Publik Dinilai Kecewa KPU Gagal Larang Eks Koruptor di Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menilai, keputusan yang diambil KPU yang tidak memasukkan larangan mantan narapadina kasus korupsi ikut Pilkada serentak dalam Peraturan KPU (PKPU), tidak mengejutkan.
"KPU diperhadapkan pada pilihan-pilihan sulit, antara kebutuhan untuk segera mengesahkan Peraturan KPU tentang Pencalonan karena tahapan dan proses pencalonan pilkada 2020 yang sudah dimulai," tutur Titi saat dihubungi SINDOnews, Minggu (8/12/2019).
"Atau mengatur pelarangan mantan napi dengan resiko berlarut-larutnya pengesahan PKPU Pencalonan akibat perlawanan politik dan hukum yang akan dilakukan oleh pihak-pihak yang terdampak dari pelarangan itu," imbuhnya.
Menurut Titi, KPU saat ini harus mendapatkan beban dari masyarakat untuk membuat pengaturan pelarangan mantan napi karena ruang itu sudah mustahil didapat melalui pembuat Undang-Udang yaitu DPR dan Pemerintah.
Untuk itu, kata Titi, harus dimaklumi kekecewaan yang dirasakan masyarakat karena KPU tidak mengatur hal ini, karena jika itu diminta pada wakil-wakil partai di DPR, sudah tahu bahwa pasti tidak akan terealisasi.
"Mestinya, pengaturan materi muatan pelarangan mantan napi bukan dibebankan pada KPU, tapi mestinya pada para pembuat undang-undang," ujar Titi.
Namun demikian, menurutnya, KPU tetap bisa membuat terobosan soal ini melalui pengaturan teknis dalam tahapan pilkada. Khususnya dalam menerjemahkan persyaratan "jujur dan terbuka" mengakui bahwa dirinya adalah mantan napi.
Ditambahkan dia, KPU bisa mengatur larangan ini di peraturan soal Kampanye dan juga Pemungutan Penghitungan Suara di TPS. Sehingga, penyebaran informasi soal calon yang mantan napi harus pula dilakukan dalam dokumen profil calon pada masa kampanye maupun dokumen-dokumen sosialisasi KPU.
"Termasuk pula diumumkan di TPS pada hari pencoblosan agar masyarakat bisa mendapatkan informasi utuh soal riwayat hukum dan rekam jejak calon secara mudah dan masif," tandasnya.
"KPU diperhadapkan pada pilihan-pilihan sulit, antara kebutuhan untuk segera mengesahkan Peraturan KPU tentang Pencalonan karena tahapan dan proses pencalonan pilkada 2020 yang sudah dimulai," tutur Titi saat dihubungi SINDOnews, Minggu (8/12/2019).
"Atau mengatur pelarangan mantan napi dengan resiko berlarut-larutnya pengesahan PKPU Pencalonan akibat perlawanan politik dan hukum yang akan dilakukan oleh pihak-pihak yang terdampak dari pelarangan itu," imbuhnya.
Menurut Titi, KPU saat ini harus mendapatkan beban dari masyarakat untuk membuat pengaturan pelarangan mantan napi karena ruang itu sudah mustahil didapat melalui pembuat Undang-Udang yaitu DPR dan Pemerintah.
Untuk itu, kata Titi, harus dimaklumi kekecewaan yang dirasakan masyarakat karena KPU tidak mengatur hal ini, karena jika itu diminta pada wakil-wakil partai di DPR, sudah tahu bahwa pasti tidak akan terealisasi.
"Mestinya, pengaturan materi muatan pelarangan mantan napi bukan dibebankan pada KPU, tapi mestinya pada para pembuat undang-undang," ujar Titi.
Namun demikian, menurutnya, KPU tetap bisa membuat terobosan soal ini melalui pengaturan teknis dalam tahapan pilkada. Khususnya dalam menerjemahkan persyaratan "jujur dan terbuka" mengakui bahwa dirinya adalah mantan napi.
Ditambahkan dia, KPU bisa mengatur larangan ini di peraturan soal Kampanye dan juga Pemungutan Penghitungan Suara di TPS. Sehingga, penyebaran informasi soal calon yang mantan napi harus pula dilakukan dalam dokumen profil calon pada masa kampanye maupun dokumen-dokumen sosialisasi KPU.
"Termasuk pula diumumkan di TPS pada hari pencoblosan agar masyarakat bisa mendapatkan informasi utuh soal riwayat hukum dan rekam jejak calon secara mudah dan masif," tandasnya.
(maf)