Menyingkap Kejayaan Bangsa Phoenicia (1)

Sabtu, 11 Januari 2020 - 11:38 WIB
Menyingkap Kejayaan Bangsa Phoenicia (1)
Menyingkap Kejayaan Bangsa Phoenicia (1)
A A A
BANYAK yang masih percaya Christhoper Columbus sebagai penemu benua Amerika. Di lain pihak, banyak juga teori dan kisah kuno yang mengungkapkan bahwa bangsa-bangsa lain telah lebih dulu mencapai benua Amerika ribuan tahun, sebelum pelaut asal Spanyol itu mencapai benua Amerika pada 1492.

Salah satu bangsa kuno yang dipercaya telah mencapai benua Amerika ribuan tahun sebelum masehi adalah Bangsa Phoenicia. Bangsa yang berjaya jauh sebelum bangsa Yunani dan Romawi ini, diduga telah mencapai benua Amerika pada zaman Nabi Sulaiman. Kisah itu tertuang dalam salinan kuno, bahwa Nabi Sulaiman meminta bantuan Raja Ihram dari Tyre (saat ini Lebanon), yang merupakan pusat kerajaan Phoenicia untuk mencari emas guna membangun Masjidil Aqsa.

Teori itu coba dibuktikan oleh penjelajah laut asal Inggris, Philip Beale. Mantan Letnan Angkatan Laut Kerajaan Inggris itu mengelilingi benua Afrika dengan kapal layar bernama lambung Phoenicia. Dalam petualangan laut yang didasarkan buku Peradaban Phoenicia karangan Marie Eugene, guru besar Universitas Pompey itu hampir saja mendarat di daratan Amerika Tengah, tepatnya Suriname, karena hembusan angin Sahara Barat Afrika. Angin itu berhembus dari gurun sahara Afrika Barat ke arah samudera Atlantik Utara hingga menuju Amerika.

Tapi, karena saat itu tujuannya adalah mengelilingi benua Afrika, Philip dan krunya sekuat tenaga mengarahkan kapal Phoenicia ke arah utara menuju kepulauan Azores. Berdasarkan pengalaman itu, memperkuat dugaannya bahwa pelaut Phoenicia telah mendarat di Benua Amerika ribuan tahun sebelum Christopher Columbus. Impian dan dugaan itu, mulai diwujudkan dari Marina Gammarth, Chartage-Tunisia. Sangat tepat, ekspedisi maritim bertajuk Phoenicia Before Columbus dimulai dari Chartage.

Untuk diketahui, Chartage pada 600 sebelum masehi menjadi pusat kebudayaan Bangsa Phoenicia. Tak heran, di kota itu, 11 kru Kapal Phoenicia mendapat sambutan hangat dari penggemar sejarah Phoenicia dan perkumpulan Chartagean. Mereka dengan senang hati memperkenalkan peninggalan bangsa Phoenicia di Chartage, seperti pelabuhan utama Phoenicia dan kota Karkoune.

Bahkan, penggemar sejarah Phoenicia asal Kota Chartage, Muhammad Ghassen dengan antusias melakukan paparan publik kepada kru dan masyarakat sekitar Marina, mengenai Bangsa Phoenicia yang hidup kawasan Mediterania dan khususnya mengenai pewarna ungu yang dihasilkan oleh Kima.

Bisa dibayangkan, zaman itu pasti ribuan Kima dikorbankan hanya untuk memberi warna ungu dari cairan tubuhnya. Patut dicatat, ungu menjadi warna utama bangsa Phoenicia karena menggambarkan keberanian. Layar kapal bangsa itu pun diwarnai dengan ungu dan putih.

Tak hanya para pencinta sejarah Phoenicia, dua gelombang anak-anak sekolah dasar sebanyak 60 orang datang mengunjungi kapal untuk belajar soal kapal dan peradaban Bangsa Phoenicia. Jadilah Philip Beale dan keponakannya Charlie Baele sebagai tutor, menerangkan kejayaan bangsa Phoenicia sebagai pelaut ulung dan penemu berapa alat penting seperti paku, cat, teknik pelayaran dan perbintangan.
Menyingkap Kejayaan Bangsa Phoenicia (1)

Di sela-sela itu, salah satu kru, Sudirman Haruna Sahadan, pelaut tradisional asal Pulau Pagerungan, Sumenep, Indonesia, membuat kemudi baru. Pasalnya, kemudi starboard ( sisi kanan kapal) patah dihantam gelombang saat belayar dari Gibraltar ke Tunisia. Pengerjaannya cukup unik, sebab bilah kemudi dan tongkat kemudi menggunakan kayu keras sejenis Kamper dibeli dari toko Kayu di kota Tunis. Sementara tiang kemudi diambil dari kayu bekas tiang kemudi Kapal Borobudur, yang ekspedisinya dulu juga digagas Philip Bale. Sudah pasti kayu Kalimpapa, asal Pangerungan.

Untuk diketahui, dua kemudi Kapal Borobudur yang berlayar dari Indonesia hingga Ghana pada 2003-2004 silam, dibawa Philip ke rumahnya di Dorset, Inggris. Sedangkan kapalnya sendiri saat ini sudah dimuseumkan di pelataran Candi Borobudur, Magelang. “Oi, ini kayu kuat, asal Pengerungan. Pasti beda dengan kayu Syiria,” canda Dirman, pria berusia 44 tahun itu.

Praktis keberangkatan kapal hanya menunggu selesainya Dirman menyelesaikan kemudi. Dengan penuh tanggung jawab Dirman mengerjakan dengan target waktu 3 hari penyelesaian dan satu hari pemasangan. Alhasil, dia memilih tidak ikut tur maupun audiensi dengan Wali Kota Chartage. “Saya lebih baik menyelesaikan kemudi ini,” katanya. Hanya saja saat dijadwalkan audiensi dengan Ikrar Nusa Bhakti, Duta Besar RI untuk Tunisia, dia bersedia dan sangat bangga. (bersambung)
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5808 seconds (0.1#10.140)