Pembangunan Berkelanjutan

Senin, 06 Januari 2020 - 06:30 WIB
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan Berkelanjutan
A A A
Candra Fajri Ananda
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
Ekonom klasik menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menyangkut perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan.

Pertumbuhan ekonomi ditelaah melalui proses produksi yang melibatkan sejumlah jenis produk dengan menggunakan sejumlah sarana produksi tertentu.

Adam Smith menyebutkan bahwa sumber-sumber alam merupakan wadah yang paling mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat, sehingga jumlah sumber-sumber alam yang tersedia merupakan batas maksimal bagi pertumbuhan perekonomian tersebut.

Oleh sebab itu, menurut pemikiran Adam Smith, selama sumber-sumber tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan maka pertumbuhan ekonomi masih tetap bisa ditingkatkan hingga batas maksimum.

Pada konsep sistem ekonomi klasik, kegiatan ekonomi digambarkan semata-mata hanya merupakan kegiatan produksi dan konsumsi tanpa memasukkan fungsi lingkungan ke dalam sistem. Dalam sistem ini, lingkungan tidak diperhitungkan ke dalam proses produksi dan konsumsi.

Tidak dimasukkannya lingkungan sebagai sebuah komponen sistem ekonomi merupakan hal yang naif karena baik kegiatan produksi maupun kegiatan konsumsi selalu berinteraksi dengan lingkungan. Interaksi lingkungan hidup memiliki fungsi sebagai pendukung keberlanjutan kegiatan rumah tangga dan perusahaan yang pada akhirnya sebagai pendukung kegiatan perekonomian secara keseluruhan.

Pada awal 1970-an di tingkat dunia, Kelompok Roma (Club of Rome) menggagas pemikiran tentang batas-batas pertumbuhan (limits to growth), yang bertujuan untuk mengingatkan tentang adanya keterbatasan sumberdaya alam dan lingkungan dalam “melayani” keinginan manusia.

Dua dekade kemudian (1992) di Rio de Janeiro ditekankan kembali bahwa kesejahteraan manusia adalah perhatian utama atas pembangunan berkelajutan. Pesan utama dari dua kejadian tersebut adalah bahwa para pakar pembangunan dunia memberikan tanda bahaya, di mana kegiatan “percepatan pertumbuhan ekonomi” tanpa mempertimbangkan lingkungan merupakan hal yang salah dalam sebuah konsep pembangunan.

Pertumbuhan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan
Tak sedikit hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan kerusakan lingkungan. Bahkan, fenomena tersebut umumnya terjadi di negara berkembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pesat di Cina berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di negara tersebut akibat buruknya penegakan hukum dan undang-undang lingkungan di China.

Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang yang kini tengah memacu pertumbuhan ekonomi juga dihadapkan pada dilema permasalahan lingkungan yang serupa dengan China. Hingga kini, sejumlah persoalan lingkungan di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang membutuhkan penyelesaian. Bagi Indonesia, persoalan ini menjadi sangat krusial karena menyangkut kualitas kehidupan di masa mendatang.

Sebagai negara yang masuk dalam sepuluh besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, Indonesia saat ini menghadapi beberapa permasalahan lingkungan yang krusial, di antaranya permasalahan sampah, banjir, pencemaran sungai, rusaknya ekosistem laut, pemanasan global, pencemaran udara, sulitnya air bersih, kerusakan hutan, abrasi dan pencemaran tanah.

Data World Health Organization (WHO) di tahun 2017 menyebutkan bahwa Kota Jakarta dan Bandung masuk dalam daftar 10 besar kota dengan pencemaran udara terburuk di Asia Tenggara. Tingkat polusi udara Jakarta sangat mengkhawatirkan yaitu berada pada level 4,5 kali dari ambang batas yang ditetapkan WHO, dan tiga kali lebih besar dari standar yang

ditetapkan Pemerintah Indonesia. Sedangkan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total luas hutan Indonesia saat ini mencapai 124 juta hektare. Sejak 2010 sampai 2017, Indonesia kehilangan luas hutannya hingga lebih dari 684.000 hektare per tahunnya.

Selanjutnya, pada tahun 2009-2017, Kementrian Lingkungan Hidup mengevaluasi kondisi lingkungan di semua provinsi berdasarkan tiga aspek utama yakni kualitas udara, air dan tutupan hutan. Data menunjukkan bahwa provinsi dengan indikator ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi seperti DKI Jakarta cenderung memiliki Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang rendah yakni sebesar 35,78.

Sebaliknya provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah justru memiliki IKLH yang tinggi, seperti Maluku Utara (74,55), Aceh (77,70), maupun Papua Barat (85,69). Hal tersebut menimbulkan kesan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan selalu “dibayar” dengan kualitas lingkungan yang buruk.

Sejatinya, degradasi lingkungan dan penggunaan sumberdaya alam yang semena-mena atas nama peningkatan pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan kerugian dalam jangka panjang. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan degradasi lingkungan akan menghilangkan tujuan pembangunan, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Kerusakan lingkungan seringkali membawa dampak langsung secara signifikan pada masyarakat rentan, seperti masyarakat miskin, usia lanjut, pengangguran.

Sinkronisasi Kebijakan Ekonomi dan Lingkungan
Beberapa kasus kerusakan lingkungan cukup menunjukkan bahwa betapa lemahnya budaya pengelolaan terhadap sumberdaya milik bersama (common property). Eksploitasi sumberdaya hingga menyebabkan kerusakan lingkungan dapat dipandang sebagai adanya difusi budaya, di mana terjadi kolusi antara pelaku ekonomi pasar yang semata-mata bermotif mencari keuntungan ekonomi jangka pendek, birokrat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, dan masyarakat lokal yang kehilangan sifat amanah untuk merampas sumberdaya milik bersama secara terorganisir.

Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran, serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijakan terkait pengelolaan lingkungan. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, perangkat hukum dan perundangan, sumberdaya manusia, informasi, serta pendanaan. Keterkaitan dan keseluruhan aspek lingkungan telah memberi konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi berintegrasi dengan seluruh pelaksanaan pembangunan.

Banyaknya bencana yang ada di negara kita saat ini merupakan alarm bagi Indonesia untuk segera mengevaluasi kebijakan pembangunan yang ada. Sedapat mungkin perhatian yang sistematis harus diberikan pada aspek-aspek lingkungan di semua tahapan kegiatan pembangunan. Sistem alam bersifat holistik dan saling terkait.Oleh sebab itu, sangat penting ketika di awal perencanaan pembangunan untuk berhati-hati dalam memperhitungkan dampak negatif lingkungan yang akan terpengaruh. Wallahu’alam.
(zil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2995 seconds (0.1#10.140)