Krisis Timur Tengah Dinilai Bersumber dari Datangnya Imam Mahdi
A
A
A
JAKARTA - Kawasan Timur Tengah mulai menunjukkan gejolak, setelah Adnan Tanrıverdi Kepala Penasihat Keamanan Militer Presiden Recep Tayyip Erdogan, dan pendiri perusahaan paramiliter yang disponsori pemerintah Turki SADAT, yang membuat heboh dunia Arab dan juga media akhirnya mengundurkan diri.
Ini karena pernyataan kontroversialnya pada pekan lalu bahwa pihaknya sedang mempersiapkan kedatangan seorang Mahdi, tokoh penyelamat dan pemimpin yang telah lama ditunggu-tunggu dan dikirim untuk memimpin dunia Islam.
Adnan menyatakan hal itu pada Kongres Uni Islam Internasional ASSAM ke-3 dan merujuk kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Seiring dengan kebijakan Erdogan melakukan operasi militer ke Libya setelah bertahun-tahun melakukan operasi militer di Suriah.
Mengutip pemberitaan MBS dan Sputnik, Rabu(15/1), pernyataan sekutu Erdogan ini dinilai mengungkapkan adanya 'keyakinan' yang menopang berbagai kebijakan luar negeri baru berbasis militer yang dilakukan Turki. Menurut wacana ini, Erdogan dipandang sebagai cerminan Mahdi, atau salah satu pengikutnya.
Ilmuwan dan kontributor Ahval, Gokhan Bacık mengatakan, konsep Mahdi awalnya tidak berakar pada Islam, tetapi berasal dari abad ke-12 dari hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Begitupula dengan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi-nya juga menjelaskan bahwa kebanyakan hadis yang berkisah tentang Imam Mahdi tidak bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Al-Mubarakfuri melanjutkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa orang yang cukup bermasalah dan tidak memenuhi kriteria-kriteria perawi yang dapat diterima periwayatan hadisnya.
Keyakinan ini menyatakan bahwa akan ada figur yang dikirimkan untuk menegakkan agama yang dikenal sebagai mujaddids pada setiap abad, dan yang terakhir dari mujaddids tersebut akan menjadi Mahdi.
Ia diyakini akan muncul sebelum hari penghakiman dan membawa keadilan dan kesetaraan kepada dunia. Pengikut Mahdi dinilai lebih unggul dari lainnya.
Untuk memperoleh hak istimewa yang diberikan kepada Mahdi dan para pengikutnya, dan untuk membuktikan bahwa pemimpin mereka adalah Mahdi yang telah lama ditunggu, muncul sejumlah hadis yang kini dipermasalahkan kesahihannya.
Ada yang mengatakan, Mahdi akan muncul di ibu kota Suriah Damaskus, yang lainnya berpendapat ia akan bangkit di Turki Istanbul atau Madinah di Arab Saudi.
Namun, wacana Mahdi tidak eksklusif untuk para pendukung Erdogan di Turki. Anggota dari gerakan keagamaan Fethullah Gülen's, yang disalahkan atas upaya kudeta yang gagal pada 2016, memandang dia juga sebagai Mahdi dan ada kepercayaan bahwa ulama yang kini bermukim di Amerika Serikat itu akan kembali ke Turki dari pengasingannya untuk memenuhi peran itu.
Sayangnya, pernyataan Tanrıverdi tersebut kemungkinan akan menimbulkan dampak berbahaya bagi Turki sendiri. Hal ini karena kebijakan luar negeri Turki telah menjadi tidak rasional dan hanya ditentukan menurut keyakinan agama dari sekelompok fanatik pendukung Erdogan.
Keyakinan akan Mahdi ini diduga yang menyeret Turki ke dalam aksi petualangan militer di Libya, dan bukan pada kepentingan nasionalnya. Transformasi seperti itu tampaknya luar biasa bagi negara yang bermimpi menjadi anggota Uni Eropa 10 tahun lalu.
Namun, ada bahaya besar yang mengancam Turki. Yaitu, jika perang di Libya berkepanjangan, tindakan politik oleh saingan-saingan Ankara di wilayah tersebut dapat menyebabkan Turki ditambahkan ke daftar negara-negara yang diakui sebagai pendukung terorisme, terutama jika proxy militernya dianggap bertanggung jawab atas serangan teroris di Barat.
Hal ini karena pasukan militer yang diterjunkan ke Libya merupakan tentara bayaran yang berasal dari Suriah, yang selama ini dituding Rusia merupakan bagian dari terorisme.
Ini karena pernyataan kontroversialnya pada pekan lalu bahwa pihaknya sedang mempersiapkan kedatangan seorang Mahdi, tokoh penyelamat dan pemimpin yang telah lama ditunggu-tunggu dan dikirim untuk memimpin dunia Islam.
Adnan menyatakan hal itu pada Kongres Uni Islam Internasional ASSAM ke-3 dan merujuk kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Seiring dengan kebijakan Erdogan melakukan operasi militer ke Libya setelah bertahun-tahun melakukan operasi militer di Suriah.
Mengutip pemberitaan MBS dan Sputnik, Rabu(15/1), pernyataan sekutu Erdogan ini dinilai mengungkapkan adanya 'keyakinan' yang menopang berbagai kebijakan luar negeri baru berbasis militer yang dilakukan Turki. Menurut wacana ini, Erdogan dipandang sebagai cerminan Mahdi, atau salah satu pengikutnya.
Ilmuwan dan kontributor Ahval, Gokhan Bacık mengatakan, konsep Mahdi awalnya tidak berakar pada Islam, tetapi berasal dari abad ke-12 dari hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Begitupula dengan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi-nya juga menjelaskan bahwa kebanyakan hadis yang berkisah tentang Imam Mahdi tidak bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Al-Mubarakfuri melanjutkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa orang yang cukup bermasalah dan tidak memenuhi kriteria-kriteria perawi yang dapat diterima periwayatan hadisnya.
Keyakinan ini menyatakan bahwa akan ada figur yang dikirimkan untuk menegakkan agama yang dikenal sebagai mujaddids pada setiap abad, dan yang terakhir dari mujaddids tersebut akan menjadi Mahdi.
Ia diyakini akan muncul sebelum hari penghakiman dan membawa keadilan dan kesetaraan kepada dunia. Pengikut Mahdi dinilai lebih unggul dari lainnya.
Untuk memperoleh hak istimewa yang diberikan kepada Mahdi dan para pengikutnya, dan untuk membuktikan bahwa pemimpin mereka adalah Mahdi yang telah lama ditunggu, muncul sejumlah hadis yang kini dipermasalahkan kesahihannya.
Ada yang mengatakan, Mahdi akan muncul di ibu kota Suriah Damaskus, yang lainnya berpendapat ia akan bangkit di Turki Istanbul atau Madinah di Arab Saudi.
Namun, wacana Mahdi tidak eksklusif untuk para pendukung Erdogan di Turki. Anggota dari gerakan keagamaan Fethullah Gülen's, yang disalahkan atas upaya kudeta yang gagal pada 2016, memandang dia juga sebagai Mahdi dan ada kepercayaan bahwa ulama yang kini bermukim di Amerika Serikat itu akan kembali ke Turki dari pengasingannya untuk memenuhi peran itu.
Sayangnya, pernyataan Tanrıverdi tersebut kemungkinan akan menimbulkan dampak berbahaya bagi Turki sendiri. Hal ini karena kebijakan luar negeri Turki telah menjadi tidak rasional dan hanya ditentukan menurut keyakinan agama dari sekelompok fanatik pendukung Erdogan.
Keyakinan akan Mahdi ini diduga yang menyeret Turki ke dalam aksi petualangan militer di Libya, dan bukan pada kepentingan nasionalnya. Transformasi seperti itu tampaknya luar biasa bagi negara yang bermimpi menjadi anggota Uni Eropa 10 tahun lalu.
Namun, ada bahaya besar yang mengancam Turki. Yaitu, jika perang di Libya berkepanjangan, tindakan politik oleh saingan-saingan Ankara di wilayah tersebut dapat menyebabkan Turki ditambahkan ke daftar negara-negara yang diakui sebagai pendukung terorisme, terutama jika proxy militernya dianggap bertanggung jawab atas serangan teroris di Barat.
Hal ini karena pasukan militer yang diterjunkan ke Libya merupakan tentara bayaran yang berasal dari Suriah, yang selama ini dituding Rusia merupakan bagian dari terorisme.
(maf)