di wilayah yang menjadi hak berdaulat kita, yang jaraknya 200 mil dari daratan terluar Indonesia, kapal asing dari negara mana pun pada dasarnya boleh saja melintas. Jikapun ingin menangkap ikan, kapal asing ini harus mendapatkan izin dari Indonesia.
Hak Indonesia atas Natuna Utara ini didasarkan pada United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Inilah dasar hukum internasional dalam penetapan batas ZEE.
Lain lagi jika bicara wilayah kedaulatan yang batasnya 12 mil dari pantai. Jika wilayah teritorial ini yang diganggu asing, memang sudah wajib hukumnya kita berperang. Adapun dalam konteks ketegangan di Laut Natuna Utara saat ini, belum terjadi pelanggaran atas kedaulatan Indonesia.
Kembali ke soal pembelian kapal patroli untuk Bakamla, memang sudah waktunya penguatan armada dilakukan. Bakamla sampai saat ini baru memiliki sekitar 40 unit kapal berbagai jenis. Jumlah ini minim untuk Indonesia sebagai negara kepulauan.
Dengan menambah armada patroli, Bakamla tidak lagi mudah kalah gertak dari coast guard China. Intinya, pendekatan seperti ini jauh lebih elegan ketimbang memanas-manasi diri untuk berperang.
Apalagi, jika dicermati, perkara yang muncul di Natuna Utara memang lebih dominan ke urusan perebutan sumber daya. Di wilayah ini potensi perikanannya lebih dari 1 juta ton per tahun. Belum lagi potensi minyak dan gas bumi.
Cadangan minyak diperkirakan mencapai lebih 14 juta barel, sedangkan gas bumi 112 juta barel. Siapa yang tidak tergiur dengan kekayaan alam itu?
China mengklaim wilayah ini karena didasarkan pada Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang mereka buat secara sepihak. Adapun terhadap UNCLOS 1982, mereka meratifikasi kendati tidak mau mengakuinya.
China mengklaim ZEE Indonesia dengan dasar peta Traditional Fish Ground mereka. Artinya, akan terus terjadi ketegangan antardua negara ini. Namun meskipun Laut Natuna Utara akan terus menjadi ganjalan dan memicu tensi panas Indonesia dengan China, itu tidak berarti perang adalah solusinya.
Maka itu pendekatan diplomasi tetap harus dikedepankan. China harus diajak berbicara agar bersedia menghormati Indonesia di Laut Natuna Utara.
Selain memperkuat armada patroli Bakamla, solusi lain untuk memperkuat klaim kita atas Natuna Utara adalah dengan memperbanyak nelayan tradisional kita di sana. Sudah tepat langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mendorong nelayan Indonesia untuk datang menangkap ikan di sana. Ini perlu terus dilakukan, tidak hanya ketika tensi dengan China memanas.
Kasus di Natuna Utara ini sudah selayaknya pula menyadarkan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan anggaran pertahanan Indonesia dalam APBN. Tampak ada korelasi antara lemahnya daya gertak kita di Natuna Utara dengan ketersediaan anggaran di APBN.
Jika pada 2019 anggaran pertahanan berjumlah Rp108,4 triliun, seharusnya ada penambahan dalam jumlah signifikan pada 2020 ini dengan memberi penguatan pada belanja armada untuk instansi di luar TNI, terutama Bakamla.
Selain itu ke depan peran Bakamla juga harus diperkuat, jangan lagi terus bergantung kepada TNI untuk mengamankan wilayah laut. Saatnya Bakamla harus menjadi lembaga mandiri, khususnya terkait dengan kepemilikan kapal dan peralatan pendukung lainnya.
Prabowo ingin memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan menambah jumlah armada coast guard. Anggaran pembelian kapal patroli tersebut pun dijanjikan segera dicairkan. Langkah Menhan memperbanyak armada kapal patroli ini patut diapresiasi.Memperkuat armada penjaga laut di Natuna Utara merupakan salah satu solusi terbaik dalam menjaga wilayah hak berdaulat Indonesia dari gangguan kapal asing, terutama China, yang kerap masuk untuk mencuri ikan.
Selama ini kapal patroli milik Bakamla dianggap tidak cukup kuat untuk menandingi kecanggihan coast guard milik China yang datang untuk mengawal kapal-kapal pencuri ikan mereka.
Memang Indonesia bisa saja mengerahkan kapal perang untuk menggertak coast guard China sebagaimana respons yang ditunjukkan saat ini. Ada tiga kapal perang dikirim ke Natuna, yakni KRI Karel Satsuit Tubun (KST) 356, KRI Usman Harun (USH) 359, dan KRI Jhon Lie 358. Namun, pertanyaannya, apa tepat kapal perang TNI AL dikerahkan ke wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang sejatinya “hanya” merupakan wilayah hak berdaulat Indonesia?
Bukankah kapal perang seharusnya hanya dikerahkan untuk mengamankan wilayah teritorial Indonesia? Dalam perkara ribut-ribut dengan China di Laut Natuna Utara ini memang banyak terjadi kerancuan dalam memahami antara hak berdaulat dan wilayah kedaulatan.
Di wilayah yang menjadi hak berdaulat kita, yang jaraknya 200 mil dari daratan terluar Indonesia, kapal asing dari negara mana pun pada dasarnya boleh saja melintas. Jikapun ingin menangkap ikan, kapal asing ini harus mendapatkan izin dari Indonesia.
Hak Indonesia atas Natuna Utara ini didasarkan pada United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Inilah dasar hukum internasional dalam penetapan batas ZEE.
Lain lagi jika bicara wilayah kedaulatan yang batasnya 12 mil dari pantai. Jika wilayah teritorial ini yang diganggu asing, memang sudah wajib hukumnya kita berperang. Adapun dalam konteks ketegangan di Laut Natuna Utara saat ini, belum terjadi pelanggaran atas kedaulatan Indonesia.
Kembali ke soal pembelian kapal patroli untuk Bakamla, memang sudah waktunya penguatan armada dilakukan. Bakamla sampai saat ini baru memiliki sekitar 40 unit kapal berbagai jenis. Jumlah ini minim untuk Indonesia sebagai negara kepulauan.
Dengan menambah armada patroli, Bakamla tidak lagi mudah kalah gertak dari coast guard China. Intinya, pendekatan seperti ini jauh lebih elegan ketimbang memanas-manasi diri untuk berperang.
Apalagi, jika dicermati, perkara yang muncul di Natuna Utara memang lebih dominan ke urusan perebutan sumber daya. Di wilayah ini potensi perikanannya lebih dari 1 juta ton per tahun. Belum lagi potensi minyak dan gas bumi.
Cadangan minyak diperkirakan mencapai lebih 14 juta barel, sedangkan gas bumi 112 juta barel. Siapa yang tidak tergiur dengan kekayaan alam itu?
China mengklaim wilayah ini karena didasarkan pada Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang mereka buat secara sepihak. Adapun terhadap UNCLOS 1982, mereka meratifikasi kendati tidak mau mengakuinya.
China mengklaim ZEE Indonesia dengan dasar peta Traditional Fish Ground mereka. Artinya, akan terus terjadi ketegangan antardua negara ini. Namun meskipun Laut Natuna Utara akan terus menjadi ganjalan dan memicu tensi panas Indonesia dengan China, itu tidak berarti perang adalah solusinya.
Maka itu pendekatan diplomasi tetap harus dikedepankan. China harus diajak berbicara agar bersedia menghormati Indonesia di Laut Natuna Utara.
Selain memperkuat armada patroli Bakamla, solusi lain untuk memperkuat klaim kita atas Natuna Utara adalah dengan memperbanyak nelayan tradisional kita di sana. Sudah tepat langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mendorong nelayan Indonesia untuk datang menangkap ikan di sana. Ini perlu terus dilakukan, tidak hanya ketika tensi dengan China memanas.
Kasus di Natuna Utara ini sudah selayaknya pula menyadarkan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan anggaran pertahanan Indonesia dalam APBN. Tampak ada korelasi antara lemahnya daya gertak kita di Natuna Utara dengan ketersediaan anggaran di APBN.
Jika pada 2019 anggaran pertahanan berjumlah Rp108,4 triliun, seharusnya ada penambahan dalam jumlah signifikan pada 2020 ini dengan memberi penguatan pada belanja armada untuk instansi di luar TNI, terutama Bakamla.
Selain itu ke depan peran Bakamla juga harus diperkuat, jangan lagi terus bergantung kepada TNI untuk mengamankan wilayah laut. Saatnya Bakamla harus menjadi lembaga mandiri, khususnya terkait dengan kepemilikan kapal dan peralatan pendukung lainnya.
(zil)