Komisi X DPR Dukung Format Baru Pengganti Ujian Nasional
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mendukung format baru pengganti Ujian Nasional (UN) yang telah diumumkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi (Mendikbud Dikti) Nadiem Makarim dalam rapat koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).
“Format baru tersebut sejalan dengan apa yang diharapkan. Karena selama ini pelaksanaan ujian nasional tidak konsisten dengan Kurikulum K-13 yang menekankan cara berpikir dan logika. Selama ini UN lebih banyak hafalan. Padahal yang kita perlukan adalah mendidik anak-anak kita untuk mempunyai skill, seperti kemampuan literasi dan numerasi,” kata Hetifah dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Hetifah menila, pola UN selama ini menjadi salah satu alasan mengapa nilai PISA (Program Asesmen Siswa Standar Internasional) Indonesia selama ini rendah. “Karena fokus dan penekanannya salah. Tolak ukur lain seperti sikap juga tidak masuk ke dalam asesmen,” ujarnya.
Namun, Hetifah mengingatkan transisi dari sistem yang lama ke yang baru tentu tidak mudah. Pemerintah daerah (pemda), sekolah, guru, siswa, dan orang tua murid harus mendapatkan sosialisasi dan pendampingan yang serius dari pemerintah pusat. “Masih ada waktu 2 tahun. Maksimalkan terutama untuk menyampaikan ke para guru bagaimana metode mengajar yang baik untuk melatih skill-skill yang akan diujikan,” tutur politikus Golkar ini.
Lebih lanjut, Hetifah menyarankan Kemendikbud harus benar-benar mempelajari praktik pendidikan dari negara-negara lainnya, salah satunya Tiongkok. “Tiongkok berhasil mencapai posisi pertama dalam pencapaian PISA, padahal jumlah siswanya sangat besar. Patut dipelajari lebih dalam bagaimana mereka melakukannya,” pintanya.
Sebelumnya, Mendikbud Dikti Nadiem Makarim mengumumkan format pengganti UN yang selama ini diterapkan di berbagai tingkatan sekolah. “Penyelenggaraan UN 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter,” ujar Nadiem.
“Format baru tersebut sejalan dengan apa yang diharapkan. Karena selama ini pelaksanaan ujian nasional tidak konsisten dengan Kurikulum K-13 yang menekankan cara berpikir dan logika. Selama ini UN lebih banyak hafalan. Padahal yang kita perlukan adalah mendidik anak-anak kita untuk mempunyai skill, seperti kemampuan literasi dan numerasi,” kata Hetifah dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Hetifah menila, pola UN selama ini menjadi salah satu alasan mengapa nilai PISA (Program Asesmen Siswa Standar Internasional) Indonesia selama ini rendah. “Karena fokus dan penekanannya salah. Tolak ukur lain seperti sikap juga tidak masuk ke dalam asesmen,” ujarnya.
Namun, Hetifah mengingatkan transisi dari sistem yang lama ke yang baru tentu tidak mudah. Pemerintah daerah (pemda), sekolah, guru, siswa, dan orang tua murid harus mendapatkan sosialisasi dan pendampingan yang serius dari pemerintah pusat. “Masih ada waktu 2 tahun. Maksimalkan terutama untuk menyampaikan ke para guru bagaimana metode mengajar yang baik untuk melatih skill-skill yang akan diujikan,” tutur politikus Golkar ini.
Lebih lanjut, Hetifah menyarankan Kemendikbud harus benar-benar mempelajari praktik pendidikan dari negara-negara lainnya, salah satunya Tiongkok. “Tiongkok berhasil mencapai posisi pertama dalam pencapaian PISA, padahal jumlah siswanya sangat besar. Patut dipelajari lebih dalam bagaimana mereka melakukannya,” pintanya.
Sebelumnya, Mendikbud Dikti Nadiem Makarim mengumumkan format pengganti UN yang selama ini diterapkan di berbagai tingkatan sekolah. “Penyelenggaraan UN 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter,” ujar Nadiem.
(cip)