Waspadai Curah Hujan Tinggi hingga Februari

Sabtu, 04 Januari 2020 - 10:21 WIB
Waspadai Curah Hujan Tinggi hingga Februari
Waspadai Curah Hujan Tinggi hingga Februari
A A A
JAKARTA - Korban jiwa akibat banjir dan bencana di sejumlah daerah di Jabodetabek terus bertambah. Sedikitnya 47 orang dinyatakan meninggal dan beberapa lainnya masih dinyatakan hilang.Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, korban tewas terbanyak berasal dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat, setelah banjir bandang melanda sejumlah kecamatan. Menurut BNPB sebanyak 11 orang dinyatakan tewas. Namun jumlah tersebut diyakini bertambah karena temuan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor menyebutkan bahwa koran tewas akibat banjir bandang di wilayah itu mencapai 16 orang.

Selain korban tewas, BNPB juga mencatat sebanyak 183.530 orang korban bencana banjir di Jabodetabek masih mengungsi di sejumlah titik. Mereka terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena masih terdampak akibat banjir yang terjadi tiga hari terakhir. Pada pengungsi tersebut menempati 107 titik di mulai dari sekolahan, rumah ibadah dan lokasi lain yang aman.“Ada sekitar 41.495 kepala keluarga (KK) yang masih mengungsi,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencanan (BNPB) Agus Wibowo di Jakarta kemarin.

Untuk mengurangi dampak banjir, ujar dia, pemerintah bersama sejumlah instansi terkait sejak kemarin melakukan Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Operasi tersebut dilakukan dari Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma Jakarta.

“TMC bertujuan menurunkan potensi awan hujan menjadi hujan sebelum masuk ke wilayah Jabodetabek. Awan hujan disemai dengan garam NaCl sehingga menggumpal menjadi berat dan turun jadi hujan,” kata Agus.

Operasi TMC tersebut dilakukan atas kerja sama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan TNI Angkatan Udara (TNI AU).

Kepala BPPT Hamdan Riza menyatakan, pihaknya siap untuk menjalankan operasi TMC sebagai solusi berbasis teknologi dari masalah banjir yang dipicu oleh faktor cuaca.

“Aplikasi TMC dapat dimanfaatkan dengan tujuan mengurangi intensitas curah hujan di wilayah Jabodetabek. Dengan demikian risiko terjadinya banjir yang berpotensi meluas dapat diredam,” jelas Hamdam.

Terkait penanggulangan banjir di Ibu Kota, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengarahkan agar tetap melanjutkan penanganan banjir sesuai dengan yang sudah dilakukan. Langkah normalisasi dan pembuatan sodetan Ciliwung juga terus dikerjakan.

“Bapak Presiden mengarahkan bahwa tetap melanjutkan, penanganan banjir di Jakarta,” kata Basuki di Kantor Presiden, kemarin.

Basuki mengatakan bahwa rencana induk pengendalian banjir Jakarta sudah ada sejak 1973. Kemudian di-review oleh JICA pada 1997 dan 2007. Hasil pengkajian tersebut di antaranya adalah ada banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur, dan normalisasi Kali Ciliwung dan sodetan di Ciliwung dan Banjir Kanal Timur.

“Dampaknya ke Kelapa Gadung relatif nggak kebanjiran dan kemarin juga bisa dikendalikan. Yang sekarang kami lakukan adalah, skema-skema ini, debit-debit air di Ciliwung 570 meter kubik per detik,” ungkapnya.

Menurut Basuki, sebelum dinormalisasi, kapasitasnya sungai lebarnya sekitar 10 - 20 meter untuk menampung debit hanya 200 meter kubik per detik. Padahal debit banjir Ciliwung sampai 570 meter kubik per detik.

“Sehingga harus dibesarkan kapasitas tampung Kali Ciliwung termasuk kalau sodetan jadi mengalirkan 60 meter kubik perdetik Banjir Kanal Timur. Sehingga beban di Manggarai atau di hilir menjadi lebih kecil,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan, daerah harus siap siaga karena curah hujan tinggi akan berlangsung sampai Februari. Dia mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajaran pemerintah pusat dan daerah terus berkolaborasi.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan, menghadapi bencana ada beberapa hal harus diperhatikan terutrama terkait faktor cuaca. Menurutnya, data BMKG menyebutkan bahwa siklus pergerakan cuaca sudah banyak berubah. Siklus cuaca ekstrem memendek, yang sebelumnya datang 10 tahunan menjadi 5 tahunan bahkan 2 tahunan sekali terjadi karena perubahan kondisi alam.

“Kita mengimbau agar masyarakat bisa beradaptasi dan bisa mengurangi risiko dengan menjaga alam,” katanya. (Dita Angga/Bima Setiyadi/Haryudi/Yan Yusuf)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4784 seconds (0.1#10.140)