Fahira Idris: Penambahan Masa Jabatan Presiden Mengada-ada
A
A
A
JAKARTA - Wacana penambahan periode masa jabatan presiden menjadi tiga periode menguat seiring dengan usul amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang tengah digodok Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR).
Selain tidak relevan dan bertolak belakang dengan tujuan reformasi, wacana ini dinilai ingin mengarahkan diskursus amendemen hanya bicara soal kekuasaan.
Padahal banyak diskursus lain yang lebih penting dan substansial untuk dibahas dalam amendemen terbatas UUD 1945.
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR, Fahira Idris mengungkapkan, amendemen terbatas UUD 1945 diharapkan menyentuh hal-hal substansif yang menjadi persoalan bangsa saat ini dan ke depan. Artinya, kata dia, amendemen harus dimanfaatkan sebaik sebagai ikhtiar bangsa ini agar langkah ke depan lebih pasti dan mantap.
Oleh karena itu, sambung Fahira, kelemahan-kelemahan sistem ketatanegaraan selama ini secara langsung maupun tidak langsung menjadi hambatan pembangunan dan pencapaian kesejahteraan rakyat harus menjadi concern diskursus amendemen.
“Usul agar konstitusi membolehkan presiden menjabat tiga periode itu mengada-ada dan tidak relevan. Bukan itu yang saat ini Indonesia butuhkan. Kita butuh penguatan sistem presidensial dan penguatan implementasi otonomi daerah. Jika amendemen merealisasikan keduanya maka arah dan wajah bangsa ini bisa lebih baik ke depan,” tutur Fahira di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (26/11/2019). (Baca Juga: Arsul: Tidak Ada Risalah Rapat MPR Terkait Mengubah Masa Jabatan Presiden)
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DKI Jakarta itu mengatakan saat ini prinsip-prinsip presidensialisme mengalami reduksi, penurunan kualitas dan penerapannya berjalan kurang efektif akibat sistem pemerintahan dan desain institusi parlemen yang tidak mendukung.
Penguatan sistem presidensial dinilai akan melahirkan pemimpin kuat, namun semua tindak tanduknya selalu berada dalam koridor pemerintahan demokratis.
Efek baik dari penguatan sistem presidensial adalah rakyat akan mendapatkan presiden yang juga seorang negarawan. Karena sistem ini "memaksa" Presiden mempunyai karakter kuat tetapi sekaligus punya kemampuan persuasif dan demokratis.
“Tujuan penguatan sistem presidensial juga agar, siapa pun yang menjadi presiden tidak terjebak dalam sebuah koalisi besar yang jika diselami maknanya hanya bagi-bagi kekuasaan. Rangkap jabatan di politik dan di pemerintahan juga tidak akan terjadi jika sistem presidensial kita benar-benar kuat,” tutur Fahira. (Baca Juga: PKS: Masa Jabatan Presiden Ditambah, Indonesia Kembali ke Orde Baru)
Sementara itu terkait penguatan otonomi daerah untuk mempercepat kesejahteraan rakyat dan memperkokoh NKRI juga idealnya menjadi concern atau substansi dalam wacana amendemen.
Ke depan, lanjut dia, perlu memformulasikan sistem dan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Diskursus misalnya soal perumusan ulang format otonomi daerah perlu dibicarakan dalam amendemen sehingga mempunyai dasar jika ke depan Indonesia ingin merumuskan sebuah undang-undang otonomi daerah yang lebih sempurna lagi.
“Amendemen harus juga memikirkan apakah otonomi daerah selama sudah benar-benar bermuara kepada tujuannya mempercepat kesejahteraan. Diskursus misalnya kekhususan daerah otonom di bidang ekonomi sebagai jalan mempercepat kesejahteaan perlu menjadi perhatian kita bersama sebagai salah satu diskursus amendemen,” tuturnya.
Selain tidak relevan dan bertolak belakang dengan tujuan reformasi, wacana ini dinilai ingin mengarahkan diskursus amendemen hanya bicara soal kekuasaan.
Padahal banyak diskursus lain yang lebih penting dan substansial untuk dibahas dalam amendemen terbatas UUD 1945.
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR, Fahira Idris mengungkapkan, amendemen terbatas UUD 1945 diharapkan menyentuh hal-hal substansif yang menjadi persoalan bangsa saat ini dan ke depan. Artinya, kata dia, amendemen harus dimanfaatkan sebaik sebagai ikhtiar bangsa ini agar langkah ke depan lebih pasti dan mantap.
Oleh karena itu, sambung Fahira, kelemahan-kelemahan sistem ketatanegaraan selama ini secara langsung maupun tidak langsung menjadi hambatan pembangunan dan pencapaian kesejahteraan rakyat harus menjadi concern diskursus amendemen.
“Usul agar konstitusi membolehkan presiden menjabat tiga periode itu mengada-ada dan tidak relevan. Bukan itu yang saat ini Indonesia butuhkan. Kita butuh penguatan sistem presidensial dan penguatan implementasi otonomi daerah. Jika amendemen merealisasikan keduanya maka arah dan wajah bangsa ini bisa lebih baik ke depan,” tutur Fahira di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (26/11/2019). (Baca Juga: Arsul: Tidak Ada Risalah Rapat MPR Terkait Mengubah Masa Jabatan Presiden)
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DKI Jakarta itu mengatakan saat ini prinsip-prinsip presidensialisme mengalami reduksi, penurunan kualitas dan penerapannya berjalan kurang efektif akibat sistem pemerintahan dan desain institusi parlemen yang tidak mendukung.
Penguatan sistem presidensial dinilai akan melahirkan pemimpin kuat, namun semua tindak tanduknya selalu berada dalam koridor pemerintahan demokratis.
Efek baik dari penguatan sistem presidensial adalah rakyat akan mendapatkan presiden yang juga seorang negarawan. Karena sistem ini "memaksa" Presiden mempunyai karakter kuat tetapi sekaligus punya kemampuan persuasif dan demokratis.
“Tujuan penguatan sistem presidensial juga agar, siapa pun yang menjadi presiden tidak terjebak dalam sebuah koalisi besar yang jika diselami maknanya hanya bagi-bagi kekuasaan. Rangkap jabatan di politik dan di pemerintahan juga tidak akan terjadi jika sistem presidensial kita benar-benar kuat,” tutur Fahira. (Baca Juga: PKS: Masa Jabatan Presiden Ditambah, Indonesia Kembali ke Orde Baru)
Sementara itu terkait penguatan otonomi daerah untuk mempercepat kesejahteraan rakyat dan memperkokoh NKRI juga idealnya menjadi concern atau substansi dalam wacana amendemen.
Ke depan, lanjut dia, perlu memformulasikan sistem dan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Diskursus misalnya soal perumusan ulang format otonomi daerah perlu dibicarakan dalam amendemen sehingga mempunyai dasar jika ke depan Indonesia ingin merumuskan sebuah undang-undang otonomi daerah yang lebih sempurna lagi.
“Amendemen harus juga memikirkan apakah otonomi daerah selama sudah benar-benar bermuara kepada tujuannya mempercepat kesejahteraan. Diskursus misalnya kekhususan daerah otonom di bidang ekonomi sebagai jalan mempercepat kesejahteaan perlu menjadi perhatian kita bersama sebagai salah satu diskursus amendemen,” tuturnya.
(dam)