Upaya KPU Larang Eks Napi Korupsi Maju Pilkada Buang-buang Energi
A
A
A
JAKARTA - Wacana Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan melarang mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak menuai polemik di masyarakat. Rencananya, larangan itu akan dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU).
Anggota Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin mengatakan pihaknya tak ingin mematahkan semangat KPU dalam upaya ikut mencegah dan memberantas perilaku korupsi di Indonesia. Hanya saja, caranya tidak tepat jika menggunakan norma PKPU. Terlebih, norma yang melarang napi korupsi maju Pilkada juga pernah dibatalkan oleh Mahkamah Kontitusi (MK).
"Pertama, UUD Pasal 28 D dan Pasal 73 UU HAM, karena hal memilih dan pilih termasuk hak politik, maka pembatasan hak asasi harus melalui UU," ujar Zulfikar saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk 'Ngeri-ngeri Sedap Larangan Napi Korupsi Maju Pilkada' yang digelar Ikatan Jurnalis UIN Jakarta (IJU), di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta, Senin (25/11/2019).
"PKPU ini pernah dimunculkan di Pileg, kalah oleh MA dengan alasan materi muatan harus diatur oleh UU. Karena Kalau mau dilarang dalam UU, maka bertabrakan dengan putusan MK soal ini," papar dia.
Politikus Partai Golkar ini menyatakan sikap partai politik terhadap isu ini tidak berarti tidak setuju dengan semangat KPU dalam memberantas korupsi. Namun, seharusnya semangat itu tidak bertabrakan dengan putusan UU yang di atasnya.
"Saya yakin jika diloloskan oleh KPU, maka (PKPU larangan napi korupsi) akan digugat ke MA. Putusan MA bisa sama meskpun ranahnya berbeda," jelasnya.
Sementara itu di forum yang sama, Pengamat Hukum asal Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatakan untuk mengukur boleh atau tidaknya warga negara termasuk warga negara yang dipidana kasus tindak pidana korupsi maju dalam kontestasi demokrasi harus diukur berdasarkan aturan yang ada.
"Mengukurnya dengan norma dengan putusan-putusan pengadilan. Kalau seseorang sudah menjalani putusan kemudian dia dihukum dalam konteks politik bagaimana nilai Pancasila kita, bagaimana nilai politik kita, bagaimana nilai regulasi kita," kata Suparji.
Untuk itu, kata Suparji, eksistensi KPU dalam menyusun norma aturan dalam pilkada harus sesuai norma UU Pemilu. "Norma ini dari UU langsung kepada PKPU. Tidak ada ruang publik untuk (hukum lain) kemudian ikut peran di situ," ujarnya.
Dengan kata lain, Suparji mengatakan, dahulu masih ada istilah Peraturan Pemerintah yang langsung menjadi otoritas PKPU dan akibatnya seluruh prosedur itu masuk dalam substansi. Sedangkan dengan rencana PKPU yang akan melarang napi korupsi maju Pilkada, maka KPU masuk dalam teknis dan substansi.
"Prosedur apa yang sudah disampaikan bagaimana kita berpikir tidak ahistoris bagaimana sudah pernah diputuskan dibatalkan MA, kemudian muncul PKPU tentang larangan caleg dari napi," ucapnya.
Suparji menilai, upaya KPU melarang napi korupsi maju Pilkada terkesan buang-buang energi. Sebaliknya, mengapa KPU tidak mencoba melakukan gerakan lebih produktif melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dan sebagainya.
"Jadi poin saya adalah bagaimana ditinjau dari perspektif regulasi secara jelas maka tidak boleh ada peraturan di bawahnya yang bertentangan dengan di atasnya," pungkas dia.
Anggota Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin mengatakan pihaknya tak ingin mematahkan semangat KPU dalam upaya ikut mencegah dan memberantas perilaku korupsi di Indonesia. Hanya saja, caranya tidak tepat jika menggunakan norma PKPU. Terlebih, norma yang melarang napi korupsi maju Pilkada juga pernah dibatalkan oleh Mahkamah Kontitusi (MK).
"Pertama, UUD Pasal 28 D dan Pasal 73 UU HAM, karena hal memilih dan pilih termasuk hak politik, maka pembatasan hak asasi harus melalui UU," ujar Zulfikar saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk 'Ngeri-ngeri Sedap Larangan Napi Korupsi Maju Pilkada' yang digelar Ikatan Jurnalis UIN Jakarta (IJU), di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta, Senin (25/11/2019).
"PKPU ini pernah dimunculkan di Pileg, kalah oleh MA dengan alasan materi muatan harus diatur oleh UU. Karena Kalau mau dilarang dalam UU, maka bertabrakan dengan putusan MK soal ini," papar dia.
Politikus Partai Golkar ini menyatakan sikap partai politik terhadap isu ini tidak berarti tidak setuju dengan semangat KPU dalam memberantas korupsi. Namun, seharusnya semangat itu tidak bertabrakan dengan putusan UU yang di atasnya.
"Saya yakin jika diloloskan oleh KPU, maka (PKPU larangan napi korupsi) akan digugat ke MA. Putusan MA bisa sama meskpun ranahnya berbeda," jelasnya.
Sementara itu di forum yang sama, Pengamat Hukum asal Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatakan untuk mengukur boleh atau tidaknya warga negara termasuk warga negara yang dipidana kasus tindak pidana korupsi maju dalam kontestasi demokrasi harus diukur berdasarkan aturan yang ada.
"Mengukurnya dengan norma dengan putusan-putusan pengadilan. Kalau seseorang sudah menjalani putusan kemudian dia dihukum dalam konteks politik bagaimana nilai Pancasila kita, bagaimana nilai politik kita, bagaimana nilai regulasi kita," kata Suparji.
Untuk itu, kata Suparji, eksistensi KPU dalam menyusun norma aturan dalam pilkada harus sesuai norma UU Pemilu. "Norma ini dari UU langsung kepada PKPU. Tidak ada ruang publik untuk (hukum lain) kemudian ikut peran di situ," ujarnya.
Dengan kata lain, Suparji mengatakan, dahulu masih ada istilah Peraturan Pemerintah yang langsung menjadi otoritas PKPU dan akibatnya seluruh prosedur itu masuk dalam substansi. Sedangkan dengan rencana PKPU yang akan melarang napi korupsi maju Pilkada, maka KPU masuk dalam teknis dan substansi.
"Prosedur apa yang sudah disampaikan bagaimana kita berpikir tidak ahistoris bagaimana sudah pernah diputuskan dibatalkan MA, kemudian muncul PKPU tentang larangan caleg dari napi," ucapnya.
Suparji menilai, upaya KPU melarang napi korupsi maju Pilkada terkesan buang-buang energi. Sebaliknya, mengapa KPU tidak mencoba melakukan gerakan lebih produktif melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dan sebagainya.
"Jadi poin saya adalah bagaimana ditinjau dari perspektif regulasi secara jelas maka tidak boleh ada peraturan di bawahnya yang bertentangan dengan di atasnya," pungkas dia.
(kri)