Polemik Natuna, Pemerintah Didesak Segera Bentuk Sea and Coast Guard
A
A
A
JAKARTA - Pemerhati Sektor Kelautan dan Perikanan, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menilai polemik kapal China yang memasuki batas wilayah dalam Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) di Perairan Natuna, Kepulauan Riau akibat dari lemahnya keamanan laut di Indonesia.
Pasalnya, BHS melanjutkan, Indonesia tidak memiliki ‘Sea and Coast Guard’. Padahal berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ‘Sea and Coast Guard’ berfungsi sebagai penjaga dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
“Akan tetapi sejak diundangkannya undang-undang tersebut hingga saat ini, presiden belum menerbitkan peraturan yang mengatur lebih lanjut terkait fungsi dan tugas dari Sea and Coast Guard tersebut. Bahkan saat ini oleh Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi menunjuk Bakamla sebagai Sea and Coast Guard Indonesia,” ujar BHS kepada awak media di Jakarta, Rabu (8/1/2020).
“Tentu hal itu tidaklah tepat, karena seharusnya Bakamla bukan pelaksana tugas Sea and Coast Guard tetapi merupakan salah satu bagian dari ‘Sea and Coast Guard’ sebagai unsur keamanan beserta Basarnas sebagai unsur keselamatan,” Imbuh BHS.
Oleh karena itu, Anggota DPR RI 2014-2019 itu menegaskan, bahwa jika pemerintah berkomitmen untuk melindungi semua sumber potensial perekonomian Indonesia dari sektor laut secara keseluruhan, sudah seharusnya Sea and Coast Guard segera dibentuk dan dibuat peraturan tindaklanjutnya. Serta Pemerintah juga harus memiliki armada laut yang kuat untuk menjaga keamanan dan keselamatan sektor tersebut.
Memang jika dilihat ke belakang era Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti telah membentuk Satgas 115 berdasarkan Perpres Nomor 115 Tahun 2015 tentang SATGAS Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal. Yang mana tugas utama dari Satgas tersebut adalah mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal.
“Akan tetapi menurut saya, keamanan laut ini bukan domainnya KKP melainkan domain dari Sea and Coast Guard. Di seluruh negara juga tidak ada KKP ngurusi masalah keamanan, terus terang ini salah kaprah,” tegas Bambang.
Jadi, Bambang menegaskan kembali Sea and Coast Guard ini sangatlah penting untuk mengamankan kekayaan laut Indonesia. Bukan hanya mengamankan sumber daya lautnya, melainkan juga menjaga keselamatan pelayaran baik logistik maupun penumpang di Indonesia.
Masuknya Kapal China Akibat Kekosongan Wilayah
Lebih jauh, Calon Bupati Sidoarjo tersebut mengatakan bahwa masuknya kapal China ke Perairan Natuna juga akibat dari kekosongan wilayah tersebut. Perairan ZEE kosong tidak dimasuki oleh kapal nelayan Indonesia karena kebijakan yang dikeluarkan mantan Menteri KKP Susi.
Susi mengeluarkan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Dirjen Tangkap melalui SE Nomor D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)/SIPI/SIKPI. Yang mana dengan pembatasan maksimum kapal tangkap berukuran 150 GT akan menimbulkan banyak kerugian.
Kerugian tersebut di antaranya kapal tidak dapat berlayar hingga mencapai wilayah ZEE baik dari sisi konstruksi dan stabilitas karena tidak mampu menghadapi gelombang yang besar. Kemudian, efisiensi daya angkut hasil ikan yang tidak visible dari sisi teknis dan ekonomis dibandingkan biaya operasional karena ukuran kapal yang terlalu kecil.
Dampak dari regulasi tersebut berakibat ribuan kapal nelayan yang memiliki GT di atas 150 tidak beroperasi sehingga mengakibatkan kekosongan di wilayah ZEE. Setidaknya ada ribuan kapal yang tidak bisa beroperasi.
“Ada sekitar 1.000 lebih kapal tidak bisa beroperasi, kapal-kapal tersebut hanya bersandar di pesisir laut, ada di Muara Baru, Muara Angke, Indramayu, Pekalongan, Pati, Banyuwangi. Nah seharunya kalau kapal-kapal nelayan ini beroperasi, mereka juga bisa turut serta mengamankan dan menjaga laut kita dari kapal-kapal china atau asing,” jelas BHS.
Selain itu, pria yang hobi olahraga ini juga mengkritisi kebijakan mantan Menteri KKP Susi yang lainnya. Ia tidak setuju dengan adanya Permen KP Nomor 32 Tahun 2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup yang melarang penggunaan cantrang, pukat, troll kecil (jaring aktif) yang juga berakibat beralihnya pengunaan dengan menggunakan gillnet (jaring pasif).
“Penggunaan gillnet tersebut dapat mengganggu pelayaran dunia khususnya seperti di wilayah Perairan Laut Natuna karena dalam penggunaannya dapat mencakup radius wilayah hingga 10 km. Hal ini dapat mengganggu dan membahayakan kapal-kapal logistik maupun penumpang internasional yang melintas di jalur internasional yang terpadat di dunia,” Bambang memaparkan.
“Padahal nelayan dari negara Vietnam, Tiongkok dan lain-lain masih menggunakan pukat yang dikarenakan dilarangnya penggunaan gillnet di alur pelayaran internasional,” imbuhnya.
Karena itu, BHS berharap di bawah koordinasi Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru ini dapat dilakukan pencabutan atau perubahan regulasi dan kebijakan yang selama ini telah menyulitkan dunia industri perikanan Indonesia, khsusnya masyarakat nelayan kecil demi mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya bertujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Pasalnya, BHS melanjutkan, Indonesia tidak memiliki ‘Sea and Coast Guard’. Padahal berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ‘Sea and Coast Guard’ berfungsi sebagai penjaga dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
“Akan tetapi sejak diundangkannya undang-undang tersebut hingga saat ini, presiden belum menerbitkan peraturan yang mengatur lebih lanjut terkait fungsi dan tugas dari Sea and Coast Guard tersebut. Bahkan saat ini oleh Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi menunjuk Bakamla sebagai Sea and Coast Guard Indonesia,” ujar BHS kepada awak media di Jakarta, Rabu (8/1/2020).
“Tentu hal itu tidaklah tepat, karena seharusnya Bakamla bukan pelaksana tugas Sea and Coast Guard tetapi merupakan salah satu bagian dari ‘Sea and Coast Guard’ sebagai unsur keamanan beserta Basarnas sebagai unsur keselamatan,” Imbuh BHS.
Oleh karena itu, Anggota DPR RI 2014-2019 itu menegaskan, bahwa jika pemerintah berkomitmen untuk melindungi semua sumber potensial perekonomian Indonesia dari sektor laut secara keseluruhan, sudah seharusnya Sea and Coast Guard segera dibentuk dan dibuat peraturan tindaklanjutnya. Serta Pemerintah juga harus memiliki armada laut yang kuat untuk menjaga keamanan dan keselamatan sektor tersebut.
Memang jika dilihat ke belakang era Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti telah membentuk Satgas 115 berdasarkan Perpres Nomor 115 Tahun 2015 tentang SATGAS Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal. Yang mana tugas utama dari Satgas tersebut adalah mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal.
“Akan tetapi menurut saya, keamanan laut ini bukan domainnya KKP melainkan domain dari Sea and Coast Guard. Di seluruh negara juga tidak ada KKP ngurusi masalah keamanan, terus terang ini salah kaprah,” tegas Bambang.
Jadi, Bambang menegaskan kembali Sea and Coast Guard ini sangatlah penting untuk mengamankan kekayaan laut Indonesia. Bukan hanya mengamankan sumber daya lautnya, melainkan juga menjaga keselamatan pelayaran baik logistik maupun penumpang di Indonesia.
Masuknya Kapal China Akibat Kekosongan Wilayah
Lebih jauh, Calon Bupati Sidoarjo tersebut mengatakan bahwa masuknya kapal China ke Perairan Natuna juga akibat dari kekosongan wilayah tersebut. Perairan ZEE kosong tidak dimasuki oleh kapal nelayan Indonesia karena kebijakan yang dikeluarkan mantan Menteri KKP Susi.
Susi mengeluarkan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Dirjen Tangkap melalui SE Nomor D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)/SIPI/SIKPI. Yang mana dengan pembatasan maksimum kapal tangkap berukuran 150 GT akan menimbulkan banyak kerugian.
Kerugian tersebut di antaranya kapal tidak dapat berlayar hingga mencapai wilayah ZEE baik dari sisi konstruksi dan stabilitas karena tidak mampu menghadapi gelombang yang besar. Kemudian, efisiensi daya angkut hasil ikan yang tidak visible dari sisi teknis dan ekonomis dibandingkan biaya operasional karena ukuran kapal yang terlalu kecil.
Dampak dari regulasi tersebut berakibat ribuan kapal nelayan yang memiliki GT di atas 150 tidak beroperasi sehingga mengakibatkan kekosongan di wilayah ZEE. Setidaknya ada ribuan kapal yang tidak bisa beroperasi.
“Ada sekitar 1.000 lebih kapal tidak bisa beroperasi, kapal-kapal tersebut hanya bersandar di pesisir laut, ada di Muara Baru, Muara Angke, Indramayu, Pekalongan, Pati, Banyuwangi. Nah seharunya kalau kapal-kapal nelayan ini beroperasi, mereka juga bisa turut serta mengamankan dan menjaga laut kita dari kapal-kapal china atau asing,” jelas BHS.
Selain itu, pria yang hobi olahraga ini juga mengkritisi kebijakan mantan Menteri KKP Susi yang lainnya. Ia tidak setuju dengan adanya Permen KP Nomor 32 Tahun 2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup yang melarang penggunaan cantrang, pukat, troll kecil (jaring aktif) yang juga berakibat beralihnya pengunaan dengan menggunakan gillnet (jaring pasif).
“Penggunaan gillnet tersebut dapat mengganggu pelayaran dunia khususnya seperti di wilayah Perairan Laut Natuna karena dalam penggunaannya dapat mencakup radius wilayah hingga 10 km. Hal ini dapat mengganggu dan membahayakan kapal-kapal logistik maupun penumpang internasional yang melintas di jalur internasional yang terpadat di dunia,” Bambang memaparkan.
“Padahal nelayan dari negara Vietnam, Tiongkok dan lain-lain masih menggunakan pukat yang dikarenakan dilarangnya penggunaan gillnet di alur pelayaran internasional,” imbuhnya.
Karena itu, BHS berharap di bawah koordinasi Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru ini dapat dilakukan pencabutan atau perubahan regulasi dan kebijakan yang selama ini telah menyulitkan dunia industri perikanan Indonesia, khsusnya masyarakat nelayan kecil demi mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya bertujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan.
(kri)