Sukmawati dan Pebasket Dennis Rodman
A
A
A
Hariqo Wibawa Satria Direktur Eksekutif Komunikonten,
Penulis Buku Seni Mengelola Tim Media Sosial: 200 Tips Ampuh Meningkatkan Performa Organisasi di Internet dengan Anggaran Terbatas
Anak basket kenal dong dengan Dennis Rodman. Tatonya banyak. Lidah, bibir, hidungnya ditindik. Dibanding Awkarin, Young Lex atau Jerinx, drumernya Superman Is Dead, saya pikir Dennis Rodman lebih nyentrik.
Saya fans -nya Dennis Rodman, saat "Si Bengal" ini membela Chicago Bulls bersama Michael Jordan, Scottie Pippen, Steve Kerr, Toni Kukoc, Ron Harper, dll. Di AC Milan, Rodman ini kira-kira mirip si "Si Badak" Gennaro Gattuso.
Ternyata, Dennis Rodman adalah orang kepercayaan pemerintah Amerika Serikat (AS), baik di era Presiden Barack Obama maupun Donald Trump. Berkali-kali mantan pacar Madonna ini ke Korea Utara, bermain basket dan ngobrol santai dengan pemimpin negara itu, Kim Jong-un.
Gilanya pada 2018, Rodman ke Korea Utara justru saat hubungan AS dan Korea Utara sedang memanas terkait nuklir. Rodman aman, rupanya Jong-un dan banyak anak muda Korea Utara adalah fansnya, bahkan adik kandung Jong-un adalah pacar Rodman dan hampir dinikahinya. Rodman sukses mengubah citra Trump di mata Jong-un, ia juru bicara pemerintah AS yang "supernakal" tapi tidak bicara sembarangan.
Sekarang hubungan AS dan Korea Utara mendingin. Silakan diteliti, apakah ada kontribusi Dennis Rodman. Di periode pertama Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden RI, Inggris menugaskan Moazzam Tufail Malik sebagai duta besar (dubes) Inggris untuk Indonesia. Beberapa media di Indonesia membuat judul berita "Moazzam Malik, Dubes Inggris untuk RI Pertama yang Muslim dan Gemar Lotek" dan "Moazzam Malik, Dubes Muslim Inggris Pertama untuk Indonesia", dll.
Saya pernah mengkritik terbuka Moazzam T Malik lewat media, karena postingannya di media sosial tentang Papua membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlepas dari itu, sosok Moazzam T Malik ini layak jadi inspirasi bagi Kementerian Luar Negeri maupun para diplomat.
Bayangkan, sebagai dubes, ia berkeliling ke banyak tempat, melewati sawah, perdesaan, bahkan menginap di hotel sederhana di Bantul, Yogyakarta. Banyak apresiasi terhadapnya. Sebagai juru bicara pemerintah Inggris, ia sukses membangun citra baik Inggris di Indonesia. Jangan heran, sebelumnya Moazzam juga sukses ditempatkan pemerintah Inggris di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika.
Begitulah Amerika Serikat dan Inggris memilih juru bicaranya, sangat-sangat selektif, menyesuaikan dengan target audience serta rekam jejak yang bersangkutan. Lalu, apa hubungannya dengan Ibu Sukmawati Soekarnoputri. Dulu saya yakin ia sosok yang tepat menjadi juru bicara (tidak resmi) tentang pentingnya toleransi, nasionalisme dll. Apalagi ada Soekarno yang melekat di namanya.
Namun, setelah ia melakukan blunder dengan menyebut kidung Ibu Indonesia lebih merdu dari alunan azan, membandingkan Alquran dengan Pancasila, membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Soekarno, rasanya masyarakat sudah malas mendengarkan omongannya. "Bagaimana mungkin orang yang tidak toleran, tapi bicara toleransi, menyimpan kebencian, tapi bicara perdamaian."
Baik di tingkat nasional apalagi internasional, pernyataan Sukmawati itu bermasalah. Silakan cek Pembukaan UUD 1945 yang berisi tujuan NKRI: "..memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...". Saya garis bawahi kata "ketertiban dunia".
Di belahan dunia mana pun, kalimat Sukmawati itu bisa membuat yang tertib menjadi berantakan, damai menjadi terurai, yang teratur menjadi terbentur. Saya berbaik sangka, Ibu Sukmawati pasti sudah membaca pidato Bung Karno berjudul "Indonesia Negara ber-Tuhan", namun lupa isinya. Atau Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB 30 September 1960 berjudul "To Build The World A New", di halaman 11 dan 12 dari 28 halaman pidato itu, Bung Karno mengatakan: "Perlucutan senjata yang sesungguhnya adalah perlucutan senjata di dalam hati manusia, perlucutan ketidakpercayaan dan kebencian manusia - hlm 11".
Halaman 12: Bung Karno: "Akan tetapi marilah kita realistis. Perlucutan senjata tidak jaminan bagi perdamaian di dunia yang dalam kesengsaraan dan kesukaran. Perdamaian hanya akan datang, jika sebab-sebab ketegangan dan bentrokan disingkirkan ".
Sukmawati beruntung, ia lahir dan besar di Indonesia yang masyarakatnya sangat toleran dan pemaaf. Asalkan Sukmawati benar-benar jujur, mengakui kesembronoannya, menjamin tidak mengulangi kesalahan, maka perlahan-lahan ia akan didengarkan kembali. Yang dikhawatirkan adalah jika Sukmawati mengulangi kesalahan, bisa jadi niatnya meredam radikalisme, namun tindakannya menghidupkan radikalisme.
Saya teringat tulisan Abdul Rivai yang pernah dikutip wartawan senior almarhum Rosihan Anwar dan penulis buku-buku tentang Pancasila, Yudi Latif. Pada 1902, Abdul Rivai menulis di majalah Bintang Hindia . Untuk ukuran tahun itu, pastilah tulisan beliau itu sangat pedas sekali, entahlah pada 2019 ini.
Abdul Rivai tokoh pers nasional, yang juga dokter Indonesia pertama lulusan luar negeri itu menulis 117 tahun yang lalu: "Tak ada gunanya lagi membicarakan 'bangsawan usul' sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek moyang kita keturunan bangsawan, maka kita disebut bangsawan, meski pengetahuan dan capaian kita bagai katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan 'bangsawan pikiran' ."
Penulis Buku Seni Mengelola Tim Media Sosial: 200 Tips Ampuh Meningkatkan Performa Organisasi di Internet dengan Anggaran Terbatas
Anak basket kenal dong dengan Dennis Rodman. Tatonya banyak. Lidah, bibir, hidungnya ditindik. Dibanding Awkarin, Young Lex atau Jerinx, drumernya Superman Is Dead, saya pikir Dennis Rodman lebih nyentrik.
Saya fans -nya Dennis Rodman, saat "Si Bengal" ini membela Chicago Bulls bersama Michael Jordan, Scottie Pippen, Steve Kerr, Toni Kukoc, Ron Harper, dll. Di AC Milan, Rodman ini kira-kira mirip si "Si Badak" Gennaro Gattuso.
Ternyata, Dennis Rodman adalah orang kepercayaan pemerintah Amerika Serikat (AS), baik di era Presiden Barack Obama maupun Donald Trump. Berkali-kali mantan pacar Madonna ini ke Korea Utara, bermain basket dan ngobrol santai dengan pemimpin negara itu, Kim Jong-un.
Gilanya pada 2018, Rodman ke Korea Utara justru saat hubungan AS dan Korea Utara sedang memanas terkait nuklir. Rodman aman, rupanya Jong-un dan banyak anak muda Korea Utara adalah fansnya, bahkan adik kandung Jong-un adalah pacar Rodman dan hampir dinikahinya. Rodman sukses mengubah citra Trump di mata Jong-un, ia juru bicara pemerintah AS yang "supernakal" tapi tidak bicara sembarangan.
Sekarang hubungan AS dan Korea Utara mendingin. Silakan diteliti, apakah ada kontribusi Dennis Rodman. Di periode pertama Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden RI, Inggris menugaskan Moazzam Tufail Malik sebagai duta besar (dubes) Inggris untuk Indonesia. Beberapa media di Indonesia membuat judul berita "Moazzam Malik, Dubes Inggris untuk RI Pertama yang Muslim dan Gemar Lotek" dan "Moazzam Malik, Dubes Muslim Inggris Pertama untuk Indonesia", dll.
Saya pernah mengkritik terbuka Moazzam T Malik lewat media, karena postingannya di media sosial tentang Papua membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlepas dari itu, sosok Moazzam T Malik ini layak jadi inspirasi bagi Kementerian Luar Negeri maupun para diplomat.
Bayangkan, sebagai dubes, ia berkeliling ke banyak tempat, melewati sawah, perdesaan, bahkan menginap di hotel sederhana di Bantul, Yogyakarta. Banyak apresiasi terhadapnya. Sebagai juru bicara pemerintah Inggris, ia sukses membangun citra baik Inggris di Indonesia. Jangan heran, sebelumnya Moazzam juga sukses ditempatkan pemerintah Inggris di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika.
Begitulah Amerika Serikat dan Inggris memilih juru bicaranya, sangat-sangat selektif, menyesuaikan dengan target audience serta rekam jejak yang bersangkutan. Lalu, apa hubungannya dengan Ibu Sukmawati Soekarnoputri. Dulu saya yakin ia sosok yang tepat menjadi juru bicara (tidak resmi) tentang pentingnya toleransi, nasionalisme dll. Apalagi ada Soekarno yang melekat di namanya.
Namun, setelah ia melakukan blunder dengan menyebut kidung Ibu Indonesia lebih merdu dari alunan azan, membandingkan Alquran dengan Pancasila, membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Soekarno, rasanya masyarakat sudah malas mendengarkan omongannya. "Bagaimana mungkin orang yang tidak toleran, tapi bicara toleransi, menyimpan kebencian, tapi bicara perdamaian."
Baik di tingkat nasional apalagi internasional, pernyataan Sukmawati itu bermasalah. Silakan cek Pembukaan UUD 1945 yang berisi tujuan NKRI: "..memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...". Saya garis bawahi kata "ketertiban dunia".
Di belahan dunia mana pun, kalimat Sukmawati itu bisa membuat yang tertib menjadi berantakan, damai menjadi terurai, yang teratur menjadi terbentur. Saya berbaik sangka, Ibu Sukmawati pasti sudah membaca pidato Bung Karno berjudul "Indonesia Negara ber-Tuhan", namun lupa isinya. Atau Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB 30 September 1960 berjudul "To Build The World A New", di halaman 11 dan 12 dari 28 halaman pidato itu, Bung Karno mengatakan: "Perlucutan senjata yang sesungguhnya adalah perlucutan senjata di dalam hati manusia, perlucutan ketidakpercayaan dan kebencian manusia - hlm 11".
Halaman 12: Bung Karno: "Akan tetapi marilah kita realistis. Perlucutan senjata tidak jaminan bagi perdamaian di dunia yang dalam kesengsaraan dan kesukaran. Perdamaian hanya akan datang, jika sebab-sebab ketegangan dan bentrokan disingkirkan ".
Sukmawati beruntung, ia lahir dan besar di Indonesia yang masyarakatnya sangat toleran dan pemaaf. Asalkan Sukmawati benar-benar jujur, mengakui kesembronoannya, menjamin tidak mengulangi kesalahan, maka perlahan-lahan ia akan didengarkan kembali. Yang dikhawatirkan adalah jika Sukmawati mengulangi kesalahan, bisa jadi niatnya meredam radikalisme, namun tindakannya menghidupkan radikalisme.
Saya teringat tulisan Abdul Rivai yang pernah dikutip wartawan senior almarhum Rosihan Anwar dan penulis buku-buku tentang Pancasila, Yudi Latif. Pada 1902, Abdul Rivai menulis di majalah Bintang Hindia . Untuk ukuran tahun itu, pastilah tulisan beliau itu sangat pedas sekali, entahlah pada 2019 ini.
Abdul Rivai tokoh pers nasional, yang juga dokter Indonesia pertama lulusan luar negeri itu menulis 117 tahun yang lalu: "Tak ada gunanya lagi membicarakan 'bangsawan usul' sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek moyang kita keturunan bangsawan, maka kita disebut bangsawan, meski pengetahuan dan capaian kita bagai katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan 'bangsawan pikiran' ."
(zil)