BPJS Kesehatan dan Kenaikan Tarif Cukai
A
A
A
Mukhaer Pakkanna
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta
Memasuki 1 Januari 2020, ada 2 (dua) jenis tarif yang diputuskan pemerintah untuk segera dinaikkan, yakni iuran (tarif) peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan dan tarif cukai rokok. Kedua jenis tarif ini memiliki korelasi yang cukup kuat.
Kementerian Keuangan RI, pada 26 Agustus 2019, telah memberikan usulan terhadap kenaikan iuran peserta JKN BPJS Kesehatan. Usulan itu langsung memantik kontroversi. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati memaparkan, besaran kenaikan iuran mencapai 100% dan akan dimulai 1 Januari 2020.
Ini artinya peserta JKN kelas I yang semula hanya membayar Rp80.000 per bulan harus membayar Rp160.000, kemudian kelas II akan membayar Rp110.000 dari sebelumnya Rp51.000 dan peserta kelas Mandiri III dinaikkkan iurannya Rp16.500 dari Rp25.500 per bulan menjadi Rp42.000.
Alasan utama kenaikan ini klasik, yakni menutupi defisit keuangan BPJS Kesehatan yang terus menganga. Data mengonfirmasi, pada 2014 defisit Rp1,9 triliun, kemudian terdongkrak lagi pada 2015 menjadi Rp9,4 triliun. Pada 2016, sedikit turun menjadi Rp6,4 triliun. Selanjutnya kembali naik pada 2017 menjadi Rp13,8 triliun yang kemudian pada 2018 bertengger di angka Rp19,4 triliun. Bahkan diestimasi berpotensi naik tajam pada 2019 menjadi Rp32,8 triliun.
Padahal, lumrah diketahui, defisit itu bukan semata karena rendahnya besaran iuran, tapi juga aspek kelembagaan, mismanajemen, dan fraud.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Desember 2018 melaporkan hasil audit sistem JKN bahwa ada beberapa akar masalah defisit, yakni rumah sakit bersikap curang, banyak perusahaan memanipulasi data, pelayanan tidak sebanding dengan jumlah peserta, data yang tidak sesuai, sistem klaim yang tidak benar hingga banyak peserta yang menunggak.
Misi Suci BPJS
Sejatinya BPJS Kesehatan hadir mengemban amanat UUD 1945, terutama Pasal 28H dan Pasal 34. Secara ambisius BPJS Kesehatan pun menargetkan seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya. Sayang sekali, mewujudkan amanat itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Membengkaknya defisit yang dialami BPJS Kesehatan sebagaimana diurai di atas, selalu solusinya jalan pintas: menaikkan iuran kepesertaan. Kendati kenaikan itu diklaim pemerintah bersifat proporsional serta dengan alasan untuk mendidik masyarakat agar "tidak manja", secara generik alasan itu tidak berdimensi jangka panjang. Bahkan menjadi preseden buruk ke depan jika defisit ini terus berlarut, kepesertaan selalu menjadi korban. Padahal, "banyak jalan menuju Roma" dan banyak ihwal yang perlu dibenahi secara cerdas, tegas, dan koordinatif.
Jika kebijakan kenaikan iuran itu selalu menjadi solusi utama, tentu hal itu memantik rakyat untuk malas membayar iuran. Apalagi kenaikan iuran itu tidak disertai dengan jaminan pelayanan kesehatan yang memadai.
Ujungnya penerimaan iuran kian tekor dan tidak akan mampu menambal defisit arus kas. Kalaupun ingin dinaikkan, hal itu harus mempertimbangkan beberapa aspek. Pada kenaikan iuran pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas II dan kelas III, pertimbangannya harus berdasarkan pada kemampuan untuk membayar dan daya beli masyarakat.
Kemudian kenaikan iuran kelas I harus didasarkan pada survei pasar tentang kemauan masyarakat untuk membayar. Kendati demikian, jangan sampai semangatnya menutup defisit, tapi jatuhnya malah muncul masalah kolektibilitas, yakni masyarakat tidak mau bayar.
Tarif Cukai
Undang-Undang (UU) No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai mengamanatkan barang kena cukai adalah produk yang berdampak negatif bagi masyarakat. Produk yang dimaksud memiliki karakteristik khusus yang membahayakan, terutama bagi kesehatan masyarakat.
Dalam UU tersebut ada 3 (tiga) produk/objek yang dianggap memberikan eksternalitas negatif, yakni etil alkohol (EA) atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA), dan hasil tembakau atau rokok.
Dari tiga produk itu, cukai dari produk tembakau/rokok menjadi kontributor utama, hingga 95%. Tercatat realisasi penerimaan cukai rokok per Desember 2018 sebesar Rp120,62 triliun atau mencapai 81,37% dari target APBN 2018 sebesar Rp 148,23 triliun.
Karena tingginya kontribusi tarif cukai rokok terhadap penerimaan negara, pemerintah dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jumat (13/9/2019), memutuskan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23% pada 1 Januari 2020. Kemudian harga jual eceran rokok naik menjadi 35%.
Sebelumnya, pada 2018, Presiden Joko Widodo membuat Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres yang beberapa kali disempurnakan itu berkeinginan memanfaatkan tarif cukai rokok untuk menutup defisit keuangan BPJS.
Keinginan Presiden itu tentu tidak terlepas dari Nawacita Jokowi-JK 2014-2019 yang meyebutkan: "Jika generasi masa depan terlindungi dari dampak rokok, maka akan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat." Rumusan langkah tertuang dalam poin 5 Nawacita, Target 2, yaitu "Peningkatan tarif 200% dari nilai cukai rokok dan 100% area publik bebas asap rokok termasuk 100% untuk kabupaten/kota pada 2019."
Terlepas dari implikasi yang ditimbulkan terhadap pendapatan daerah yang selama ini berasal dari pos cukai rokok, sejatinya spirit perpres itu harus didukung.
Lagipula, merujuk pada PMK Nomor 222/PMK.07/2017 tentang Penggunaan Pemantauan dan Evaluasi DBH CHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau), hanya 2% diizinkan dari total penerimaan cukai rokok itu dialokasikan ke 34 provinsi.
Artinya 98% tentu masuk ke pemerintah pusat, itu pun besaran persentase tidak jelas pertanggungjawabannya. Selain sumber dana dari tarif cukai tembakau, pemerintah dan DPR harus bekerja keras untuk menambah objek cukai, tidak sebatas tiga produk/objek.
Oleh karena itu lembaga legislatif harus berjuang keras merevisi UU No 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Selain mengekstensifikasi objek cukai, juga banyak klausul yang memberi ruang bagi industri rokok raksasa melakukan transaksi ekonomi politik, salah satunya pada bunyi Pasal 5 ayat 4: "Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri".
Klausul ini aneh karena pada beberapa negara lain, keterlibatan industri rokok itu dibatasi, sementara di Indonesia sebaliknya, diminta diperhatikan.
Di Thailand dan Kamboja sebagai misal, jumlah objek yang kena cukai mencapai 16 barang, Laos 10 objek, Myanmar 9 objek, dan Vietnam 8 objek. Bahkan beberapa negara telah mengenakan cukai pada klub malam dan diskotek serta perjudian, antara lain Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar. Sementara Malaysia hanya mengenakan cukai untuk perjudian.
Maka besarnya potensi dan objek cukai di Tanah Air sejatinya tidak membuat pemerintah kelimpungan dalam menambal defisit BPJS dan mengorbankan hak rakyat terhadap akses kesehatan yang adil. Banyak hal yang perlu dibenahi secara cerdas, tidak semata menaikkan pungutan.
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta
Memasuki 1 Januari 2020, ada 2 (dua) jenis tarif yang diputuskan pemerintah untuk segera dinaikkan, yakni iuran (tarif) peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan dan tarif cukai rokok. Kedua jenis tarif ini memiliki korelasi yang cukup kuat.
Kementerian Keuangan RI, pada 26 Agustus 2019, telah memberikan usulan terhadap kenaikan iuran peserta JKN BPJS Kesehatan. Usulan itu langsung memantik kontroversi. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati memaparkan, besaran kenaikan iuran mencapai 100% dan akan dimulai 1 Januari 2020.
Ini artinya peserta JKN kelas I yang semula hanya membayar Rp80.000 per bulan harus membayar Rp160.000, kemudian kelas II akan membayar Rp110.000 dari sebelumnya Rp51.000 dan peserta kelas Mandiri III dinaikkkan iurannya Rp16.500 dari Rp25.500 per bulan menjadi Rp42.000.
Alasan utama kenaikan ini klasik, yakni menutupi defisit keuangan BPJS Kesehatan yang terus menganga. Data mengonfirmasi, pada 2014 defisit Rp1,9 triliun, kemudian terdongkrak lagi pada 2015 menjadi Rp9,4 triliun. Pada 2016, sedikit turun menjadi Rp6,4 triliun. Selanjutnya kembali naik pada 2017 menjadi Rp13,8 triliun yang kemudian pada 2018 bertengger di angka Rp19,4 triliun. Bahkan diestimasi berpotensi naik tajam pada 2019 menjadi Rp32,8 triliun.
Padahal, lumrah diketahui, defisit itu bukan semata karena rendahnya besaran iuran, tapi juga aspek kelembagaan, mismanajemen, dan fraud.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Desember 2018 melaporkan hasil audit sistem JKN bahwa ada beberapa akar masalah defisit, yakni rumah sakit bersikap curang, banyak perusahaan memanipulasi data, pelayanan tidak sebanding dengan jumlah peserta, data yang tidak sesuai, sistem klaim yang tidak benar hingga banyak peserta yang menunggak.
Misi Suci BPJS
Sejatinya BPJS Kesehatan hadir mengemban amanat UUD 1945, terutama Pasal 28H dan Pasal 34. Secara ambisius BPJS Kesehatan pun menargetkan seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya. Sayang sekali, mewujudkan amanat itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Membengkaknya defisit yang dialami BPJS Kesehatan sebagaimana diurai di atas, selalu solusinya jalan pintas: menaikkan iuran kepesertaan. Kendati kenaikan itu diklaim pemerintah bersifat proporsional serta dengan alasan untuk mendidik masyarakat agar "tidak manja", secara generik alasan itu tidak berdimensi jangka panjang. Bahkan menjadi preseden buruk ke depan jika defisit ini terus berlarut, kepesertaan selalu menjadi korban. Padahal, "banyak jalan menuju Roma" dan banyak ihwal yang perlu dibenahi secara cerdas, tegas, dan koordinatif.
Jika kebijakan kenaikan iuran itu selalu menjadi solusi utama, tentu hal itu memantik rakyat untuk malas membayar iuran. Apalagi kenaikan iuran itu tidak disertai dengan jaminan pelayanan kesehatan yang memadai.
Ujungnya penerimaan iuran kian tekor dan tidak akan mampu menambal defisit arus kas. Kalaupun ingin dinaikkan, hal itu harus mempertimbangkan beberapa aspek. Pada kenaikan iuran pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas II dan kelas III, pertimbangannya harus berdasarkan pada kemampuan untuk membayar dan daya beli masyarakat.
Kemudian kenaikan iuran kelas I harus didasarkan pada survei pasar tentang kemauan masyarakat untuk membayar. Kendati demikian, jangan sampai semangatnya menutup defisit, tapi jatuhnya malah muncul masalah kolektibilitas, yakni masyarakat tidak mau bayar.
Tarif Cukai
Undang-Undang (UU) No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai mengamanatkan barang kena cukai adalah produk yang berdampak negatif bagi masyarakat. Produk yang dimaksud memiliki karakteristik khusus yang membahayakan, terutama bagi kesehatan masyarakat.
Dalam UU tersebut ada 3 (tiga) produk/objek yang dianggap memberikan eksternalitas negatif, yakni etil alkohol (EA) atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA), dan hasil tembakau atau rokok.
Dari tiga produk itu, cukai dari produk tembakau/rokok menjadi kontributor utama, hingga 95%. Tercatat realisasi penerimaan cukai rokok per Desember 2018 sebesar Rp120,62 triliun atau mencapai 81,37% dari target APBN 2018 sebesar Rp 148,23 triliun.
Karena tingginya kontribusi tarif cukai rokok terhadap penerimaan negara, pemerintah dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jumat (13/9/2019), memutuskan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23% pada 1 Januari 2020. Kemudian harga jual eceran rokok naik menjadi 35%.
Sebelumnya, pada 2018, Presiden Joko Widodo membuat Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres yang beberapa kali disempurnakan itu berkeinginan memanfaatkan tarif cukai rokok untuk menutup defisit keuangan BPJS.
Keinginan Presiden itu tentu tidak terlepas dari Nawacita Jokowi-JK 2014-2019 yang meyebutkan: "Jika generasi masa depan terlindungi dari dampak rokok, maka akan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat." Rumusan langkah tertuang dalam poin 5 Nawacita, Target 2, yaitu "Peningkatan tarif 200% dari nilai cukai rokok dan 100% area publik bebas asap rokok termasuk 100% untuk kabupaten/kota pada 2019."
Terlepas dari implikasi yang ditimbulkan terhadap pendapatan daerah yang selama ini berasal dari pos cukai rokok, sejatinya spirit perpres itu harus didukung.
Lagipula, merujuk pada PMK Nomor 222/PMK.07/2017 tentang Penggunaan Pemantauan dan Evaluasi DBH CHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau), hanya 2% diizinkan dari total penerimaan cukai rokok itu dialokasikan ke 34 provinsi.
Artinya 98% tentu masuk ke pemerintah pusat, itu pun besaran persentase tidak jelas pertanggungjawabannya. Selain sumber dana dari tarif cukai tembakau, pemerintah dan DPR harus bekerja keras untuk menambah objek cukai, tidak sebatas tiga produk/objek.
Oleh karena itu lembaga legislatif harus berjuang keras merevisi UU No 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Selain mengekstensifikasi objek cukai, juga banyak klausul yang memberi ruang bagi industri rokok raksasa melakukan transaksi ekonomi politik, salah satunya pada bunyi Pasal 5 ayat 4: "Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri".
Klausul ini aneh karena pada beberapa negara lain, keterlibatan industri rokok itu dibatasi, sementara di Indonesia sebaliknya, diminta diperhatikan.
Di Thailand dan Kamboja sebagai misal, jumlah objek yang kena cukai mencapai 16 barang, Laos 10 objek, Myanmar 9 objek, dan Vietnam 8 objek. Bahkan beberapa negara telah mengenakan cukai pada klub malam dan diskotek serta perjudian, antara lain Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar. Sementara Malaysia hanya mengenakan cukai untuk perjudian.
Maka besarnya potensi dan objek cukai di Tanah Air sejatinya tidak membuat pemerintah kelimpungan dalam menambal defisit BPJS dan mengorbankan hak rakyat terhadap akses kesehatan yang adil. Banyak hal yang perlu dibenahi secara cerdas, tidak semata menaikkan pungutan.
(zil)