Tiga Alasan Pengangkatan Gatot Eddy Menjadi Wakapolri Dinilai Tepat
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) mengapresiasi langkah Kapolri Jenderal Pol Idham Azis yang mengangkat mantan Kapolda Metro Jaya, Komjen Pol Gatot Eddy menjadi Wakil Kepala Polri (Wakapolri). Ada tiga alasan pengangkatan Gatot dinilai pantas.
Ketua Presidium IPW, Neta S Pane mengatakan pertama Gatot pernah dijagokan di internal Polri untuk menjadi Kapolri. Kedua, prestasi di pendidikan kepolisian dia cukup menonjol. Ketika PTIK dan Sespim, Gatot selalu bersaing dengan mantan Kapolri Tito Karnavian. Tito peringkat satu dan Gatot peringkat dua.
"Ketiga, saat proses Pilpres 2019 sebagai Kapolda Metro Jaya Gatot "cukup berdarah-darah" mengamankan Ibu Kota yang bolak balik diterjang aksi demo yang diwarnai kerusuhan," ujar Neta kepada SINDOnews, Minggu (22/10/2019).
Selain itu, Neta menyebutkan, di era Gatot sebagai Kapolda, Capres 01 Jokowi berhasil menang 4% mengalahkan Capres 02 Prabowo Subianto. Padahal saat itu Capres 02 sangat dominan dan mendominasi Ibu Kota. Di sisi lain hubungan Kapolri dan Gatot cukup dekat sejak lama. (Baca juga: Kapolda Metro Jaya Ditunjuk Jadi Wakapolri )
"Idham memimpin Satgas Merah Putih dan Gatot memimpin Satgas Nusantara. Bagi IPW, Tito, Idham dan Gatot adalah sahabat tiga serangkai. Mereka selalu terlihat bersama sama di saat senggang saat Tito menjadi Kapolri," terangnya.
Masih kata Neta, di Polda Metro Jaya, selama memimpin Gatot berhasil menjaga keamanan Ibu Kota menjadi kondusif. Pengganti Gatot adalah Kapolda Nusa Tenggara Barat, Nana Sujana. Saat Jokowi menjadi Wali Kota solo, Nana saat itu menjadi Kapolresta Solo.
Prestasi Nana relatif biasa dan tidak ada yang menonjol. Menurut dia, tampilnya Nana sebagai Kapolda Metro menunjukkan Jokowi semakin hendak menonjolkan "geng Solo" di Polri.
"Setelah Kapolresta Solo naik super ekspres menjadi Wakil Kapolda Jateng, lalu Sigit mantan Kapolresta Solo menjadi Kabareskrim dan kini mantan Kapolresta Solo Nana menjadi Kapolda metro," jelasnya.
Neta menambahkan tantangan berat yang harus dihadapi Nana sebagai penerus Gatot adalah kemacetan lalu lintas yang luar biasa di Jakarta yang sempat memperangkap presiden Jokowi dalam kesemrawutan lalulintas.
"Soal lalu lintas ini perlu menjadi prioritas Nana. Selain itu kasus narkoba yang terus melonjak. Lalu ancaman terorisme dan aksi demo, terutama dari kelompok radikal, sehingga Nana perlu aktif melakukan pendekatan kepada para ulama dan komunitas keagamaan, seperti yang dilakukan Gatot selama ini. Sedangkan kriminal lainnya di wilayah hukum Polda metro masih tergolong wajar," pungkasnya.
Ketua Presidium IPW, Neta S Pane mengatakan pertama Gatot pernah dijagokan di internal Polri untuk menjadi Kapolri. Kedua, prestasi di pendidikan kepolisian dia cukup menonjol. Ketika PTIK dan Sespim, Gatot selalu bersaing dengan mantan Kapolri Tito Karnavian. Tito peringkat satu dan Gatot peringkat dua.
"Ketiga, saat proses Pilpres 2019 sebagai Kapolda Metro Jaya Gatot "cukup berdarah-darah" mengamankan Ibu Kota yang bolak balik diterjang aksi demo yang diwarnai kerusuhan," ujar Neta kepada SINDOnews, Minggu (22/10/2019).
Selain itu, Neta menyebutkan, di era Gatot sebagai Kapolda, Capres 01 Jokowi berhasil menang 4% mengalahkan Capres 02 Prabowo Subianto. Padahal saat itu Capres 02 sangat dominan dan mendominasi Ibu Kota. Di sisi lain hubungan Kapolri dan Gatot cukup dekat sejak lama. (Baca juga: Kapolda Metro Jaya Ditunjuk Jadi Wakapolri )
"Idham memimpin Satgas Merah Putih dan Gatot memimpin Satgas Nusantara. Bagi IPW, Tito, Idham dan Gatot adalah sahabat tiga serangkai. Mereka selalu terlihat bersama sama di saat senggang saat Tito menjadi Kapolri," terangnya.
Masih kata Neta, di Polda Metro Jaya, selama memimpin Gatot berhasil menjaga keamanan Ibu Kota menjadi kondusif. Pengganti Gatot adalah Kapolda Nusa Tenggara Barat, Nana Sujana. Saat Jokowi menjadi Wali Kota solo, Nana saat itu menjadi Kapolresta Solo.
Prestasi Nana relatif biasa dan tidak ada yang menonjol. Menurut dia, tampilnya Nana sebagai Kapolda Metro menunjukkan Jokowi semakin hendak menonjolkan "geng Solo" di Polri.
"Setelah Kapolresta Solo naik super ekspres menjadi Wakil Kapolda Jateng, lalu Sigit mantan Kapolresta Solo menjadi Kabareskrim dan kini mantan Kapolresta Solo Nana menjadi Kapolda metro," jelasnya.
Neta menambahkan tantangan berat yang harus dihadapi Nana sebagai penerus Gatot adalah kemacetan lalu lintas yang luar biasa di Jakarta yang sempat memperangkap presiden Jokowi dalam kesemrawutan lalulintas.
"Soal lalu lintas ini perlu menjadi prioritas Nana. Selain itu kasus narkoba yang terus melonjak. Lalu ancaman terorisme dan aksi demo, terutama dari kelompok radikal, sehingga Nana perlu aktif melakukan pendekatan kepada para ulama dan komunitas keagamaan, seperti yang dilakukan Gatot selama ini. Sedangkan kriminal lainnya di wilayah hukum Polda metro masih tergolong wajar," pungkasnya.
(kri)