Friksi Internal Gerakan Kemerdekaan Papua
A
A
A
JAKARTA - Melihat gerakan kemerdekaan Papua tidak bisa sebagai sebuah gerakan tunggal. Ada kelompok yang berkampanye di luar negeri dengan pendekatan diplomasi, ada pula yang bergerak di dalam negeri dengan pendekatan senjata dan kekerasan.
“ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) pimpinan Benny Wenda itu aktif di dunia internasional. Sedangkan di dalam negeri ada OPM yang mengedepankan kekerasan,” ujar Pradono Budi Saputro, Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia dalam diskusi yang berlangsung di Kampus USNI, Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Jamaknya faksi dan beragamnya cara yang mereka lakukan untuk memerdekakan wilayah Papua, sebenarnya bukan baru kali ini terungkap. Tahun 2015 lalu, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya, 'The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement' sudah menyatakan bahwa di internal Organisasi Papua Merdeka (OPM) sendiri sudah pecah sejak awal terbentuknya di tahun 1971 silam. Dua orang pendiri OPM, Jacob Prai dan Seth Roemkorem terpecah menjadi OPM Mavic (Markas Victoria) dan OPM Pemka (Pemulihan Keadilan).
Friksi internal dalam kelompok pro kemerdekaan Papua itu pun sepertinya terus berlanjut sampai saat ini. Contohnya Juli lalu, Sebby Sambom selaku juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), membantah pernyataan Benny Wenda dari ULMWP mengenai bersatunya tiga kelompok bersenjata di Papua Barat di bawah ULMWP.
Dengan adanya friksi demikian, bukan tidak mungkin justru jatuh korban dari masyarakat sipil Papua itu sendiri. “Di Wamena ada indikasi kelompok separatis lepas tangan (tidak mengaku) sebagai dalang. Mereka hanya berusaha melindungi diri dari tuduhan rasisme mengingat korbannya tidak hanya pendatang tapi juga etnis Papua,” kata Pradono lebih lanjut.
Pada kesempatan yang sama, Laksamana Muda (Purn) Soleman Ponto berpendapat bahwa gerakan Papua merdeka bukanlah organisasi yang terstruktur dengan rapih. “Mereka hanya kriminal bersenjata (KKB),” kata Soleman dalam diskusi yang berlangsung di kampus USNI itu.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa cara pemerintah mengatasi KKB gerakan Papua merdeka adalah dengan mengerahkan aparat penegak hukum, yaitu Polri. “Bukan TNI yang diturunkan untuk mengatasi gangguan keamanan di Papua itu. Karena mereka hanya kriminal,” ujar mantan kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI itu.
Berangkat dari banyaknya faksi dalam gerakan kemerdekaan Papua yang cenderung kriminal itu, Soleman menegaskan bahwa konsekuensinya adalah menambah jumlah anggota Polisi di sana. “Itu untuk memberantas banyaknya pengganggu keamanan di Papua,” imbuhnya. Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah mau berdialog dengan sabar, mendengar permintaan faksi-faksi tersebut, serta memberi penjelasan bagi yang mau berdialog.
Habelino Sawaki, tokoh pemuda yang menjadi pembicara dalam diskusi siang itu menambahkan bahwa pendekatan dialogis atau dengan hati yang tulus merupakan langkah tepat untuk mempertahankan Papua. “Infrastruktur keras dan lunak harus dibangun. Sehingga semua orang Papua bisa menikmatinya,” kata Habelino yang merupakan putra dari Waropen, Papua Barat.
Ia sendiri tidak menyangkal bahwa ada banyak faksi dalam gerakan kemerdekaan Papua. “Dampaknya adalah pembangunan tidak berjalan, korban berjatuhan, dan tidak ada investasi di Papua,” imbuh Habelino.
“Pendekatan keamanan di Papua harus diubah menjadi human security, bukan militeristik,” timpal DR I Nyoman Sudira, Pakar Keamanan dari Universitas Parahyangan. Menurutnya, pendekatan militeristik semata hanya akan menjadikan negara sebagai musuh bersama. “Ancaman di Papua itu adalah sempitnya ruang gerak pemerintah untuk melindungi orang Papua,” kata doktor lulusan Helsinki itu.
“Satu-satunya jalan untuk memperbaiki Papua adalah berikan dia fitur keamanan baru yang namanya Copenhagen School dimana dalam konsep ini isu keamanan termasuk ekonomi, kesehatan, sosial-budaya,” pungkasnya.
“ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) pimpinan Benny Wenda itu aktif di dunia internasional. Sedangkan di dalam negeri ada OPM yang mengedepankan kekerasan,” ujar Pradono Budi Saputro, Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia dalam diskusi yang berlangsung di Kampus USNI, Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Jamaknya faksi dan beragamnya cara yang mereka lakukan untuk memerdekakan wilayah Papua, sebenarnya bukan baru kali ini terungkap. Tahun 2015 lalu, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya, 'The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement' sudah menyatakan bahwa di internal Organisasi Papua Merdeka (OPM) sendiri sudah pecah sejak awal terbentuknya di tahun 1971 silam. Dua orang pendiri OPM, Jacob Prai dan Seth Roemkorem terpecah menjadi OPM Mavic (Markas Victoria) dan OPM Pemka (Pemulihan Keadilan).
Friksi internal dalam kelompok pro kemerdekaan Papua itu pun sepertinya terus berlanjut sampai saat ini. Contohnya Juli lalu, Sebby Sambom selaku juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), membantah pernyataan Benny Wenda dari ULMWP mengenai bersatunya tiga kelompok bersenjata di Papua Barat di bawah ULMWP.
Dengan adanya friksi demikian, bukan tidak mungkin justru jatuh korban dari masyarakat sipil Papua itu sendiri. “Di Wamena ada indikasi kelompok separatis lepas tangan (tidak mengaku) sebagai dalang. Mereka hanya berusaha melindungi diri dari tuduhan rasisme mengingat korbannya tidak hanya pendatang tapi juga etnis Papua,” kata Pradono lebih lanjut.
Pada kesempatan yang sama, Laksamana Muda (Purn) Soleman Ponto berpendapat bahwa gerakan Papua merdeka bukanlah organisasi yang terstruktur dengan rapih. “Mereka hanya kriminal bersenjata (KKB),” kata Soleman dalam diskusi yang berlangsung di kampus USNI itu.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa cara pemerintah mengatasi KKB gerakan Papua merdeka adalah dengan mengerahkan aparat penegak hukum, yaitu Polri. “Bukan TNI yang diturunkan untuk mengatasi gangguan keamanan di Papua itu. Karena mereka hanya kriminal,” ujar mantan kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI itu.
Berangkat dari banyaknya faksi dalam gerakan kemerdekaan Papua yang cenderung kriminal itu, Soleman menegaskan bahwa konsekuensinya adalah menambah jumlah anggota Polisi di sana. “Itu untuk memberantas banyaknya pengganggu keamanan di Papua,” imbuhnya. Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah mau berdialog dengan sabar, mendengar permintaan faksi-faksi tersebut, serta memberi penjelasan bagi yang mau berdialog.
Habelino Sawaki, tokoh pemuda yang menjadi pembicara dalam diskusi siang itu menambahkan bahwa pendekatan dialogis atau dengan hati yang tulus merupakan langkah tepat untuk mempertahankan Papua. “Infrastruktur keras dan lunak harus dibangun. Sehingga semua orang Papua bisa menikmatinya,” kata Habelino yang merupakan putra dari Waropen, Papua Barat.
Ia sendiri tidak menyangkal bahwa ada banyak faksi dalam gerakan kemerdekaan Papua. “Dampaknya adalah pembangunan tidak berjalan, korban berjatuhan, dan tidak ada investasi di Papua,” imbuh Habelino.
“Pendekatan keamanan di Papua harus diubah menjadi human security, bukan militeristik,” timpal DR I Nyoman Sudira, Pakar Keamanan dari Universitas Parahyangan. Menurutnya, pendekatan militeristik semata hanya akan menjadikan negara sebagai musuh bersama. “Ancaman di Papua itu adalah sempitnya ruang gerak pemerintah untuk melindungi orang Papua,” kata doktor lulusan Helsinki itu.
“Satu-satunya jalan untuk memperbaiki Papua adalah berikan dia fitur keamanan baru yang namanya Copenhagen School dimana dalam konsep ini isu keamanan termasuk ekonomi, kesehatan, sosial-budaya,” pungkasnya.
(kri)