Era Milenial, Berjuang Sesuai Profesi Juga Bentuk Bela Negara
A
A
A
JAKARTA - Salah satu tantangan besar yang dihadapi bangsa saat ini adalah ideologi dan paham radikal yang menjadi ancaman bagi kedaulatan negara.
Radikalisme terus menyebar ke berbagai aspek kehidupan bangsa. Dalam konteks ini, darurat radikalisme mesti juga diperhatikan sebagai ancaman bagi kedaulatan negara dan keamanan masyarakat.
Seluruh warga negara mempunyai kewajiban untuk melakukan bela negara sesuai dengan profesi masing-masing dalam menangkal radikalisme.
Bela negara itu memiliki spektrum yang sangat luas di bebagai bidang kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam menyambut Hari Bela Negara yang jatuh setiap 19 Desember ini, pengamat terorisme, Letjen TNI Purn Agus Surya Bakti mengatakan, dalam konteks zaman milenial seperti sekarang ini jika bicara bela negara tentunya sudah sangat jauh berbeda dengan pemahaman bela negara di masa masa lalu.
Pada masa lalu, bela negara cenderungan ada hubungan dengan militer, pakaian loreng, bahkan pelatihan ala militer yang juga dilakukan oleh institusi militer.
“Tetapi di era milenial sekarang ini, namanya bela negara ada di dalam kehidupan kita masing-masing, seperti bagaimana kita membangun sebuah kehidupan di bidangnya masing-masing sesuai dengan profesi kita untuk mewujudkan yang terbaik. Itu wujud bela negara yang paling simple dan paling mudah,” tutur Letjen TNI Purn Agus Surya Bakti di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Mantan Sesmeko Polhukam ini menjelaskan, bela negara adalah sebuah kekuatan dari seluruh unsur masyarakat Indonesia dalam membela bangsa ini. Namun bukan berarti harus maju berperang, apalagi sekarang ini bukan zamannya perang.
“Perang sekarang adalah perang melawan kehidupan kita masing-masing. Seperti anak sekolah menyelesaikan sekolahnya, mahasiswa menyelesaikan kuliahnya, orang bekerja di pemerintahan, BUMN, swasta bagaimana harus bisa bekerja dengan baik agar hasilnya bisa menguntungkan terhadap semuanya,” tuturnya.
Mengenai maraknya penyebaran paham radikal negatif yang berujung aksi kekerasan seperti terorisme, dia mengajak masyarakat untuk melakukan bela negara dalam melawan penyebaran paham tersebut.
Menurut dia, pengertia radikal saat ini sudah beda. Radikal sekarang tidak bisa dikaitkan dengan agama. Radikal atau kekerasan itu adalah sebuah paham yang dianut untuk mencapai memaksakan keinginannya.
Dia menjelaskan, ada dua pemahaman tentang radikal, yakni positif dan negatif. Dia mencontohkan radikal positif seperti belajar harus radikal agar bisa lulus. Demikian pula bekerja, juga harus radikal agar bisa mendapatkan hasil kerja yang baik. Selain itu guru harus membina anak murid juga harus radikal agar melebihi kemampuan gurunya.
“Tetapi ada juga radikal negatif, yaitu sebuah paham atau keyakinan bahwa dengan kekerasan merupakan ajaran satu satunya yang dapat menyelesaikan setiap masalah. Nah itu sudah muncul di semua kehidupan kita. Kalau kita bicara dulu tentang terorisme itu diawali dengan sebuah radikalisme negatif itu,” tutur mantan Pangdam XIV/Hasanuddin dan Pangdam VII/Wirabuana ini.
Menurut dia, saat ini radikalsime sudah masuk ke semua segmen kehidupan masyarakat yang ingin memaksakan sebuah kekerasan apa yang menjadi tujuannya, baik itu untuk tujuan perorangan, kelompok dan sebagainya.
“Masyarakat punya peran penting untuk mewujudkan bela negara dalam menangkal radikalisme. Bela negara di era sekarang adalah kemampuan semua bangsa Indonesia dengan segala macam profesinya untuk menjaga Indonesia agar aman dan sejahtera. Hal itu bisa terjadi kalau kita bekerja sesuai dengan profesi kita masing-masing dengan baik,” tuturnya.
Radikalisme terus menyebar ke berbagai aspek kehidupan bangsa. Dalam konteks ini, darurat radikalisme mesti juga diperhatikan sebagai ancaman bagi kedaulatan negara dan keamanan masyarakat.
Seluruh warga negara mempunyai kewajiban untuk melakukan bela negara sesuai dengan profesi masing-masing dalam menangkal radikalisme.
Bela negara itu memiliki spektrum yang sangat luas di bebagai bidang kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam menyambut Hari Bela Negara yang jatuh setiap 19 Desember ini, pengamat terorisme, Letjen TNI Purn Agus Surya Bakti mengatakan, dalam konteks zaman milenial seperti sekarang ini jika bicara bela negara tentunya sudah sangat jauh berbeda dengan pemahaman bela negara di masa masa lalu.
Pada masa lalu, bela negara cenderungan ada hubungan dengan militer, pakaian loreng, bahkan pelatihan ala militer yang juga dilakukan oleh institusi militer.
“Tetapi di era milenial sekarang ini, namanya bela negara ada di dalam kehidupan kita masing-masing, seperti bagaimana kita membangun sebuah kehidupan di bidangnya masing-masing sesuai dengan profesi kita untuk mewujudkan yang terbaik. Itu wujud bela negara yang paling simple dan paling mudah,” tutur Letjen TNI Purn Agus Surya Bakti di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Mantan Sesmeko Polhukam ini menjelaskan, bela negara adalah sebuah kekuatan dari seluruh unsur masyarakat Indonesia dalam membela bangsa ini. Namun bukan berarti harus maju berperang, apalagi sekarang ini bukan zamannya perang.
“Perang sekarang adalah perang melawan kehidupan kita masing-masing. Seperti anak sekolah menyelesaikan sekolahnya, mahasiswa menyelesaikan kuliahnya, orang bekerja di pemerintahan, BUMN, swasta bagaimana harus bisa bekerja dengan baik agar hasilnya bisa menguntungkan terhadap semuanya,” tuturnya.
Mengenai maraknya penyebaran paham radikal negatif yang berujung aksi kekerasan seperti terorisme, dia mengajak masyarakat untuk melakukan bela negara dalam melawan penyebaran paham tersebut.
Menurut dia, pengertia radikal saat ini sudah beda. Radikal sekarang tidak bisa dikaitkan dengan agama. Radikal atau kekerasan itu adalah sebuah paham yang dianut untuk mencapai memaksakan keinginannya.
Dia menjelaskan, ada dua pemahaman tentang radikal, yakni positif dan negatif. Dia mencontohkan radikal positif seperti belajar harus radikal agar bisa lulus. Demikian pula bekerja, juga harus radikal agar bisa mendapatkan hasil kerja yang baik. Selain itu guru harus membina anak murid juga harus radikal agar melebihi kemampuan gurunya.
“Tetapi ada juga radikal negatif, yaitu sebuah paham atau keyakinan bahwa dengan kekerasan merupakan ajaran satu satunya yang dapat menyelesaikan setiap masalah. Nah itu sudah muncul di semua kehidupan kita. Kalau kita bicara dulu tentang terorisme itu diawali dengan sebuah radikalisme negatif itu,” tutur mantan Pangdam XIV/Hasanuddin dan Pangdam VII/Wirabuana ini.
Menurut dia, saat ini radikalsime sudah masuk ke semua segmen kehidupan masyarakat yang ingin memaksakan sebuah kekerasan apa yang menjadi tujuannya, baik itu untuk tujuan perorangan, kelompok dan sebagainya.
“Masyarakat punya peran penting untuk mewujudkan bela negara dalam menangkal radikalisme. Bela negara di era sekarang adalah kemampuan semua bangsa Indonesia dengan segala macam profesinya untuk menjaga Indonesia agar aman dan sejahtera. Hal itu bisa terjadi kalau kita bekerja sesuai dengan profesi kita masing-masing dengan baik,” tuturnya.
(dam)