Aturan Majelis Taklim Wajib Terdaftar di Kemenag Dinilai Tak Subtantif
A
A
A
JAKARTA - Direktur Lingkar Kajian Agama dan Kebudayaan (LKAB) Nusantara, Fadhli Harahab menganggap, Kementerian Agama (Kemenag) kembali mengeluarkan rancangan aturan yang tidak perlu dan tidak subtantif.
"Kali ini Menteri Agama Fachrul Razi berencana mewajibkan majelis taklim terdaftar di kementerian agama," kata Fadhli kepada SINDOnews, Senin (2/12/2019). (Baca juga: Kemenag: Pendaftaran Majelis Taklim untuk Pembinaan, Tak Ada Sanksi)
Meski mengakui aturan itu untuk memudahkan penyaluran bantuan, namun patut dikritisi oleh publik karena dikhawatirkan rencana tersebut memiliki maksud tertentu yang intinya mempersempit ruang gerak dan kreativitas jamaah majelis taklim. Terlebih, rencana itu disusul dengan sertifikasi da'i yang diduga tengah dikaji Kemenag. (Baca juga: Pimpinan DPR Nilai Kebijakan Sertifikasi Majelis Taklim Berlebihan)
"Alih-alih, menambah wawasan keislaman jamaah taklim, malah bisa jadi dicekoki aliran atau mazhab tertentu yang dapat membunuh daya kritis dan kreatif jamaah. Itu yang ditakutkan," tutur Fadhli.
Fadhli memandang, sebagai pranata sosial Islam nonformal, majelis taklim besar dan berkembang karena perjuangan jamaah itu sendiri. Tanpa bantuan pemerintah pun majelis taklim bisa hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
Hampir di setiap masjid dan musala ada majelis taklim. Bahkan kini, majelis taklim telah berkembang hampir di setiap pojok kampung dan wilayah berpenduduk muslim.
”Apakah itu atas bantuan materi atau non materi dari pemerintah? Toh, sampai hari ini mayoritas majelis taklim tidak pernah melakukan hal-hal aneh, taat aturan, ramai dan memakmurkan jamaah," ungkapnya.
Lebih lanjut Fadhli mengatakan, sebagai salah satu wadah berkumpul kaum muslimin, majelis taklim memiliki peran penting di tengah masyarakat. Berbagai kegiatan dibahas dalam forum tersebut. Tidak hanya soal keagamaan, bahkan persoalan lain pun dapat dibahas dan didiskusikan di majelis taklim.
"Maka tak heran jika pemerintah begitu tertarik masuk dan mengintervensi majelis taklim atau tempat pengajian. Melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) inilah, pemerintan mencoba masuk dan mengendalikan majelis taklim," ujarnya.
Di sisi lain, kata Fadhli, rentetan rancangan peraturan yang sedang digodok Kemenag, misalnya sertifikasi ulama, semakin menguatkan pendapat publik bahwa pemerintah mulai mencoba mengontrol majelis taklim. Bisa jadi, da’i hasil sertifikasi dikirim untuk mengisi jadwal majelis taklim dengan membawa misi pemerintah.
Menurut dia, jika itu terjadi sangat riskan tentunya, pemerintah mulai mengatur wadah yang lahir dan besar di tengah masyarakat. Fungsi dan perannya bisa jadi luntur mengikuti arus main stream. "Padahal, di tengah masyarakat kita banyak terjadi perbedaan pendapat, metode bahkan praktik keagamaan. Penyeragaman itulah yang dikhawatirkan terjadi jika pemerintah bernafsu besar mengharuskan majelis taklim terdaftar," papar dia.
Selain itu, sulit dibayangkan jika dalam majelis taklim terjadi penyeragaman pendapat, metode bahkan praktik keagamaan, sementara jamaahnya begitu plural. Sehingga, para jamaah harus pindah tempat pengajian. Alumni UIN Jakarta itu menganggap, hal itu bukan menyelesaikan masalah, justru membuat masalah baru yang dikhawatirkan berujung konflik dan diskriminasi.
"Oleh sebab itu, saya berpendapat tidak perlu ada lagi upaya penerbitan aturan semacam itu. Toh, majelis taklim selama ini berkembang dan telah berhasil menghadirkan islam yang ramah," pungkasnya.
"Kali ini Menteri Agama Fachrul Razi berencana mewajibkan majelis taklim terdaftar di kementerian agama," kata Fadhli kepada SINDOnews, Senin (2/12/2019). (Baca juga: Kemenag: Pendaftaran Majelis Taklim untuk Pembinaan, Tak Ada Sanksi)
Meski mengakui aturan itu untuk memudahkan penyaluran bantuan, namun patut dikritisi oleh publik karena dikhawatirkan rencana tersebut memiliki maksud tertentu yang intinya mempersempit ruang gerak dan kreativitas jamaah majelis taklim. Terlebih, rencana itu disusul dengan sertifikasi da'i yang diduga tengah dikaji Kemenag. (Baca juga: Pimpinan DPR Nilai Kebijakan Sertifikasi Majelis Taklim Berlebihan)
"Alih-alih, menambah wawasan keislaman jamaah taklim, malah bisa jadi dicekoki aliran atau mazhab tertentu yang dapat membunuh daya kritis dan kreatif jamaah. Itu yang ditakutkan," tutur Fadhli.
Fadhli memandang, sebagai pranata sosial Islam nonformal, majelis taklim besar dan berkembang karena perjuangan jamaah itu sendiri. Tanpa bantuan pemerintah pun majelis taklim bisa hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
Hampir di setiap masjid dan musala ada majelis taklim. Bahkan kini, majelis taklim telah berkembang hampir di setiap pojok kampung dan wilayah berpenduduk muslim.
”Apakah itu atas bantuan materi atau non materi dari pemerintah? Toh, sampai hari ini mayoritas majelis taklim tidak pernah melakukan hal-hal aneh, taat aturan, ramai dan memakmurkan jamaah," ungkapnya.
Lebih lanjut Fadhli mengatakan, sebagai salah satu wadah berkumpul kaum muslimin, majelis taklim memiliki peran penting di tengah masyarakat. Berbagai kegiatan dibahas dalam forum tersebut. Tidak hanya soal keagamaan, bahkan persoalan lain pun dapat dibahas dan didiskusikan di majelis taklim.
"Maka tak heran jika pemerintah begitu tertarik masuk dan mengintervensi majelis taklim atau tempat pengajian. Melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) inilah, pemerintan mencoba masuk dan mengendalikan majelis taklim," ujarnya.
Di sisi lain, kata Fadhli, rentetan rancangan peraturan yang sedang digodok Kemenag, misalnya sertifikasi ulama, semakin menguatkan pendapat publik bahwa pemerintah mulai mencoba mengontrol majelis taklim. Bisa jadi, da’i hasil sertifikasi dikirim untuk mengisi jadwal majelis taklim dengan membawa misi pemerintah.
Menurut dia, jika itu terjadi sangat riskan tentunya, pemerintah mulai mengatur wadah yang lahir dan besar di tengah masyarakat. Fungsi dan perannya bisa jadi luntur mengikuti arus main stream. "Padahal, di tengah masyarakat kita banyak terjadi perbedaan pendapat, metode bahkan praktik keagamaan. Penyeragaman itulah yang dikhawatirkan terjadi jika pemerintah bernafsu besar mengharuskan majelis taklim terdaftar," papar dia.
Selain itu, sulit dibayangkan jika dalam majelis taklim terjadi penyeragaman pendapat, metode bahkan praktik keagamaan, sementara jamaahnya begitu plural. Sehingga, para jamaah harus pindah tempat pengajian. Alumni UIN Jakarta itu menganggap, hal itu bukan menyelesaikan masalah, justru membuat masalah baru yang dikhawatirkan berujung konflik dan diskriminasi.
"Oleh sebab itu, saya berpendapat tidak perlu ada lagi upaya penerbitan aturan semacam itu. Toh, majelis taklim selama ini berkembang dan telah berhasil menghadirkan islam yang ramah," pungkasnya.
(cip)